P. Alsis, OFM Saat memberi materi tentang Lingkungan Hidup untuk Komisi JPIC Paroki-paroki Keuskupan Agung Jakarta. Doc. JPIC

JPIC OFM.com – Sejarah investasi pertambangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah memasuki setengah abad sejak dimulainya sebuah ekspedisi penyelidikian geologis oleh sejumlah tim dari Dirjen Pertambangan (saat ini Dirjen Minerba) pada era 80-an.

Berdasarkan catatan uji petik lapangan, ada berbagai jenis ineral yang telah ditemukan di rahim bumi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Badan Geologi Nasional dan para peneliti international. Cadangan mineral terbesar berada pada wilayah-wilayah zona busur vulkanik (volcanic arc) yaitu dari Pulau Flores, Adonara, Solor, Lembata, Pantar, dan Alor terus menuju Wetar.

Pada pulau–pulau ini, cadangan mineral bersifat primer artinya muncul dalam jumlah besar dan berasal dari letusan gunung berapi atau angkatan dari bawah permukaan kerak bumi. Potensi terbesar pada busur vulkanik adalah emas, mangan, tembaga, pasir besi, tembaga dan nikel.

Fakta ini di dukung oleh beberapa hasil studi lapangan atau uji petik potensi tentang endapan mineral yang prospektif, seperti emas, mangan (Sukmana, 2007 & 2012), pasir besi, batubara (Dahlan, n.d), tembaga (Tampubolon, 2007).

Pulau Flores, secara khusus Manggarai Raya merupakan daerah yang kaya akan bahan mineral. Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah merilis dafar mineral yang terdapat di Manggarai Raya yakni emas, perak, tembaga, pasir besi, timbal dan mangan. Cadangan emas terdapat di kecamatan Komodo (Wae Asa dan Tabedo) Manggarai Barat dan kecamatan Reo (Wae Dara) Kabupaten Manggarai. Pasir besi yang potesial untuk dieksploitasi, sebesar 343.300 ribu ton terdapat di wilayah Dusun Nangarawa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba Manggarai Timur, yang terletak dalam jalur magmatic Sunda (Franklin, 2006).

Sebuah hasil kegiatan lapangan dan non lapangan yang dilakukan oleh Badan Geologi, Kementerian ESDM menunjukkan bahwa Manggarai merupakan salah satu daerah sebaran mangan yang cukup potensial (Sukmana, 2007).

Endapan mangan ini ditemukan di Cibal (Wae Pateng dan Riung), Kecamatan Reo (Kajong, Bajak, Robek, Wangkung, dan Ropang) Manggarai. Sedangkan untuk Manggarai Timur ditemu kan di desa Satar Punda kecamatan Lambaleda dan di kecamatan Elar.

Potensi mangan yang besar dan harga mangan yang tinggi di pasaran internasional, telah mendorong percepatan investasi pertambangan mangan. Investasi ini meningkat drastis pada dasawarsa terakhir ini juga karena adanya kebijakan otonomi daerah. Fakta menunjukkan bahwa ketika ke wenangan perizinan konsesi tambang diserahkan kepada Kepala Daerah (Bupati) dan tuntutan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) telah mendorong para bupati untuk mengizinkan dan beroperasinya sejumlah perusahaan pertambangan.

Hal ini nyata terjadi pada kabupaten–kabupaten yang ada di Manggarai Raya. Para bupati di Manggarai Raya sangat royal mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) antara tahun 2009 – 2010 terdapat 14 IUP yang diterbitkan dan ditandatangi oleh bupati Manggarai Christian Rotok, 9 IUP yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Bupati Manggarai Timur, Yosep Tote, dan 2 IUP eksplorasi pertambangan yang terbitkan dan ditandatangani oleh bupati Manggarai Barat, Fidelis Pranda.

TEMUAN: Kerakusan dan Kejahatan Koorporasi (beserta Kroninya) 

Kehadiran pertambangan yang beroperasi berdasarkan perijinan yang diterbitkan oleh bupati–bupati di Manggarai Raya di satu sisi berdampak positif terhadap aktivitas ekonomi di wilayah tersebut, sekaligus penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa investasi tersebut lebih banyak menuai mudarat dari pada manfaat.

Investasi di bidang pertambangan di Manggarai Raya, menunjukkan bahwa pemerintah secara pragmatis dan instan mendorong diadakan pertambangan tanpa melakukan kajian ekologi, ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Pemerintah cenderung melihat sektor pertambangan sebagai sektor utama yang akan mendatangkan devisa bagi daerah dan melupakan sektor pariwisata, pertanian, perikanan, kelautan, peternakan dan sektor-sektor unggulan lainnya yang selama ini justru menjadi basis dan sumber utama penghidupan rakyat. Selain itu investasi pertambangan telah menyebabkan over-eksploitasi mineral dan munculnya sejumlah persoalan yang melibatkan multi-stakeholder. 

Sejak awal kehadiran pertambangan, masyarakat lingkar tambang yang terbatas kemampuan dan sumber daya, tidak banyak (bahkan tidak ada) yang memiliki pengetahuan tentang seluk beluk dan mekanisme kerja perusahaan tambang.

Akibatnya mereka banyak dimanipulasi dan dibohongi oleh perusahaan tambang. “…sejak awal pater, toe ma baen lami apa tambang hitu. Jadi dami teing tanda tangan persetujuan”, demikian tutur Tua Teno Kampung Lengkololok, yang hampir seluruh wilayah ulayatnya berada dalam Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP).

Bahkan sejumlah perusahaan telah menjebak warga masyarakat lingkar tambang untuk menyerahkan lahan–lahan pertanian tanpa kompensasi atau keuntungan ekonomis, yang menjadi hak warga pemilik lahan atau hak ulayat. Padahal Undang – Undang Minerba 2009  secara jelas dan tegas mengatur penggunaan tanah masyarakat bagi kegiatan pertambangan yang disertai dengan ganti rugi. Demikian juga ketentuan undang – undang yang sama mengatur bahwa pemegang hak pertambangan sebelum melakukan aktivitas pertambangan harus mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Persetujuan tersebut dapat dilakukan, baik secara lisan maupun tertulis dalam bentuk perjanjian. Karena sarat dengan aspek bisnis, maka  perjanjian tersebut dapat disertai dengan sejumlah biaya yang besarnya disepakati bersama.

Penyelesaian itu berupa pembebasan lahan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dengan cara memberikan  ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Tetapi fakta lapangan menunjukkan bahwa warga masyarakat melalui para tua adat didesak untuk menyatakan persetujuan tanpa memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai tentang dampak–dampak dari operasi pertambangan, hak-hak dasar yang mesti diperoleh dari usaha pertambangan dan kemampuan untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan.

Sebagai imbalannya perusahaan berjanji untuk membangun kapela, jalan, rumah adat, sumbangan babi, beras, rokok dan tuak pada setiap acara adat (pada kasus Satar Teu & Lengkololok). Pembangunan sarana umum yang merupakan bentuk tanggung jawab sosial (CSR), seringkali diklaim  sebagai ganti rugi atau kompensasi atas lahan–lahan  pertanian. Padahal CSR adalah kewajiban perusahaan dan hak masyarakat, khususnya mereka yang berada di sekitar tempat usaha atau mereka yang terkena dampak langsung.

Pemberian CSR yang dimaksudkan lebih pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Tetapi yang terjadi pada masyarakat adat Lengko lolok misalnya, karena menyumbang pada setiap upacara adat, maka perusahaan seakan–akan memiliki hak atas tanah (moso) di wilayah hak ulayat kampung Lengkololok. Karena itu tanpa izin dari Tua Teno Lengkololok, PT. Arumbai Mangabekti mulai melakukan pemboran dan peledakan di lingko Tana Neni/Satar Neni sebagaimana yang terjadi pada bulan September 2017 yang lalu.

Bahkan dengan semena–mena PT. Arumbai menebang pohon dan tanaman komoditi warga Serise ketika membuka jalan baru melewati lingko Golo Rutung (lingko milik masyarakat Serise). Lain lagi kenyataan yang terjadi pada masyarakat Timbang. Karena perusahaan (PT. SJA – PT. Global) telah membayar ganti rugi tanaman yang tumbang karena aktivitas pertambangan, maka dengan semena–mena perusahaan membuka jalan dan menambang di atas tanah milik masyarakat tanpa sepengetahuan dan izin dari masyarakat yang empunya tanah.

Ketika hak-hak dasar warga (ekonomi, sosial, budaya dan rasa aman) terganggu dan diabaikan, maka warga lingkar tambang membangun kekuatan untuk berjuang mengembalikannya. Karena melakukan pemboran dan peledakan, maka Tua Teno Lengkololok, memanggil Ahmadi (Branch Manager) untuk mempertanggung jawabkan kegiatan PT. Arumbai. Jawaban mengejutkan yang masyarakat peroleh dari perusahaan adalah bahwa karena menyumbang pada acara adat Cepa & Kalok’, maka perusahaan mendapat los moso (hak penguasaan lingko/tanah) di tanah ulayat Lengkololok. Jawaban ini membuat marah Tua Teno dan masyarakat Lengkololok, maka mereka mengusir PT. Arumbai. Karena tanpa seizin Tua Teno dan masyarakat adat, PT. Arumbai melakukan pemboran dan peledakan.

Tindakan yang sama juga diambil oleh Tua Teno Satar Teu. Tua Teno Satar Teu memanggil dan menegur PT. Arumbai karena tindak an pemboran dan peledak an telah melanggar kesepakatan awal, yang katanya hanya untuk mengetes kandungan mangan. Bahkan lebih keras lagi sikap dan tindakan masyarakat Timbang yang memagari jalan masuk menuju lokasi pertambangan. Tindakan masyarakat Timbang ini dilakukan karena perusahaan belum pernah duduk dan berbicara bersama masya rakat berkaitan dengan hak dan kewajiban perusahan.

Berhadapan dengan perlawanan masyarakat di rural area, maka seringkali pola adu domba dan pendekatan intimidatif dari aparat keamanan dan pemerintah (bahkan anggota DPRD) serta strategi bujuk rayu dan pembohongan publik yang dilakukan sejumlah perusahaan adalah strategi yang dilakukan untuk menjebak warga masyarakat lingkar tambang. Karena masyarakat Timbang menutup akses jalan masuk dengan membuat pagar, maka PT.

SJA dengan managemen PT. Global melapor dan mendatangkan polisi dan tentara dari sektor Reo dan Pagal untuk menakut-nakuti warga, dengan dalil bahwa perusahaan memiliki hak atas wilayah tersebut berdasarkan KP (kuasa pertambangan) yang dimilikinya.

Bahkan tentara yang menjadi juru bicara perusahaan dalam negosiasi dengan masyarakat mengancam akan memproses masyarakat Timbang secara hukum. Karena memiliki kuasa pertambangan, maka Ahmadi (PT. Istindo / Arumbai) mendatangi masyarakat Lengkololok dikawal oleh oknum polisi dari Dampek, memberikan ancaman dan intimidasi terhadap Tua Teno dan masyarakat. Akibatnya masyarakat terjebak dalam ketidakberdayaan dan ketakutan akibat pembohongan dari pihak perusahaan dan tindakan intimidatif dari oknum aparat suruhan perusahaan.

LOST but NO LAST 

Inilah sekelumit kisah pilu yang ditemukan ketika mengunjungi warga masyarakat lingkar tambang pada awal Oktober 2017. Kebanyakan adalah cerita–cerita lama, soal kekalahan masyarakat. Kekalahan masyarakat akibat dimanipulasi dan dibohongi serta dirugikan secara sosial, ekonomi, budaya, dan kebijakan.

Padahal sesuai dengan amanat konstitusi dan asas serta tujuan UU Pertambangan 2009, kehadiran pertambangan semestinya membawa manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat; dan menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan.

Pemerintah yang seharusnya diberi tugas dan amanat untuk mengusahakan bonum commune tenyata berperan besar dalam proses penyengsaraan dan pemiskinan warga. Hal ini ditandai dengan keputusan publik Pemda yang semuanya dibuat dalam ruang tertutup atas masuknya investasi pertambangan di wilayah Manggarai Raya. Hal ini menunjukkan kecenderungan keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan, mengabaikan kepentingan masyarakatnya, menekan warga untuk memuluskan operasi pertambang an di atas lahan-lahan pertanian milik warga, dan nyaris tak melindungi hak – hak dasar dan kepentingan ekonomi masyarakat lingkar tambang.

Peran pemerintah seperti ini dibarengi dengan pola adu domba dan pendekatan intimidatif dari aparat ke amanan. Bahwa hari ini, dengan berlaku nya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana kewenangan penerbitan dan pencabutan izin ada di tangan Gubernur, belum didapati satu sikap jelas dari Bupati Manggarai Kamelus Deno dan Bupati Manggarai Timur Yoseph Tote, untuk bisa mulai berbuat baik, berpihak pada warga masyarakat lingkar tambang. Bahkan pemerintah daerah sebagaimana yang terjadi pada rezim Kamelus Deno selaku bupati Manggarai sekarang telah melakukan kajian AMDAL bersama PT. Masterlong Mining Resoursces (MMR) di Nggalak dan Maki.

Patut diduga bahwa apa yang dilakukan ini adalah bagian dari politik transaksional do ut des pasca pilkada Mangarai 2016. Bahwa salah seorang bakal calon wakil gubernur NTT, Christian Rotok menyatakan akan menolak investasi pertambangan galian A dan B atau mineral bila kelak terpilih dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang digelar tahun 2018, tidak bisa dijadikan dasar keberpihakan pemerintah terhadap persoalan yang melilit masyarakat akibat investasi pertambangan.

Pernyataan Christian Rotok hanyalah metamorfosis politis yang paling sempurna sekaligus murahan, “tiba–tiba peduli lingkungan, bukan karena komitmen tetapi sekadar iklan demi suara,” demikian kata Pastor Peter Aman OFM, dalam sebuah seminar. Faktanya ketika menjadi bupati Manggarai (2005 – 2015) Christian Rotok bersama Kamelus Deno adalah rezim yang paling royal mengeluarkan izin usa ha pertambangan.

Demikian dengan para wakil rakyat (DPRD) di Manggarai dan Manggarai Timur. Absennya political will pemerintah daerah dan cenderung masa bodoh, bahkan turut ‘merestui’, mesti diakui bahwa mereka telah lama menjadi bagian dari persoalan ini.

Demikianlah dafar panjang litani kegetiran warga lingkar tambang yang bertentangan dengan kehidupan mewah para pemburu rente dan pemangku kepentingan.)**

Sdr. Alsis Goa, OFM, Koordinator Advokasi JPIC OFM Indonesia

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − two =