JPIC OFM.com – Populisme menjadi fenomena global yang berkembang pesat pada tahun-tahun belakangan ini. Tahun lalu, pada akhir November 2017, Cambridge Dictionary menyatakan bahwa populisme merupakan kata yang paling banyak dicari dan dibicarakan pada tahun 2017. Tidak saja menjadi kata yang paling sering dicari dan didiskusikan, populisme telah menjadi satu dari kata-kata kunci politik abad ke 21.
Fakta ini menunjukkan secara jelas bahwa populisme telah mengglobal dan menyeruak dalam realitas hidup bersama kita. Kendati menjadi kata kunci (buzzword) dalam memahami fenomena politik abad ke-21, para ahli belum mendapat kata sepakat tentang definisi populisme. Namun demikian ada tiga kategori pemahaman tentang fenomena populisme, yakni, sebagai sebuah ideologi, sebagai sebuah gerakan, dan sebagai sebuah sindrom.
Populisme, dalam pendekatan konseptual (ideational approach), dipahami sebagai sebuah diskursus, sebuah ideologi atau sebuah pandangan dunia (Cas Mudde and Christóbal Rovira Kaltwaser, Populism, 2015).
Bagi Cas Mudde and Crisóbal Rovira Kaltwasser dalam buku mereka Populism: a very short introduction (2017), populisme adalah sebuah ideologi yang “tipis atau cair” (thin-centered ideology), yang mempertimbangkan masyarakat terpolarisasi dalam dua kelompok yang homogen dan antagonistik, yakni “orang-orang yang bersih / baik” (the pure people) dipertentangkan dengan “elite yang korup” (the corrupt elite).
Populisme juga memandang politik sebagai ekspresi kehendak umum (general will) dari rakyat. Populisme adalah sebuah ideologi yang “tipis atau cair”, populisme dapat “menempel pada atau mengalir bersama” ideologi-ideologi yang “tebal atau penuh” (thick-centered or full ideologies) seperti sosialisme atau liberalisme.
Populisme tidak memiliki konsep tentang sebuah sistem politik atau ekonomi yang bagus, seperti sosialisme atau liberalisme, karena ia menentang sistem. Populisme bisa diterapkan dalam ideologi kiri maupun kanan.
Hal ini dapat diamati dengan fenomana populisme kanan yang marak terjadi, khususnya, di Eropa yang menonjolkan politik identitasnya dan populisme kiri yang ditemukan gejalanya secara khusus pada gerakan politik di Amerika Latin, dengan konflik kelasnya (Robert Samuel, Psychoanalyzing the Left and Right after Donald Trump, 2016).
Tiga Konsep Pokok Populisme
Mencermati definisinya, populisme memiliki tiga konsep inti, yakni rakyat, kaum elite, dan kehendak bebas. Pertama, rakyat. Ada tiga pemahaman rakyat dalam populisme. Mereka adalah rakyat yang berkuasa / berdaulat (the people as sovereign), rakyat sebagai orang-orang biasa (the common people) dan rakyat sebagai bangsa (the people as notion). Rakyat yang berkuasa berarti bahwa rakyat adalah sumber pokok dari kekuatan politik dan penguasa. Namun dalam demokrasi, khususnya demokrasi liberal, kadang rakyat merasa kepentingan mereka tidak diakomodasi oleh para elite.
Dalam situasi seperti ini, gerakan populisme menyeruak dengan semboyan “memberikan pemerintahan kembali kepada rakyat”. Rakyat biasa dipahami sebagai orang-orang yang dengan status sosial budaya dan sosial ekonominya sering dicurigai atau diabaikan dalam demokrasi liberal. Situasi itu dimanfaatkan oleh gerakan populisme untuk berkonflik dengan elite atau bersikap antielite dengan mengkritik partai-partai politik dan birokrasi yang dianggap tidak merakyat”.
Sebagai sebuah bangsa, rakyat dipahami sebagai sebuah komunitas bangsa, rakyat asli / pribumi. Persoalan muncul ketika dalam sebuah negara terdapat kelompok-kelompok etnis yang berbeda seperti Indonesia. Ketika menyebut rakyat Indonesia, kita diajak untuk mempertanyakan, “Siapa yang sungguh-sungguh rakyat (asli) Indonesia?” Konteks seperti inilah yang kerap menjadi lahan subur bagi gerakan populisme untuk “memecah belah” kesatuan dalam masyarakat yang majemuk dan plural.
Konsep kedua yakni kaum elite (termasuk wakil rakyat). Dalam populisme, kaum elite diartikan sebagai mereka yang memiliki basis kekuatan politik, ekonomi, media dan seni. Kendati kelompok ini memiliki perbedaan kekuasaan namun mereka dianggap sebagai sebuah kelompok homogen yang memiliki ciri sebagai kaum yang korup.
Apa yang mereka perjuangkan dianggap berlawanan dengan “kehendak umum” dari rakyat. Kaum populis melihat rakyat sebagai kaum yang baik atau bersih. Sebaliknya, kaum elite dipandang sebagai kelompok yang jahat, korup dan tidak menyuarakan apa yang menjadi kehendak rakyat mereka.
Konsep yang ketiga adalah kehendak umum. Dalam populisme, pengertian kehendak umum digunakan oleh aktor-aktor populisme dan konstituenkonstituennya didasarkan pada pemahaman “akal sehat” (common sense). Ini berarti bahwa kehendak umum bukanlah hasil dari proses diskusi dan rasionalisasi dalam ruang publik sebagaimana terjadi dalam demokrasi. Sebaliknya, kehendak umum ini disusun sebagai penggabungan kepentingan bersama aktor-aktor populisme dan konstituen mereka dan mengidentifikasi musuh bersama mereka yakni kaum elite, penguasa, partai-partai politik dan birokrat serta sistem deokrasi yang berlaku.
Tantangan Etika
Fenomena populisme membawa tantangan etika saat ini, khususnya terkait dengan perpecahan dan hilangnya budaya dialog dalam hidup bersama. Sebagai sebuah pemikiran yang kritis, rasional dan mendasar, etika ditantang untuk mengkritisi fenomena populisme, sebuah politik sentimental, sebuah emosionalisasi politik yang menyatukan aktor-aktor populisme dan konstituennya guna melawan elite atau sistem politik, khususnya demokrasi liberal.
Tantangan yang pertama adalah fenomena populisme menolak dialog dalam relasi dengan kaum elite (elitisme) dan kelompok lain (pluralisme). Rakyat dan kaum elite dipersatukan oleh interese dan nilai-nilai bersama yang disepakati (monisme) namun demikian, secara moral mereka bertolak belakang, rakyat menganggap diri sebagai yang baik (pure) melawan kaum elite yang korup (corrupt).
Berhadapan dengan kaum elite yang dianggap tidak menyuarakan aspirasi mereka, rakyat mudah bersepakat dengan aktor-aktor populis (kaum demagog) untuk melakukan aksi-aksi yang menghasut, mengancam dan menjurus kepada kekerasan.
Tindakan kaum populis ini pun membawa perpecahan dalam relasi masyarakat yang pluralis, karena aspirasi kaum populis tidak didialogkan dan didiskursuskan bersama tetapi hanyalah “kesepakatan” sepihak antara “rakyat” dan “kaum demagog” berdasarkan sentimentalisasi atau emosionalisasi dan personalisasi politik (Karin Priester, Populismus Historische und aktuelle Erscheinungsformen, 2007).
Tantangan yang kedua adalah populisme menciptakan relasi konflik, dalam dualisme “kita” versus “mereka” dalam hidup bersama. Populisme mengabaikan sistem demokrasi yang formal, yang mengedepankan mekanisme musyawarah bersama demi keputusan untuk kepentingan bersama.
Populisme, sebaliknya, menonjolkan kecilnya perhatian terhadap hak-hak kamu minoritas baik agama, suku, ras dan golongan tertentu. Kelompok minoritas tersebut adalah “mereka” yang harus dilawan oleh “kita”. Populisme menyebarkan rasa curiga, saling mengancam dan ketidakbebasan dalam hidup bermasyarakat. Ketakutan dan kecurigaan “kita” terhadap “mereka” menjadi alasan untuk menolak dan menyerang kelompok lain.
Dalam gempuran populisme inilah, kita diajak kembali untuk membangun dan merawat budaya dialog dan menciptakan relasi persaudaraan dalam hidup bersama.
Ketidakpuasan terhadap elite atau sistem pemerintahan, perlu disampaikan dengan dialog yang didasarkan pada motivasi untuk membangun dan menjadikan kehidupan bersama kita lebih baik dari hari ke hari. Dialog akan berjalan dengan baik, jika kita mampu menghidupkan semangat persaudaraan dalam relasi dengan sesama kita.
Ketika kita mampu memandang sesama kita sebagai saudara atau sebagai bagian dari diri kita sendiri, maka dikotomi “kita” versus “mereka” bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan.)***
Sdr. Hieronimus Y. Dei Rupa, OFM, Dosen STF Driyarkara Jakarta