Oleh: Dr. Fransiskus Borgias M.,MA, Dosen Teologi Biblika Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung

JPIC OFM melalui Valens Dulmin, meminta saya menulis sebuah artikel dengan tema umum “Menuju Peradaban HAM”. Tidak mudah juga menulis sesuatu tentang peradaban dan HAM. Tetapi setelah sejenak memikirkan tentang topik besar itu akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang HAM sebagai sebuah Agenda Peradaban, agenda menuju proses pengadaban (sivilisasi) kehidupan manusia, kehidupan bermasyarakat yang lebih beradab (civilized). Dalam cita-cita peradaban (proses civilisasi) masyarakat manusia, penegakan HAM adalah sebuah keharusan yang tidak dapat dan tidak boleh diabaikan lagi.

Penegakan HAM adalah tanda semakin beradabnya sebuah tata kehidupan bermasyarakat. Tanda keadaban sebuah masyarakat manusia ialah  perhatian serta penghargaan yang diberikannya kepada hak asasi manusia. Kehidupan demokrasi modern hampir tidak dapat dipikirkan tanpa juga berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Maka sekali lagi harus saya tekankan thesis-statement ini: tidak ada sebuah tata kehidupan yang beradab tanpa penegakan HAM.

Maka HAM memang patut menjadi sebuah agenda peradaban dan pengadaban manusia. Tetapi apa itu Hak Asasi Manusia? Saya memahami Hak Asasi Manusia itu sebagai Hak yang paling mendasar dari semua manusia, yang ada secara kodrati pada manusia tersebut, melekat pada dia begitu saja justru karena dia adalah manusia. Hak itu ada pada manusia karena kodratnya (by nature, not by culture).

Hak itu diberikan oleh Tuhan sang Pencipta sendiri, bukan misalnya diberikan oleh negara atau sebuah kontrak sosial (meminjam J.J.Rousseau). Hak dasar (itulah arti dari Azas/i) manusia tidak diberikan oleh negara. Karena itu, negara pun tidak dapat dan tidak boleh mencabutnya, tidak boleh menindasnya, tidak boleh melanggarnya, melainkan  negara itu harus mengakuinya dan melindunginya. Kiranya itulah peran dan fungsi negara. Charles Taylor, seorang pemikir Kanada, menyebutnya the politics of recognition (politik rekognisi).

Sesungguhnya wacana politik rekognisi ini sudah ada pada awal tahun 90-an pada abad yang lalu. Tetapi sekarang muncul kembali ke permukaan (setidaknya dalam pengamatan saya) terkait dengan sebuah peristiwa “politik” yang sedang hangat terjadi di Indonesia. Pada awal bulan November 2017, MK (Mahkamah Konstitusi) mengeluarkan sebuah keputusan yang mengakui (recognize, dan karena itu ada pengakuan, recognition) sistem kepercayaan untuk dapat dimasukkan ke dalam KTP pada kolom agama bagi para penganut sistem kepercayaan tersebut.

Jelas ini adalah sebuah langkah maju (progresif) menuju perubahan politik yang baru dan berani. Kita patut menghargainya. Kepercayaan-kepercayaan asli yang ada dan hidup di Indonesia adalah termasuk dalam cakupan hak asasi manusia. Dalam bahasa wacana post-colonial, kepercayaan-kepercayaan asli itu termasuk dalam cakupan the minority rights, hak-hak kaum atau kelompok minoritas yang mungkin selama ini, akibat sebuah sikap dan putusan politis tertentu, sedikit banyak disisihkan untuk tidak mau dikatakan ditindas (ditekan) secara ideologis dan politis.

Wacana the politics of recognition yang diangkat oleh Charles Taylor pada saat itu dibentangkan pada sebuah latar belakang sebuah sikap politik yang dominan sebelumnya, yaitu yang disebut the politics of assimilation. Kamus Longman Dictionary of Contemporary English memberi tiga makna leksikografis untuk kata kerja to assimilate dalam bahasa Inggris. Tetapi yang kiranya relevan untuk diangkat di sini ialah makna yang ketiga, yaitu: to make or to become like the people of a country, race, or other group, esp., in ways of behaving or thinking.

Di sini kita harus membayangkan situasi gelombang imigrasi yang sering terjadi di Amerika dan Kanada dan negara-negara Eropa pada umumnya (dari dulu hingga sekarang ini walau ada segala pembatasan). Ada sekelompok manusia yang berasal dari luar (biasanya dari Dunia Ketiga) yang datang ke Amerika/Kanada.

Saat mereka sudah masuk dan menetap di sana, diharapkan agar mereka yang datang dari luar itu menyesuaikan diri dengan adat-istiadat setempat, dengan pola perilaku, dan bahkan dengan cara berpikir, dan bahkan bila perlu lagi dengan agama mereka. Kata kuncinya ialah bahwa yang datang dari luar itu harus menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Kira-kira seperti apa yang pernah dinyatakan dengan sadar juga oleh kebudayaan Melayu di Nusantara sebagaimana tampak dalam beberapa pepatah klasik mereka. Misalnya: 1) Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak. Atau 2) Di mana bumi diinjak, di situ langit dijunjung.

Kaum berhikmat Melayu kuno itu dulu merumuskan kedua pepatah itu sambil dengan sepenuhnya sadar akan fakta lain yang terungkap dalam pepatah lain, seperti “Lain padang, lain belalang, lain lubuk, lain ikannya”. Di satu pihak ada kesadaran penuh akan ke-lainan itu, tetapi di pihak lain orang dianjurkan untuk menyesuaikan diri. Itulah politik asimilasi. Politik asimiliasi itu bisa (dianjurkan agar) diadopsi oleh kaum pendatang, tetapi biasanya hal itu dituntut sebagai prasyarat oleh orang-orang setempat (maaf, “pribumi”).

Tetapi wacana itu sekarang ini dianggap tidak lagi memadai. Oleh karena itu, orang menggantinya dengan wacana the politics of recognition. Ini adalah sebuah pengakuan politik akan adanya sekelompok manusia, apa adanya. Mereka harus diakui secara utuh apa adanya. Juga dalam ke-lain-an dan keunikan mereka. Termasuk keunikan kultur, bahasa, dan juga keunikan keyakinan religius. Fakta keunikan dan ke-berlain-an itu termasuk dalam struktur dasar hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak kaum minoritas (minority rights).

Hanya dengan the politics of recognition, hak-hak dasar kaum minoritas dapat ditampung dan dihargai dengan sepatutnya. Keputusan MK untuk mengakui dan dengan demikian memberi status legal yang sah kepada para penganut sistem kepercayaan bagi saya merupakan sebuah langkah maju dan berani dalam rangka proses pengadaban (civilization) kehidupan manusia.

Ini adalah sebuah langkah maju yang berani dalam rangka pengakuan (recognition) akan hak-hak asasi manusia. Sekelompok manusia tidak akan mungkin bisa dihargai kalau salah satu poin dasar dari hak asasinya yaitu yang menyangkut kepercayaan atau keyakinan religiusnya tidak diakui dalam sebuah tata kehidupan politik tertentu (dalam hal ini : Indonesia).

Memang sudah lama ada sebuah keputusan politik tertentu di Indonesia yang semula hanya mengakui lima agama saja yang resmi ada di Indonesia (Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha). Tetapi sejak masa pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid (1999-2001), cakupan pengakuan itu diperluas, yaitu dengan memasukkan Kong Hu Tsu ke dalam rentang pengakuan tersebut. Sudah sejak awal semua bentuk “agama” asli (seperti parmalim di tanah Batak, Kaharingan di Kalimantan, Marapu di Sumba, sekadar menyebut beberapa contoh saja) dimasukkan ke dalam kategori sistem kepercayaan (yang dibedakan, berbeda dari agama).

Tetapi dalam pandangan saya, justru kepercayaan (percaya) itulah yang menjadi pengikat semua keenam agama tadi dengan apa yang disebut sistem kepercayaan (agama asli, indigenous religions). Mengapa? Karena kesemuanya mengandaikan adanya sebuah kepercayaan. Mereka semua berangkat dari sebuah kepercayaan, yaitu percaya akan sesuatu, seseorang, sebuah daya kekuatan adikodrati dengan pelbagai nama atau sebutan. Kepercayaan itu bersifat intensional (meminjam istilah fenomenologi Husserl, kesadaran yang bersifat intensional).

Intensionalitas kepercayaan itulah yang mencirikan semua agama. Justru karena mempunyai basis identitas kepercayaan (yang bersifat intensional) itulah, maka di mata saya semuanya adalah sama. Kiranya inilah salah satu basis filosofis bagi pembenaran adanya pengakuan (negara melalui MK) yang sudah disebutkan di atas tadi.

Memang harus diakui bahwa ada juga sebuah definisi yang ketat terhadap agama, yang dikatakan harus memiliki kitab, harus memiliki nabi, dan harus memiliki institusi struktural. Agama asli memang tidak dapat memenuhi semua syarat itu (tidak memiliki kitab, tidak memiliki nabi, tidak memiliki institusi apalagi yang hierarkis ketat seperti misalnya dalam konteks Gereja Katolik).

Tetapi definisi ini adalah sebuah definisi politis; ini adalah sebuah penetapan dari satu kelompok tertentu. Sedangkan hal yang paling mendasar ialah adanya kepercayaan itu sendiri. Pada level (percaya) itu, maka semuanya sama. Itulah sebabnya, saya secara pribadi menyambut baik pengakuan tersebut yang sudah memiliki basis dan kekuatan hukum tetap setelah adanya keputusan dari Mahkamah Konstitusi.

Memang pengakuan itu akan memunculkan beberapa soal baru (yang tidak dapat saya bentangkan semuanya dalam tulisan singkat ini). Tetapi setidaknya sebagai sebuah negara kita tidak perlu selalu terjebak dalam sikap kejam (secara institusional dan konstitusional) terhadap sekelompok manusia tertentu (minority groups).

Sebagai sebuah negara yang beradab (termasuk beradab dalam hal penegakan dan pembelaan hak asasi manusia), maka Indonesia harus mulai memikirkan dampak lebih lanjut dari pengakuan tersebut. Sebab pengakuan itu akan mempunyai dampak sangat besar misalnya dalam hukum perkawinan, dalam kurikulum sekolah (pendidikan), dalam administrasi pemerintahan.

Pemerintah harus mulai memikirkan sebuah sikap netral dalam rangka melindungi semua pihak, terutama yang selama ini menjadi korban sebuah sikap dan keputusan politik dominasi (yang cenderung memaksakan politik asimilasi). Saya kira negara ada dan hadir untuk mengurus dan mengatur hal itu. Jangan sampai negara mengabaikan hak-hak dasar dari sekelompok kecil warganya. Seakan-akan mereka itu adalah warga kelas dua. Negara harus hadir untuk menegakkan hak asasi manusia.

Kalau negara sudah berperan seperti itu, maka mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang menjadi korban putusan politik negara yang tidak adil. Hanya dengan cara itulah maka sila kedua dalam Pancasila (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dapat ditegakkan dengan sepenuhnya dan seutuhnya.)***

3 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

4 × 2 =