Rohingya refugees cross the Naf River from Myanmar on makeshift rafts, heading for refugee camps in Teknaf, Bangladesh. Three weeks earlier, after being forced from their homes and stranded on the river’s shore, they built rafts from bamboo poles and jerry cans before eventually boarding them. © UNHCR/Andrew McConnell.
DIDIKLAH DIRI KITA BERKAITAN DENGAN MOBILITAS MANUSIA, REALITAS MIGRASI, DAN PENYEBAB MENINGKATNYA XENOPHOBIA, RASISME, DAN DISKRIMINASI.
Dalam sebuah pidato baru-baru ini kepada universitas dan pendidik Katolik, Paus Fransiskus mendorong para hadirin untuk “memperdalam refleksi teologis tentang migrasi sebagai tanda zaman.”
Memang, migrasi telah menjadi isu yang diperdebatkan di banyak negara di seluruh dunia dan, dalam periode tertentu mengalami ketidakpastian dan keresahan yang ekstrem, banyak sekali “berita palsu,” dan juga kecurigaan dan ketakutan yang merajalela, sangat mudah menyalahkan migran dan pengungsi atas masalah yang mengganggu dunia kita saat ini.
Ini tidak perlu terjadi. Tanggapan kita terhadap migrasi, dapat didasarkan pada fakta dan informasi yang masuk akal tentang pendorong mobilitas manusia, realitas hidup dari saudara saudari kita para migran dan pengungsi, dan banyak anugerah  yang mereka bawa.
Dengan demikian, kita dapat sampai pada pemahaman yang lebih baik tentang akar penyebab migrasi global (termasuk konflik, ketidakamanan, penganiayaan, pelanggaran hak asasi manusia, ketidaksetaraan struktural, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan), kita dapat membongkar ketidaktahuan dan ketakutan yang mendasari eksklusi sosial (xenofobia dan rasisme), dan kita akan dapat menemukan banyak aspek positif yang berkontribusi pada pembangunan global.
Selain itu, kesadaran kita akan fenomena migrasi saat ini dapat melampaui fakta dan angka. Jika kita meluangkan waktu untuk secara teologis merenungkan beratnya situasi yang dihadapi saudara dan saudari kita para migran, mungkin kita bisa melihat wajah mereka sebagai wajah Kristus, yang mengidentifikasi dirinya sendiri pada orang miskin dan orang-orang yang kelaparan, yang tertindas , dan orang asing (Matius 25).
Ini adalah Sabda Pertama dari Novena Tujuh Sabda Terakhir,  sebuah devosi yang merefleksikan ucapan Yesus dari Nazaret saat Dia disalibkan. Secara tradisional didoakan selama Masa Prapaskah, Tujuh Sabda Terakhir menjadi sarana yang memungkinkan umat beriman untuk bermeditasi terhadap penderitaan Kristus dan sekaligus mengidentifikasikan diri dengan penderitaan dan sengsara Kristus. Tahun ini Fransiskan Internasional (FI) secara khusus merenungkannya dalam hubungan dengan Migran dan Pengungsi.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × 1 =