Pater Avent Saur dalam acara Kick Andy - Floresa.co
SOSOK, JPIC OFM Indonesia.com –Esensi terdalam dari hak asasi manusia terletak pada ciri hakiki hak tersebut yang melekat dalam diri setiap manusia. Maka, segala sesuatu yang terkait dengan hak asasi semua manusia pantas dan harus diperjuangkan. Di sinilah hakikat manusia sebagai makhluk sosial menemukan bentuk pengungkapannya, sehingga setiap manusia membutuhkan sesamanya untuk saling membantu dalam menegakkan rasa kemanusiaan. Salah satu tantangan besar dalam menegakkan rasa kemanusiaan itu adalah perjuangan melawan stigma yang diberikan oleh manusia kepada sesamanya, sebagaimana yang diterima oleh Orang-orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Pelayanan yang penuh perhatian dan pemberian diri terbukti mampu mengembalikan kesadaran dari Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) seperti semula. Mereka belum kalah dalam usaha menjadi manusia. Kenyataan yang menunjukkan bahwa kepedulian adalah kunci kemenangan bagi perjuangan kemanusiaan.
Beberapa waktu lalu, GSS mendengar sharing dan mewawancarai Pater Avent Saur, SVD yang dikenal karena pelayanan pastoral ODGJ di Kota Ende, di sela-sela kunjungannya ke kantor JPIC – OFM Indonesia. Berikut petikan sharing dan wawancara dengan beliau:
Pater selama ini terlibat bahkan memprakarsai pastoral “orang gila”. Bagaimana sebenarnya yang disebut “orang gila” itu?
Saya tidak punya ilmu khusus terkait orang gila. Dalam kamus kesehatan sendiri tidak ditemukan kata gila. Gila itu tidak terkait dengan sehat atau sakit. Itu sebenarnya lahir dari stigma negatif tentang orang. Kata gila itu dipakai untuk mengungkapkan kenyataan yang memunculkan kecengangan atau kekaguman yang luar biasa. Misalnya, seorang yang baru berumur 19 tahun bisa berpenghasilan 1 miliar rupiah sebulan, orang akan bereaksi, “gila tu orang!”, dll. Nah, orang gila yang kita maksud itu apa? Sebenarnya, term yang cocok dan lebih manusiawi adalah Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Dari sisi kesehatan, ODGJ itu orang yang mengalami gangguan pada fungsi otak. Ada zat kimia yang lebih dalam otaknya.
Tadi Pater mengatakan, “gila” atau ODGJ lahir dari stigma negatif. Apa maksudnya?
Ya, secara sosiologis, orang gila erat kaitannya karena stigma negatif. Bagi saya orang gila atau yang lebih manusiawi disebut Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang sakit yang paling menikmati sakitnya. Namun, menikmati tidak berarti tidak ada persoalan. Dia menikmati sekali sakitnya itu karena ada persoalan. Persoalan itu adalah stigma dan diskriminasi.
Yang dimaksud dengan stigma itu adalah kita memandang ODGJ tidak produktif. Memang dia tidak produktif. Persoalannya adalah kita memandang dia tidak produktif maka kita tidak menghargai dia. Sebenarnya kita tetap dapat menghargai dia sebagai manusia. Karena kemanusiaannya tidak pernah runtuh dan ambruk. Sedangkan, yang dimaksud dengan diskriminasi yaitu perlakuan kita terhadap ODGJ. Mereka dipasung, dicibir, tidak diberi makan dan air atau kalaupun diberi sekali dua hari.
Apa yang salah dengan dipasung? Toh, supaya dia (mereka) tidak membahayakan orang lain atau fasilitas umum?
Yah, ada satu pengalaman yaitu pengalaman tentang Anselmus. Dia dipasung selama 6 bulan karena dia membunuh neneknya dan sebelumnya dia mengancam sekian banyak orang untuk dibunuh, diperkosa, dll. Akhirnya, dia dipasung oleh seluruh masyarakat kampung. Sebenarnya, alasan ODGJ dipasung supaya masyarakat dan dia sendiri aman. Dalam konteks Anselmus, masyarakat aman tapi Anselmus tidak. Anselmus mengalami penderitaan yang sedemikian hebat ketika dipasung. Isi betisnya hampir habis termakan kayu pasungan. Dalam benak saya, setuju dengan pasung walaupun dalam UU Kesehatan itu merupakan suatu tindakan kriminal. Kalau kita dilaporkan ke polisi bisa masuk penjara.
Anehnya, pemerintah buat UU larang pasung tapi tidak menyediakan tempat untuk ODGJ. Mereka “lempar” saja kepada masya rakat. Bagaimana masyarakat menangani, sementara pemerintah tidak menyedikan panti, rumah sakit, dan psikiater. Karena logika yang dipakai adalah pasungan itu sebagai hukuman bukan sebagai untuk mengamankan ODGJ. Ini yang salah, sehingga beberapa yang dipasung, kita ubah pasungannya; dibuat bagus, ada rumah dan tendanya dan juga tempat buang air. Keluarga mesti bertanggung jawab untuk kebersihan dan makanannya.
Di hadapan bupati, saya mengatakan, yang saya mau itu Anselmus boleh mati ketika dilepaskan. Dan ketika melepaskan kakinya dari kayu pasungan dan dia tidak tahan sakitnya lalu dia mati, ok. Saya kira itu lebih bermartabat daripada mati dalam keadaan terpasung. Tapi kalau dia mati karena sulitnya prosedur, menunggu uskup, pastor paroki, polisi, perawat, dll.
Pertanyaan saya kalau nanti dia mati itu dosa siapa? Kita semua beriman, berarti dosa saya, dosa Anselmus sendiri, dosa bapaknya, dosa orang kampung yang pasung dia, dari sisi agama dosa Uskup, ketua stasi, pastor paroki, dari sisi negara dosa ketua RT, camat ataukah dosa bapa bupati. Bupati bilang, “Pater biar saya tanggung dosanya”. Saya kira mesti demikian karena dia memiliki kekuasaan yang besar, Anselmus sebagai warga negara adalah tanggung jawabnya.
Bagaimana tanggapan pemerintah, sejauh pengalaman Pater selama ini?
ODGJ sudah cukup lama diterlantarkan. Jawaban pemerintah berkaitan dengan ini selalu sama (mulai dari Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah) yaitu kami belum punya anggaran yang terlalu banyak terhadap masalah ODGJ. Kami masih mengurus yang lain. Jawaban ini perlu dipersoalkan. Mestinya tidak mengabaikan yang satu karena memperhatikan yang lain. Ini kesalahan pemerintah. Karena toh, ODGJ adalah warga negara juga.
Dinas sosial kemana?
Untuk Ende, yang dibuat Dinas Sosial itu hanya mendata saja. Ketika kami mengikuti rapat dengar pendapat di DPRD, Dinas Sosial mempertanggungjawabkan hanya mengapa mereka tidak melakukan sesuatu. Aneh, padahal kita mau memecahkan persoalan. Sebenarnya yang kami mau itu, kami bawa aspirasi masyarakat bawah dan apa yang bisa dilakukan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan puskesmas sesuai dengan kapasitasnya. Sementara, program bebas pasung itu sejak Jokowi jadi Presiden. Beliau langsung mengatakan bebas pasung itu sampai 2017. Bebas pasung 2017 sudah lewat, 2019 sudah lewat tidak tahu lagi. Akibatnya, karena tidak dipikir makanya tidak dianggarkan. Tidak dianggarkan, maka tidak dilakukan.
Tapi, Untuk Dinkes, sekarang di Ende sudah ada sekitar 5 puskesmas yang menyediakan obat-obat. Puskesmas di luar kota belum ada obatnya. Di kota Ende ada sekitar seratusan ODGJ, yang dipasung sekitar 13 orang. Untuk tingkat nasional, yang sudah menjabarkan UU no.18 tahun 2014 itu hanya DKI Jakarta, Jateng, dan Jabar, yang lain-lain belum menjabarkan dalam Perda. Sehingga, yang belum itu tidak punya pegangan untuk menganggarkan bagi ODGJ. Untuk NTT, perhatian dengan gangguan jiwa sejauh ini hanya Bupati Manggarai Timur. Di Matim, dari Dinsos ada program bebas pasung. Tiap tahun mereka anggarkan 10 orang untuk bebas pasung dan antar ke panti.
Itu dari Pemerintah, bagaimana dengan Gereja (Agama)?
Dari sisi agama pada tiga acara KKI yang hadir itu hanya pastor paroki Roworeke, dari Islam Ketua MUI dan stafnya, dan dari Protestan hanya pendeta Gereja Salomo saja. Padahal, yang kita harapkan yang datang itu mereka yang di PUSPAS. Yang kita harapkan dari tokoh agama sebenarnya mungkin bukan soal obat tapi stigma itu. Dari sisi agama, apalagi saya pastor, kalau kita melihat orang menderita lalu lari pada salib Kristus. Saya tidak tahu dalam konteks Islam soal penderitaan atau pengorbanan itu seperti apa persisnya.
Kita selalu mengatakan ini: penderitaan saya sebagaimana Yesus atau nabi menderita. Pertanyaan saya adalah mengapa orang terpasung dan bagaimana kita membebaskan dia? Maka yang pertama kita temui adalah ketua adat. Tetapi ketua adat takut untuk bongkar. Yang kedua itu kita temui uskup karena dia anggota hirarki Gereja. Karena Gereja atau agama manapun tidak hanya melayani umatnya yang sehat tetapi juga yang sakit. Tokoh-tokoh agama itu memang melayani orang-orang yang sakit tetapi orang sakit yang mana dulu. ODGJ belum disentuh. Uskup tolak mentah-mentah, kalaupun terima dengan pernyataan macam-macam tapi tindakan kurang.
Apa yang salah dengan penanganan ODGJ selama ini atau bagaimana sikap orang-orang terhadap fakta ini?
Selama proses ini misalnya, orang di Ende itu mengatakan, “P. Avent itu bisa menyembuhkan ODGJ,” padahal saya tidak punya kapasitas atau kemampuan untuk itu. Atau model lain: “Pergi ke Pater Avent untuk didoakan”. Tidak. Tugas kita sebagai orang beriman adalah berdoa. Berdoa itu kewajiban moral agama bahwa setiap orang beragama itu wajib hukumnya berdoa kepada Tuhan-nya. Bukan Cuma biarawan/ti, atau mereka yang di pesantren. Sebagai orang sakit, yah dia mesti berobat. Sebagaimana manusia harus dihargai karena kita diciptakan oleh Wujud Tertinggi yang sama, maka kita mesti saling menghargai. Terlepas dari keadaan fisik, mental dan psikisnya. Karena martabat itu tidak dirusak oleh keadaan. Kemanusiaan itulah martabat. Karena itu kasih itu relevan dan mendesak. Kasih itu diajarkan oleh agama dan budaya mana saja.
Tadi Pater menyebut KKI. Apa itu KKI?
Ketika banyak ODGJ dan pemerhati, saya coba membentuk Kelompok Kasih Insanis (KKI). Dan awalnya itu bukan peduli ODGJ tapi peduli orang gila. Karena saya tidak tahu hal ini, kita kerja amatir saja. Banyak yang beri masukan bahwa bukan term gila yang tepat tapi ODGJ. Mulai Maret 2017 ini baru kita mulai dengan istilah ODGJ.
Pada 25 Februari 2017, kami membentuk kelompok ini, bersama beberapa teman dokter seperti dr. Angke. Lalu, kita mau buat apa dengan kelompok ini? Yang kita buat turun ke jalan untuk beli makan. Kita kumpul uang sekitar 15 bungkus lalu keliling kota Ende untuk bagikan makanan. Tiga minggu kemudian karena kami beli pada warung yang sama, maka tukang warung memberi diskon dari 15 ribu menjadi 10 ribu rupiah. Kami juga bilang, ibu juga masuk anggota KKI.
Tiga bulan kemudian, ada seorang peranakan Tionghoa, dia panggil saya dan diskusi, kemudian setiap akhir pekan dia memutuskan untuk menanggung nasi bungkus dan air. Untuk obatnya kami kerja sama dengan dokter umum. Namun, sering juga dialami persediaan obat selalu terbatas. Yang kami datakan di Ende ODGJ sekitar 300-an orang yang mendapat pengobatan sekitar 20-an orang. Yang kedua, dana terbatas. Di panti sekarang kami ada sembilan orang dan tiap bulan satu 1 juta lima ratus? Mau ambil dari mana? Ada buku yang saya tulis tentang orang gila judulnya “Belum Kalah”. Semuanya dijual oleh KKI, tidak dijual di toko manapun. Kami sendiri yang jual supaya mungkin ada orang mau sumbang lebih. Bukan membantu KKI atau saya tapi ODGJ. Yang kami sudah bongkar pasung itu ada 14 orang. Advokasi ke DPRD, beberapa anggota DPRD jadi anggota KKI dan Wabup juga. Anggota KKI sekitar 160-an orang, tapi dengan berbagai cara keterlibatan. Kami baru satu kali pergi ke pulau Ende.
Apa harapannya Pater terkait ODGJ?
Seperti yang dilakukan KKI itu dan membongkar stigma kerja sama dengan tokoh agama seperti tokah MUI di Ende. Secara sosial itu kita diskusi untuk samakan persepsi baru tentang ODGJ. Kalau kita liat penjelasan dari atas tadi sebetulnya kami tidak punya teori ini. Keluhan selama ini adalah orang melihat ODGJ sebagai gangguan roh jahat dan kesalahan dosa manusia. Maka, solusi yang dicari adalah dukun atau pendoa. Fatal nya ketika tidak sembuh orang tidak percaya lagi dengan pendoa.
Ada satu pengalaman yang lucu, ketika seorang pendoa muslim justru berdoa kepada Bunda Maria. Bagi saya, sekarang ini iman semakin menipis atau saya mengistilahkannya sebagai sekularisme religius. Orang bermental instan dalam iman. Paham keselamatan mulai runtuh. Orang mau selamat hanya di dunia ini dengan cara apapun. Ini persoalan. Mestinya tetap dalam jalan yang baik apapun yang kita alami. Sehingga, paham keselamatan yang tepat tetap kita pertahankan. Orang mau yang instan. Kemanusiaan pun jadinya instan. Harga martabat manusia jadi asal-asalan bukan saja karena memang mau mengangkat derajatnya sebagai manusia.
Apa Sebabnya?
Soal sebab, KKI tidak banyak menyentuh soal itu tapi dari yang kami data ODGJ banyak yang pulang dari Batam, Kalimantan, Malaysia, Dubai, Malang, Jogja, Jakarta dan banyak juga yang tidak merantau. Tetapi apakah ada kaitannya dengan merantau, bisa jadi ya tapi juga belum ada penelitian secara ilmiah. Berkaitan dengan faktor gen, sebenarnya faktor gen itu tidak berdiri sendiri. Maksudnya, faktor gen ya, tapi faktor gen tidak akan berpengaruh kalau tanpa faktor lain seperti stigma dan diskriminasi yang sudah kita bicarakan tadi. Gangguan jiwa itu sebenarnya sebuah sakit yang bisa diobati secara medis. Dan ada obatnya dengan pelbagai macam obat. Karena gangguan jiwa itu juga gangguan pada fungsi otak, obat untuk menurunkan zat kimia yang ada pada otak.
Bagaimana karya Pater ini bisa diketahui oleh orang banyak?
Kegiatan itu kami masukan ke media baik cetak juga media sosial. Dan banyak orang yang mulai peduli. Dan banyak orang juga yang menilai negatif. Negatif karena dikaitkan dengan ayat Kitab Suci yang mengatakan apa yang diakukan tangan kirimu jangan diketahui oleh tangan kananmu. Orang tidak menggali lebih dalam maksudnya. Ada pengalaman di mana seorang yang membeli buku ini tidak mau posting ke FB karena ayat ini. Namun, ketika diberi penjelasan baru dia paham bahwa dengan postingan di medsos paling kurang kita juga turut mempengaruhi orang untuk peduli.
Apa optimisme yang membuat Pater semakin yakin dengan pelayanan ini?
Sulit sekali bagi kita orang awam untuk mendapatkan teori tentang ODGJ. Kecuali para dokter. Yang kita (saya) miliki adalah pengalaman yang boleh dibilang amatir dan spontan. Pengalaman yang berkeping-keping yang mestinya ada orang lain yang menyatukan keping-kepingan itu. Jadi, kita (saya) punya kepingan yang bisa dibagikan kepada orang lain dan harapannya adalah yang lain punya kepedulian yang kurang lebih sama.
Saya yakin kita semua sadar bahwa hakikat kita adalah mahluk sosial, yang tidak bisa tidak hidup de ngan orang lain. Bagaimana hakikat mahluk sosial diwujudkan kita punya cara masing-masing. Tetapi kepedulian terhadap ODGJ belum tentu dan masih langka. Kita berjuang untuk melawan stigma negatif dan diskrimiansi terhadap ODGJ. Dan dari pengalaman Anselmus, dia sekarang diminta oleh Panti Rehabilitasi di Sukabumi untuk menjadi promotor melawan persoalan ini. Optimisme kita adalah proyek kemanusiaan ini bukan oleh kita yang sehat tetapi mereka yang menjadi korban itu yang menjadi promotor, dibandingkan kita yang cuma peduli.)***
Terima kasih kawan-kawan atas artikel ini.
Salam.