Manggarai, 8 Desember 2017. Investasi di bidang pertambangan meningkat drastis pada dasawarsa terakhir. Fakta ini dipicu dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk mengembangkan potensi daerah dan meningkatkan kemandirian dalam mengelola perekonomian dan membangun daerah tak sepenuhnya berujung pada perbaikan kehidupan masyarakat.
Sebaliknya, pemberlakuan otonomi daerah justru telah menjadi malapetaka bagi masyarakat, khusus masyarakat lingkar tambang. Euforia otonomi daerah ini telah salah dimanfaatkan oleh para kepala daerah dengan berlomba menggelontorkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai sebuah wilayah kepulauan, dengan cuaca dan iklim yang terkenal agak ekstrim (panas atau hujan berkepanjangan) membuat wilayah ini rawan akan bencana alam seperti tanah longsor dan kekeringan.
Sebagai daerah tropis mayoritas masyarakat NTT sangat bergantung pada sektor pertanian. Karena itu ketika pertambangan menjadi sektor yang dibidik oleh PEMDA di NTT dalam rangka tuntutan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), telah membawa mimpi buruk bagi masyarakat.
Pertambangan menjadi momok yang menakutkan karena telah membawa dampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan, ruang-ruang produksi rakyat seperti pertanian dan perkebunan, juga pesisir dan kelautan. Betapa tidak banyak ruang hidup manusia yang dirampas dan dialihfungsikan, sumber-sumber air warga dicemari, hutan dibabat habis, bahkan tak sedikit masyarakat diintimidasi dan kriminalisasi, hingga mendekam di penjara.
Daya rusak pertambangan yang tak terpulihkan ini, sudah dan sedang dialami masyarakat lingkar tambang termasuk di Manggarai dan Manggarai Timur. Kondisi ini berpotensi terus terjadi bahkan semakin masif, mengingat masih ada 18 IUP di Manggarai, dan 7 IUP di Manggarai Timur yang masih aktif, dan baru akan berakhir masa berlaku pada Desember 2017 ini.
Keberadaan perusahaan – perusahaan tambang di Manggarai dan Manggarai Timur saat ini, berikut dampak buruknya bagi lingkungan dan keselamatan rakyat, semua bersumber dari kebijakan pemerintah daerah yang cenderung instan, rakus, serta tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan ruang hidup masyarakat.
Masyarakat sederhana di daerah-daerah lingkar tambang banyak mengalami penderitaan kronis akibat pengambil-alihan lahan secara sepihak, konflik yang berkepanjangan, kekerasan dan disharmoni kehidupan bersama. Masyarakat lingkar tambang tidak banyak memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk dan mekanisme kerja perusahaan tambang, sehingga mereka banyak dimanipulasi dan dibohongi serta dirugikan secara sosial, ekonomi dan kebijakan.
Prosedur hadirnya perusahaan, persetujuan masyarakat dan hak-hak warga lingkar tambang diabaikan oleh Pemerintah ketika menetapkan wilayah ijin usaha pertambangan. Pandangan kritis dan konsultasi publik berbagai organisasi masyarakat (Civil Society) tidak mendapat tempat pada kebijakan publik sektor pertambangan.
Warga masyarakat melalui para tua adat didesak untuk menyatakan persetujuan tanpa memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai tentang dampak-dampak dari operasi pertambangan, hak-hak dasar yang mesti diperoleh dari usaha pertambangan dan kemampuan untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan.
Pola adu domba dan pendekatan intimidatif dari aparat keamanan dan pemerintah (bahkan anggota DPRD) serta strategi bujuk rayu dan pembohongan publik yang dilakukan sejumlah perusahaan telah menjebak warga masyarakat lingkar tambang untuk menyerahkan lahan-lahan pertanian tanpa kompensasi atau keuntungan ekonomis, yang menjadi hak warga pemilik lahan atau hak ulayat.
Dalam berbagai kasus pertambangan, keputusan publik Pemda atas masuknya investasi pertambangan di wilayah Manggarai Raya telah menunjukkan kecenderungan keberpihakan Pemerintah terhadap perusahaan, mengabaikan kepentingan masyarakatnya; menekan warga untuk memuluskan operasi pertambangan di atas lahan-lahan pertanian milik warga; Pemerintah nyaris tak melindungi hak-hak dan kepentingan ekonomi masyarakat lingkar tambang.
Seluruh cerita kehadiran pertambangan di Manggarai dan Manggarai Timur nyaris luput dari pantauan publik. Masyarakat yang berdampak langsung dan tidak langsung, tak pernah didengar, apalagi untuk dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan. Penerbitan izin-izn tambang ini berlangsung dalam ruang tertutup.
Masyarakat yang sadar ruang hidupnya dirampas, dan memilih untuk mempertahankan hak-hak walaupun diintimidasi menggunakan oknum aparat keamanan. Perjuangan masyarakat untuk mempertahankan ruang hidupnya ditanggapi oleh pemerintah yang cenderung memposisikan warganya sebagai pembangkang, oposan dan penghambat kebijakan pembangunan di wilayah tersebut.
Kini, disaat masa berlaku seluruh IUP di Manggarai dan Manggarai Timur mau berakhir, dan ruang-ruang hidup masyarakat telah lama dihancurkan tanpa rehabilitasi, beberapa perusahaan tambang kembali mengusik masyarakat, seperti yang terjadi di Timbang, Kecamatan Cibal, Maki di Kecamatan Reok Barat, Torong Besi Kecamatan Reo, Serise, Satarteuk dan Lengko Lolok di Kecamatan Lamba Leda, baru-baru ini.
Untuk itu, kami yang tergabung dalam Ikatan Masyarakat Adat Manggarai Anti Tambang (IMAMAT), bersama JPIC OFM, JPIC Keuskupan Ruteng, dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), kembali menyelenggarakan pertemuan para pemuda, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, jaringan dan semua stackholder serta semua pihak yang punya kemauan dan tujuan bersama demi bonum commune kuni agu kalo tanah Manggarai.
Disadari bahwa pertemuan ini dibuat untuk menjaga komitmen bersama masyarakat lingkar tambang, serta menghasilkan segala upaya untuk senantiasa menolak dan berjuang menghadapi gempuran ekspansi industrati ekstratif pertambangan, demi pulihnya ruang hidup bersama.
Selain itu melalui pertemuan bersama ini, diharapkan agar masyarakat Mangarai kembali menyadari, menjaga dan memperkuat identitas diri, budaya dan adat istiadat, kearifan lokal (local genius) (kampung, air, tanah, hutan, kekerabatan dll), serta perjuangan untuk mewarisinya kepada generasi penerus.
Hormat Kami
P. Peter Aman, OFM (Direktur JPIC OFM Indonesia)
Rm. Marthen Jenarut, Pr (Direktur JPIC Keuskupan Ruteng)
Melky Nahar (Kepala Kampanye JATAM)