Oleh: Sdr. Alsis Goa, OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia
Pelajaran Ibu kota
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan India, untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilu secara bebas, tanpa tekanan, pada tahun 1999. Tahun yang ditandai sebagai awal era reformasi, kebebasan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya benar–benar dijamin oleh konstitusi dan Undang – Undang. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah politik di Indonesia, pada tahun 2004 Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana amanat yang dituangkan pada hasil amandemen ketiga UUD 1945.
Pada tahun yang sama (2004) juga diberlakukan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undangundang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia, pada 2017 kembali menyelenggarakan Pemilihan kepala daerah (gubernur & wakil gubernur) pada Pemilukada atau Pilkada serentak. Pada Pilkada Februari 2017 lalu, Jakarta telah memilih Anies Rasys Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur. Walaupun termasuk dalam daerah yang sukses menyelenggarakan Pilkada, namun, ternyata Pilka da Jakarta menyisakan kisah lama yang tidak tergerus oleh modernisasi dan rasionalitas (juga logika) masyarakat.
Kisah pilkada Jakarta adalah kisah tentang kepiawaian para konsultan komunikasi politik dalam mengemas kandidatnya menggunakan politik identitas yang mampu mengabur kan peranan dan keterlibatan pelaku – pelaku di balik panggung kontestasi politik elektoral tersebut. Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang begitu popular dengan strategi program populisnya dalam membangun ibu kota, kandas tersungkur bahkan secara tragis harus mendekam dalam penjara akibat politik identitas yang dimainkan oleh Anies Baswedan dengan kroni – kroninya.
Karakter pemilih ibu kota yang dikenal rasional, ternyata lemah dan tak berdaya berhadapan dengan politik identitas yang dimainkan. Strategi asimetris pasangan Anies – Sandi dipilih sebagai cara untuk menghancurkan Ahok yang terkenal kepiawaiannya dalam membangun Jakarta dengan menggunakan sentimen agama. Sentimen tentang Muslim dan kafir, tentang surga dan neraka, tentang tentang azab akhirat jika memilih pemimpin nonmuslim. Walaupun ujung –ujungnya harus diakui bahwa ini hanyalah strategi busuk yang dimainkan oleh para pelaku politik lama dan pemain bisnis kelas kakap yang berkepentingan memenangkan legitimasi politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Bahwa yang ditarget bukan kepentingan masyarakat (bonum commune) apalagi agama (keselamatan) tetapi kekuasaan demi melanggengkan bisnisnya. Inilah kenyataan yang sesungguhnya yang tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi hampir berlaku di semua wilayah RI ketika menyelenggarakan Pilkada, yakni politik transaksional. Karena keterlibatan para pelaku politik lama dan pemain bisnis kelas kakap sebenarnya begitu kasat mata pada beberapa putaran Pilkada di beberapa daerah.
Demokrasi Transaksional
Keterlibatan pemain bisnis kelas kakap melalui dukungan keuangan politik pada pemilihan elektoral di berbagai daerah di Indonesia ibarat kentut; bau busuk dan kebobrokan ada dan tercium kuat tetapi sulit untuk dibuktikan secara tak terbantahkan. Namun demikian, kajian litbang KPK (Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada, 2015) mengungkapkan bahwa pada Pilkada serentak tahun 2015 banyak terjadi kasus money politic.
Money politic atau politik uang terjadi pada : 1) Proses pencalonan, terdapat proses penyerahan uang saat menjelang pendaftaran calon dan pemberian uang mahar; 2) Saat kampanye, terjadi politik uang di 21 kabupaten pada 10 provinsi; 3) Saat masa tenang, sebanyak 311 kasus money politik di 25 Kab/ kota pada 16 Provinsi). Saat pemilihan, terjadi 90 kasus money politik di 22 Kabupaten di 12 provinsi.
Politik uang dalam Pilkada 2015 terjadi karena mahalnya biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah yang ikut dalam kontestasi lima tahunan tersebut. Biaya politik mahal karena merujuk pada hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota / Bupati dibutuhkan biaya mencapai 20 - 30 Milyar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar 20 – 100 Milyar. Tentu saja biaya untuk menjadi Kepala Daerah lebih besar apabila dibandingkan dengan biaya menjadi anggota dewan yang hanya mencapai Rp. 300 juta – 6 Milyar.
Lebih lanjut, kajian litbang KPK menunjukkan bahwa biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon Kepala Daerah. Berdasarkan laporan LHKPN, ratarata total harta kekayaan calon Kepala Daerah hanya mencapai Rp. 6,7 Milyar. Bahkan terdapat 3 orang memiliki harta Rp.0, dan 18 orang lainnya memiliki harta negatif. Dalam konteks demokrasi, tingginya biaya politik menjadi salah satu penyebab demokrasi Indonesia prosedural dan cenderung transaksional. Karena ternyata sistem demokrasi yang mahal ini membuka pintu dan peran yang amat sangat besar bagi para pemain bisnis kelas kakap.
Melky Nahar dalam opininya di harian Kompas (Ijon Politik Tambang, Kompas 6 Maret 2017) mengungkapkan bahwa pesta demokrasi lima tahunan ternyata merupakan kesempatan bagi para pebisnis berbasis lahan skala besar melakukan praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan politik demi melanggengkan usaha mereka di daerah. Modal finansial untuk kebutuhan politik pilkada ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan. Hal ini bukan sekedar retorika isapan jempol belaka, tetapi fakta yang ditemukan di daerah – daerah. Studi lapangan yang dilakukan oleh JPIC OFM (Review Pertambangan di Manggarai, 2015), menunjukan bahwa geliat perizinan pertambangan senantiasa terjadi menjelang pesta demokrasi lima tahunan (Pilkada bupati atau gubernur).
Jaring an Advokasi Tambang (Melky Nahar, Kompas 2017) mencermati adanya keterlibatan para pemain bisnis kelas kakap yang memiliki kepentingan melanggengkan kuasa mereka pada industri pertambangan dan ener gi, serta bisnis berbasis lahan lainnya, seperti perkebunan dan konsesi hutan, di balik pemilihan elektoral di berbagai daerah. JATAM juga mencatat terdapat kecenderungan peningkatan jumlah perizinan pertambangan di tahun menjelang, saat berlangsung, dan selepas pilkada. Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, misalnya, tercatat ada penerbitan 54 IUP baru pada 2010, satu tahun setelah pelaksanaan Pilkada 2009. Tahun sebelumnya, hanya 7 IUP.
Kecenderungan serupa terjadi di beberapa kabupaten lain, seperti Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), Kutai Barat (Kalimantan Timur), Tebo (Jambi), Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), dan Bengkulu Tengah (Bengkulu). Bahkan fakta terbaru yang mendapat sorotan dan perhatian besar terutama dari masyarakat tolak tambang Manggarai adalah uji analisis dampak lingkungan (AMDAL) untuk aktivitas pertambangan di Blok Tambang Nggalak, Desa Nggalak dan Maki desa Kajong Kecamatan Reok Barat Manggarai NTT. Disinyalir dan patut diduga bahwa pemfasilitasian uji AMDAL yang dilakukan oleh BLHD Manggarai kepada PT. Masterlong Maining Resoursis (PT. MMR), adalah bagian dari politik transaksional rezim Deno – Madur sebagai pemenang pemilu pada Pilkada Manggarai 2015.
Mulusnya Investasi Industri Keruk
Kajian litbang KPK (Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada, 2015) mengungkapkan bahwa pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui Pilkada langsung, masyarakat dapat menilai langsung kualitas calon kepala daerah meliputi kompetensi, integritas, dan kapabilitasnya. Proses pencalonan dan pemilihan menentukan kualitas dan integritas kepala daerah terpilih.
Namun, belajar dari proses demokrasi lima tahunan ini, mengungkapkan kepada kita fakta yang tak terbantahkan yakni akibat adanya mahar politik (dan cenderung mahal) maka anak bangsa yang berkompeten dan berintegritas menjadi seorang pemimpin, seringkali tersisih dalam kompetisi lima tahunan ini, karena tidak memiliki uang untuk membayar mahar politik. Pilkada serentak seyogyanya bertujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah dalam rangka membentuk pemerintahan yang demokratis serta kuat dan memperoleh dukungan rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional yang tertera pada UUD 1945, tenyata jauh panggang dari api. Karena yang nampak dan terjadi, Pilkada hanyalah ajang bagi– bagi konsesi perizinan perkebunan, pertambangan, dll.
Pilkada hanyalah sebagai sarana untuk melegitimasi dan mengamankan industri ekstraktif. Kepentingan rakyat yang senantiasa dikoar–koarkan selama kampanye hanya tinggal janji pesan kosong semata. Pilkada dibuat hanya untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya industri–industri ekstraktif yang dikendalikan oleh oligarki kekuasaan uang dan politik. Wilayah yang kaya akan sumber daya alam dikeruk dan eksploitasi secara besarbesaran, yang menyebabkan hilangnya ruang –ruang kehidupan masyarakat.
Begitu banyak masyarakat yang tersingkir dari wilayah dan ruang hidup mereka, atau menjadi buruh – buruh murah bagi perluasan dan percepatan industrialisasi di kampung halaman mereka sendiri. Wilayah – wilayah produksi yang merupakan ruang hidup masyarakat diserobot, digusur, dan dirusakan. Karena itu benar apa yang mengemuka dalam diskusi akhir tahun tentang evaluasi sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), Jumat (22/12/2017) yang dilaksanakan di Jakarta, agar pengelolaan sektor energi dan sumber daya mineral pada 2018 yang dipandang sebagai tahun politik patut diwaspadai.
“Jangan sampai izin tambang diobral untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, moratorium izin tambang harus benarbenar dilaksanakan” demikian ungkap Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia Aryanto Nugroho (Kompas, 23/12/ 2017). Semoga tahun 2018 yang dianggap sebagai tahun politik tidak membuat risau akibat konflik identitas, mahar politik, politik transaksional/ijon politik, perluasan korupsi, mediokritas pemimpin, dan ingkar janji.
Dengan demikian pesta demokrasi lima tahunan ini tidak menyebabkan demokrasi di negeri ini menjadi demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual -ritual pemilihan padat modal dengan gonta – ganti peraturan yang berujung pada mulusnya investasi industri keruk. Tetapi Pemilukada atau Pilkada 2018 menjadi momen harapan akan penegakan hukum dan demokrasi demi terwujudnya cita – cita nasional yakni merata, adil, makmur dan sejahtera. )****