PROFIL, JPIC OFM Indonesia – Tsunami 1992 menghancurkan usaha Victor, yang akrab disapa baba Akong, sebagai pengusaha nener di Maumere. Kehancuran yang disebabkan tsunami, membangkitkan kesadaran Victor untuk mencegah kehancuran lebih besar ke depan andaikata tsunami kembali muncul.
Hal itu dilihat baba Akong, yakni di Kampong Mageloo, kendati terdapat di bibir pantai, terluput dari amukan tsunami. Akong menemukan rimbunan tanaman bakau di pantai tersebut dan dia disadarkan bahwa bakau adalah tanaman yang dapat mencegah kerusakan akibat tsunami.
Tanam Manggorove, Jadi Palang Pintu Tsunami
Di akhir tahun 1992 baba Akong mulai berinisiatif menanam bakau (mangrove). Bersama anggota keluarganya mereka mengumpulkan biji bakau sebanyak 5 karung, yang disemainya dalam polybag. Dalam tempo lima bulan, baba Akong menanami bakau di bibir pantai.
Bakau ditanam dengan kedalaman 40-50 cm dan bertumbuh baik. Inilah pengalaman awal yang membuat baba Akong terus belajar tentang sifat dan jenis bakau, baik dengan membaca buku, ikut seminar, berbicara dengan turis asing, para mahasiswa dan ahli bakau maupun berdasarkan pengalaman lapangan.
Baba Akong terus terdorong menanam mangrove di atas areal pantai sebesar 70 ha yang saat ini ditumbuhi 7.005.000 pohon mangrove. “Saya menanam mangrove untuk melindungi warga di sini dari badai tsunami. Waktu itu usaha saya hancur, hanya tertinggal pakaian di badan,” begitu ceritanya kepada GSS di rumahnya di pantai Magepanda–Maumere.
Akong yang tinggal di Magepanda sejak 1972 kini menjadi figur terkenal bukan saja pada level nasional tetapi juga internasional. Usaha itu dirintisnya sejak 1993 dan tak terasa sudah seluas dan setenar itu. Ada banyak pasangan nikah datang untuk membuat foto pre-wedding di sana dari pelbagai kota di Flores, bahkan dari luar Flores. Di ruang tamu terdapat banyak sertifikat serta beberapa piala penghargaan.
Penghargaan tertinggi di level nasional adalah piala untuk lingkungan hidup yang diserahkan presiden SBY, juga piala dari Gubernur NTT. “Saya memang mendapat penghargaan dari pemerintah, tetapi dukungan konkret berupa dana untuk memajukan serta meningkatkan usaha pelestarian mangrove tidak saya peroleh,” begitu tukasnya.
Pelestarian mangrove yang dilaksanakan Akong memang menarik. Dari rumahnya menuju pantai, para pengunjung berjalan di atas jembatan kayu (bambu) yang dibuatnya menelusuri hutan mangrove. Setiap pengunjung dimintai sumbangan sebesar Rp. 5.000,00 dan Rp. 10,000,00 untuk pelawat asing. Akong tentu saja membutuhkan dana untuk usahanya yang mulia itu. Kebersihan hutan mangrove dan pantai Magepanda juga terawatt baik. “Setiap hari saya pergi menyapu di pantai dan mengangkat sampah.”
Pantai memang terlihat bersih. Di mana-mana disediakan tempat sampah, yang mempermudah pengunjung meletakkan sampah. Yang menyenangkan baba Akong adalah bahwa hutan mangrove yang diusahakannya menjadi perhatian para peneliti, baik yang professional, maupun mahasiswa dan para murid sekolah. “Sudah ada banyak ahli yang datang ke sini. Mereka menguasai teori, tetapi perkara praktek dan perhatian nyata pada mangrove mereka umumnya tidak paham,” begitu katanya bangga.
Hutan mangrove yang diusahakan baba Akong bagaikan oase hijau di tengah kekeringan di bukit-bukit di pantai Magepanda. Di samping rumah dan juga di beberapa tempat, para pengunjung dapat melihat pembibitan mangrove yang siap di tanam. Sayang bahwa selain dukungan yang tidak optimal dari pemerintah, masyarakat sekitar juga enggan meniru langkah pelestarian pantai dengan mangrove seperti yang diupayakan baba Akong.
“Saya sering diundang ke mana-mana. Rasanya senang dan bangga bahwa usaha ini diperhatikan banyak pihak. Banyak yang datang melihat dan saya sering ke mana-mana untuk berbagi pengalaman tentang pelestarian mangrove,” katanya mengakhiri bincang-bincang dengan GSS di rumahnya yang sederhana dan asri.
Di usia tuanya, baba Akong ditemani isterinya, yang berasal dari Nita, Maumere. Dia sendiri keturunan Cina asal Timor. Saudara-saudaranya tinggal di Jawa dan Timor. Enam orang buah hatinya tinggal di Maumere dan di Jawa. Usaha mulia telah dirintis baba Akong dan memberi banyak manfaat. Di usianya yang sudah senja, aura semangat melestarikan mangrove tidak surut. Dia tampak segar. Mereka yang dekat dengan alam dan mencintainya tentu saja menimba kesegaran dan daya hidup yang dibagikan alam. Baba Akong membuktikannya, siapa lagi yang mau memulai?
Sdr. Peter C. Aman, OFM