P. Hila. Tweeter

Pengembangan pariwisata yang pincang begitu mem­prioritaskan  investasi  demi  keuntungan   ekonomi. Keindahan,  budaya dan alam, dipromosikan  untuk mendatangkan wisatawan, domestik dan mancanegara. Na­mun  seringkali di  balik keindahan tersebut tersembunyi kebusukan-­kebusukan yang memperkeruh keindahan alam dan lingkungan sosial masyarakat.

Kenyataan demikian diungkapkan Pastor Hilarius Ke­mit, OFMCap dengan analogi memandang Danau Toba dari kejauhan. Indah dan mempesona. Permukaan bening danau dikitari bebukitan yang hijau dan indah permai. Keindahan itu sirna ketika tiba di tepi danau. Pencemaran yang menurun­kan kualitas air terjadi kian masif. “Danau Toba kini nyaris menjadi Danau Tuba” kata Hila prihatin.

Ketersingkiran masyarakat lokal diperparah oleh tumpang tindih kebijakan. Hila tak tinggal diam. Ia memba­ngun jejaring kerja, bersama NGO dan Gereja setempat, un­tuk menganimasi dan mengadvokasi masyarakat. Tujuannya satu: mengembalikan Danau Toba jadi air yang layak dikon­sumsi warga dan wisatawan. Saat ini, ia melihat munculnya BODT sebagai jalan tengah yang akan menjamin kelestarian ekosistem danau di satu sisi dan kepentingan  semua stake- holder di sisi lain. Dengannya tercipta Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan. Berikut wawancara GSS dengan Hila.

Bagaimana kita menjelaskan Pari­wisata berbasis budaya ekologis?

Sebelum menjawab  tema  ini, pertama­tama   kita   harus  sepakat dulu apa yang dimaksud dengan pari­ wisata. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, pariwisata yaitu yang berhubungan  dengan  perjala­nan untuk rekreasi; pelancongan; dan turisme. Dari pengertian ini maka pariwisata dapat dilakukan di mana saja dengan  berbagai objek sasaran wisata, bisa museum, mall, kehidupan di kampung, keliling kota, jalan ke hu­tan, dan sebagainya. Salah satu objek pariwisata dari sejuta kemungkinan objek wisata adalah pariwisata ber­basis budaya ekologis.

Konsep Pariwisata berbasis budaya ekologis menurut saya sesuai dengan iman dan moral Katolik sendiri,  yakni iman  dan panggilan bahwa Allah telah mencipta baik adanya dan memanggil manusia un­tuk memelihara dan mengusahakan agar dunia ini tetap baik dan sung­guh amat baik adanya, sehingga du­nia ini sungguh menjadi panggung kemuliaan Allah (Theatrum Gloria Dei). Maka pariwisata berbasis bu­daya ekologis saya mengerti sebagai kekaguman dan syukur atas bumi ini sebagai rumah (oikos) dengan segala kekayaan alam yang ada di dalamnya sebagai   gambaran    keagungan/ke­muliaan Tuhan.

Bahwa    pada    kenyataannya di setiap sudut bumi kita ini sudah penuh dengan luka karena keserakahan manusia, maka dibutuhkan kesadaran dan pertobatan ekologis yakni panggilan untuk menjaga keharmonisan  antarciptaan dan  manusia  yang dianugerahi  Al­lah kemampuan dan akal budi harus menjadi sutradara dan aktor menuju perubahan baru. Parawisata berbasis budaya  ekologis berarti  parawisata yang  membentangkan keharmonis­ anantara manusia dengan ciptaan lain,  baik  berupa flora  dan  fauna yang hidup dalam habitat air, hutan, pegunungan, daratan, sabana dan se­bagainya.

Baca Injil  Lukas 12 ayat  27: “perhatikanlah bunga bakung yang tidak memintal dan tidak menenun, namun  Aku berkata kepadamu: Sa­lomo dengan  segala kemegahannya tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu”. Ini mau menggam­barkan bahwa karya Tuhan yang ter­cermin dalam setiap alam ciptaan, lebih indah dan lebih mengagumkan dari segala ciptaan manusia. Itulah to­talitas dari objek parawisata berbasis budaya ekologis. Budaya yang tetap menjaga dan melestarikan keharmo­nisan alam ini.

Adakah contoh pariwisata yang mengedepankan nilai­-nilai ekologis?

Baru­baru  ini  mantan  Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berlibur  ke  Bali. Salah satu  objek wisata yang dikunjungi  yakni dae­rah persawahan terasering. Persawahan  terasing di berbagai tempat  di Bali merupakan  salah satu tempat/ kawasan yang menunjukkan  keharmonisan antara masyarakat dan alam yang tetap dijaga dan dipertahankan. Sebagai hasilnya banyak orang dari segala penjuru dunia kagum dan takjub.

Demikian juga wisata alam di Pulau Komodo, wisata bahari taman laut di berbagai tempat di Sulawesi. Juga kita lihat bagaimana keindahan keharmonisan alam dan manusia di daerah wisata Raja Ampat Papua dan sekitarnya. Juga secara sangat sederhana di berbagai tempat ditawarkan wisata tinggal di kampung, ikut me­nanam padi, berkubang dengan sapi yang membajak sawah, dan sebagai­nya. Intinya, bahwa kebanyakan orang akan betah dan tinggal lebih lama di tengah-­tengah yang alami, menikmati kehidupan bersama dengan alam, mengagumi dan bersyukur atas keindahan alam, keragaman dan kekayaan budaya, dan sebagainya.

Bagaimana Pater melihat persoalan pariwisata (contoh kasus pengembangan Pariwisata Danau Toba). Persoalan ekologis apa yang terjadi di sana?

Kawasan Danau Toba itu menawan   dipandang   dari   kejauhan, tetapi pemandangan  yang indah itu berubah menjadi pemandangan yang jorok dan bau ketika kita berdiri di bibir pantai. Hal ini bisa dibuktikan dari berbagai tempat wisata pantai Danau Toba, endapan sedimen limbah akan naik dan membuat keruh air ketika kaki kita menginjak dasar air atau bebatuan.

Sebenarnya kalau kita jujur me­nerawang persoalan utama pariwisata Danau Toba, air Danau Toba sendiri pada umumnya tidak layak lagi un­ tuk dikonsumsi untuk mandi, apalagi untuk diminum. Memakai bahasa kiasan teman, bahwa Danau Toba itu sudah hampir menjadi Danau Tuba.

Mengapa demikian? Karena memang  ekosisten  kawasan Danau Toba sudah lama rusak. Danau Toba tidak bisa kita pisahkan sebagai suatu kawasan, yakni bentangan pegunung­an, aktivitas masyarakat lokal di darat dan di permukaan air, serta kebijakan pemerintah yang carut marut tentang Danau Toba. Sudah lama kita dengar bahwa perairan Danau Toba seperti penampungan limbah raksasa. Hal ini memang benar.

Ada perusahaan  babi raksasa sudah sekian puluh tahun nongkrong di ketinggian kawasan Danau  Toba yang limbahnya disinyalir di buang ke Danau Toba melalui sungai.

Ada perusahaan  raksasa yang memproduksi  pulp di kawasan Danau Toba sejak 30 tahun lalu, dimana areal hutan  tanaman industrinya (HTI) berada di seputaran kawasan Danau Toba. Hutan alam yang selama ini menyumbang  sumber air bersih yang mengalir dari ratusan sungai ke Danau  Toba, kini banyak yang tak mengalirkan air di musim kering dan mendatangkan banjir di waktu hujan;

Ada  perusahaan  raksasa  Keramba  Apung Ikan  yang menutupi permukaan air Danau Toba. Limbah pakan dan limbah ikan yang terkonsentrasi dalam suatu wilayah tertentu dalam kurun  waktu puluhan  tahun telah menyumbang ribuan ton kubik limbah.

Di luar tiga aktivitas perusahaan raksasa tersebut, masalah yang turut menyumbang rusaknya ekosistem Danau Toba adalah aktivitas masya­karat dan pengusaha. Disinyalir, hotel dan rumah­rumah penduduk   kebanyakan membuang limbah ke Danau Toba. Rumah-­rumah  penduduk umumnya dibangun membelakangi Danau Toba, dengan demikian seluruh aktivitas warga yang menghasil­ kan sampah dan limbah, semuanya dibuang ke Danau.

Ada pro dan kontra terkait pengembangan pariwisata Danau Toba. Bagaimana menjelaskan ke­ dua posisi ini? Apakah ada jalan tengah untuk menyatukan keduanya?

Persoalan yang sering muncul dalam pengembangan pariwisata adalah ketika manusia jatuh pada konsep bisnis dalam bidang kepariwisataan. Memang ketika kita berbicara tentang destinasi pariwisata, maka hal utama yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana  supaya semakin  banyak orang datang dan tinggal dalam waktu yang lama serta meninggalkan uang dalam berbagai bentuk transaksi dan aktivitas.

Untuk  mendukung  tujuan tersebut maka diciptakan berbagai spot kunjungan wisata, disusun paket­ paket wisata yang menarik dan membuat para wisatawan betah di suatu tempat, bukan hanya di kawasan Da­nau Toba.

Tentu saja konsep di atas tidak salah, tetapi ketika orientasi jatuh pada uang, maka seringkali alam kemudian dieksploitasi melebihi daya dukung dan daya tampung alam sendiri. Persaingan bisnis wisata orang-­orang yang mempunyai  modal dan kuasa menyingkirkan masyarakat lokal. Dua persoalan ini umumnya menjadi persoalan utama dalam pengembangan kepariwisataan di semua tempat dan wilayah.

Dengan ditetapkannya Ka­ wasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi wisata Indonesia dan dengan membentuk Badan Otorita Danau Toba (BODT)  bagi saya merupakan suatu JALAN TENGAH dan mudah­ mudahan dapat berjalan dengan meli­ batkan seluruh komponen masyarakat lokal dan stakeholder dengan orientasi mengembalikan dan menyembuh­ kan  wajah kawasan Danau Toba dan Mengapa?

Di Kawasan Danau Toba terdapat tujuh kabupaten. Masing­ masing kabupaten mendapat bagian/ kapling di kawasan Danau Toba. Pengkaplingan kawasan Danau Toba ini sudah barang tentu mengakibatkan kebijakan pengelolaan Kawasan Danau Toba tidak terintegrasi satu sama lain, tergantung pada cara masing-­masing memandang Danau Toba dari sudut pandang kepenting­an daerahnya.

Sementara ekosistem Kawasan Danau Toba merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, saling mempengaruhi satu sama lain, baik wilayah daratan, perairan maupun bentangan alam keseluruhannya. Dengan dibentuknya BODT maka pengelolaan Kawasan Danau Toba diatur dalam satu pintu kebijakan dan implementasi.

Kawasan Danau Toba merupakan   kekayaan   bangsa  Indonesia yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat, baik lokal, domestik dan mancanegara. Sebagai kekayaan alam yang dicipta Tuhan dengan segala keragaman dan  kekhasannya, maka sudah sepatutnya semua orang menjaga dan mewariskan Kawasan Danau Toba sebagai Theatrum Gloria Dei.

Hal   penting   dan   mendesak sekarang ini adalah bagaimana supaya masyarakat  lokal yang  tinggal  dan hidup di seputaran Kawasan Danau Toba dapat menjadikan kehadiran BODT sebagai peluang dan kesempatan untuk berbenah diri sehingga para wisatawan datang dan singgah serta memberikan keuntungan finansial bagi masyakarat lokal.

Masyarakat mempunyai  peluang sebagai pelaku usaha kepariwisataan, baik dalam bi­dang pertanian, budaya lokal, makan dan  minuman  lokal, tempat-­tempat rekreasi, homestay, mengem­bangkan kerajinan tangan, mengelola kearifan lokal, dan sebagainya. Sekali lagi dengan tetap menjaga keharmonisan
dan ke lestarian ekosistemnya.

Tentu kesempatan dan peluang­peluang usaha kepari­wisataan ini akan dinikmati oleh kebanyakan masyarakat lokal kalau pemangku kebijakan mem­beri ruang bagi masyarakat lokal dan memproteksi kawasan-­kawasan tertentu bagi masyarakat lokal dari gempuran pemodal dan pebis­nis.

Apa yang harus dilakukan oleh Gereja, masyarakat, peme­rintah dan kita seba­gai Fransiskan untuk mewujudkan pariwisata berbasis budaya ekolo­gis?

Perlu diingat dan disadari bahwa Ka­wasan Danau Toba merupakan satu ke­satuan ekosistem yang tidak terpisah­ kan satu sama lain. Kawasan Danau Toba seharusnya tidak hanya indah untuk dipandang, tetapi juga seharusnya air Danau Toba itu layak untuk dikonsumsi oleh seluruh masyarakat lokal dan masyarakat yang datang. Hal ini menjadi pekerjaan besar, mengembalikan air Danau Toba untuk layak dikonsumsi untuk kepentingan masyarakat dan wisa­ tawan.

Untuk  itu diperlukan  peran serta dan keterlibatan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, gereja, lembaga-­lembaga pemerhati dan stakeholder lainnya. Seluruh stakeholder harus mempunyai pandangan dan tujuan yang sama, satu saja, yakni bagaimana supaya orang layak mandi di  Danau Toba.

Untuk mencapai tujuan itu, banyak yang harus dilakukan dan pertama  adalah membebaskan  dari kawasan Danau Toba perusahaan­ perusahaan yang langsung atau tidak langsung mencemarkan air Danau Toba. INI HARUS. Baru kemudian ditata kembali kehidupan masyarakat yang mengarah  pada  perilaku  dan budaya yang mendukung kelestarian kawasan Danau Toba.

Apa peran Pater untuk Ge­reja, masyarakat, pemerintah dan kita para fransiskan dalam kaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis budaya ekologis ini?

Sebagai pribadi, sebagai Fransis­kan dan sebagai seorang imam, sejak dulu saya sungguh merasa terpanggil untuk  berjuang menjaga kelestarian kawasan Danau Toba. Walaupun mungkin gerakan dan perjuangan ini tidak terdengar bagaikan suara detak jarum jam di tengah keramaian, na­mun  syukur bahwa perjuangan  itu tidak pernah berhenti dan mati.

Saya lebih berperan untuk menganimasi dan mengadvokasi, membangun kesadaran dan melaku­ kan  upaya  advokasi atas  kebijakan bersama teman­teman dan lembaga­ lembaga swadaya masyarakat mau­ pun pemerintah. Membangun jejaring antarlembaga yang mempunyai keprihatinan yang sama, baik NGO, masyarakat  dan  Gereja, melakukan upaya­upaya animasi di berbagai ke­ sempatan dan berbagai komunitas.

Membangun kesadaran baru bahwa Kawasan Danau Toba merupa­ kan Rumah Kita Bersama dalam semangat Laudato Si’ adalah program dan kerja yang tak pernah berhenti kendati tantangan menghadang.)***

Sdr. Charlest, OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

15 − two =