Oleh: Sdr. Charles Talu, OFM, Staf di JPIC OFM Indonesia

Peristiwa Kemartiran

Peristiwa yang mengguncang Indonesia, secara khusus Surabaya pada hari Minggu, 13/05 membuat kita menjadi yakin bahwa panggilan menjadi martir, bahkan dengan mengorbankan nyawa adalah panggilan orang Kristen sepanjang zaman.

Orang Kristen, sebagai pengikut Kristus dengan dibaptis dalam nama Yesus, mesti siap disatukan dengan Yesus dalam tingkat kesaksian hidup (martirya), sebagaimana Kristus yang bersaksi melalui cara hidup, karya-karya dan perbuatan-perbuatan baik yang telah Ia lakukan.

Orang Kristen juga mesti siap memberikan nyawa, sebagaimana Kristus yang rela menyerahkan nyawa-Nya ketika pewartaan-Nya mengenai Kerajaan Allah menuntut korban.

Pada abad-abad pertama Kekristenan, panggilan menjadi martir adalah sebuah cita-cita.  Karena, itu, orang–orang Kristen berusaha memberi kesaksian iman, menjalankan iman dengan sungguh di hadapan orang-orang tak beriman.

Bahkan, mereka rela jika kesaksian itu menuntut harga yang mahal yaitu nyawa mereka sendiri.

Tidak Gentar

Apa yang dialami beberapa Gereja di Surabaya pada hari ini, terutama mereka yang menjadi korban peristiwa bom bunuh diri yang keji hendaknya tidak boleh memadamkan semangat kita ataupun membuat nyali kita sebagai orang Kristen menjadi ciut.

Tertulianus mengatakan bahwa darah para martir adalah benih subur bagi bertumbuhnya Gereja.

Gereja akan tetap hidup karena darah para martir dan demi Kristus yang lebih dahulu mengorbankan diri-Nya untuk kita.

Darah mereka yang telah tertumpah menyerupai Kristus adalah untuk perkembangan Gereja, dimana kita para pengikut Kristus yang lain menjadi batu-batu sendi dan benih yang siap melanjutkan tugas pewartaan dan kesaksian iman melalui hidup kita.

Menjadi Martir Dengan Pengampunan

Paus Fransiskus dalam Audiensi General, setelah mendaraskan doa Ratu Surga di Vatikan hari ini mengajak para Peziarah untuk mendoakan Gereja Indonesia, secara khusus Umat Katolik di Surabaya dan beberapa Gereja Kristen yang menjadi sasaran bom bunuh diri dan terutama memohonkan damai sebagai lawan dari setiap bentuk teror.

“Secara khusus saya merasa dekat dengan rakyat Indonesia tercinta, terutama dengan umat Kristen di Surabaya yang terluka karena serangan di tempat ibadat. Saya sertakan dalam doa saya bagi semua korban dan keluarganya. Bersama kita memohon perdamaian dari Tuhan agar menghadapi kekerasan tidak dengan kebencian tetapi dengan semangat rekonsiliasi dan persaudaraan. Marilah kita berdoa dalam hening,” demikian Paus Fransiskus.

Ajakan ini sekaligus meneguhkan kita umat beriman, yang perasaannya sedang tercabik dengan peristiwa yang mengguncang di pagi hari Minggu ini.

Mereka yang telah menjadi korban dan juga mereka yang mengorbankan dirinya untuk keselamatan saudara dan saudarinya yang lain mengajak kita sekalian untuk menjadi martir dengan membalas kekerasan dengan pengampunan.

Ajakan serupa juga disampaikan oleh Pastor Kepala Paroki Santa Maria Tak Bercela, Pastor A. Kurdo Irianto dalam pernyataan sikap terkait bom bunuh diri di Gereja Parokinya.

“Hentikan kekerasan. Kekerasan tidak membuahkan apapun, kecuali korban jiwa,” bunyi kutipan pernyataan sikap itu.

“Tetaplah setia berbuat baik penuh kasih kepada siapapun, seusai dengan nilai-nilai Kristiani yang diajarkan Tuhan Yesus. Teruslah berbuat baik. Mari kita memberikan pengampunan yang tulus. Karena pengampunan adalah pintu yang terbuka untuk masa depan yang lebih bermartabat bagi bangsa Indonesia,” demikian penutup pernyataan sikap dari pihak Paroki.

Bagi kita sekarang, di tengah situasi yang serba kacau, kita tetap dipanggil untuk menjadi martir, yaitu memberikan pengampunan, karena Kristus juga telah menunjukkan kepada kita, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.

Dengan memberikan pengampunan kita memutus rantai kebencian, meski kita berhadapan dengan dinding batu yang keras karena ideologi dan gagal paham akan keselamatan dan janji surga.

Doa Damai St. Fransiskus Asisi kiranya meneguhkan langkah kita untuk mengampuni

TUHAN, jadikanlah aku pembawa damai. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita.

Ya Tuhan Allah, ajarlah aku untuk lebih suka menghibur daripada dihibur; mengerti daripada dimengerti; mengasihi daripada dikasihi; sebab dengan memberi kita menerima; dengan mengampuni kita diampuni, dan dengan mati suci kita dilahirkan ke dalam Hidup Kekal. Amin.

1 KOMENTAR

  1. Memberikan pengampunan lalu membiarkan peristiwa ini terjadi lagi???? Harap hati2 menggunakan konsep kemartiran utk melegalisasi penganiayaan terhadap orang2 Kristen… konsep kemartiran gereja katolik tidak sesederhana itu…. Etimologisnya, martir itu dr “martus” atau “marturion” Bahasa Yunani artinya saksi atau kesaksian… Dengan demikian martir itu adalah kata yg berhubungan dengan kategori sebagai “saksi” maka isi kesaksian itulah yang menentukan…. Gereja katolik cukup mengalami pergulatan mengenai konsep kemartiran ini… termasuk dengan memberikan “reason” utk menjawab tuduhan masokisme pada kemartiran agar tidak terkesan bahwa orng2 Kristen itu mencari-cari atau bahkan menikmati penganiayaan dan penderitaan…. karena itu sekali lagi konsep kemartiran perlu diperjelas…

    Saya pribadi sepakat dengan pernyataan uskup surabaya bbrapa hari lalu yang cukup tegas dalam hal ini… beliau mendesak kepolisian dan pihak terkait utk mengusut tuntas kasus ini… mengampuni bukan berarti meluputkan orang dari hukuman to??
    dan hemat saya gereja katolik indonesia perlu membentuk sebuah sistem dimana semua data mengenai terorisme dan kasus kekerasan dan penganiayaan umat kristen terutama dikumpulkan, dianalisa dan dipetakan…. tujuan nya mencegah hal2 ini terjadi lagi… hemat saya dengan cara seperti inilah kita menjadikan korban2 di surabaya sebagai martir utk kita… martir utk perubahan…. kematian mereka membawa perubahan bagi bangsa dan negara…

    Dilain pihak Salah satu hal besar yang harus dilakukan Islam agar terbebas dari predikat agama teroris adalah memberi ruang pada “ragione” atau “reason” dalam tiap doktrin nya… mengatakan islam bukan teroris, islam cinta damai, teroris tidak beragama hemat saya hanya retorika omong kosong…. karena toh buktinya terorisme tumbuh subur dalam Islam….ini fakta…maka orng islam dalam hal ini harus berbesar hati mengakui hal ini sambil terus berkonsolidasi ke dalam… sekali lagi memberi ruang pada “reason” pada doktrin2 agama yg dinilai berpotensi menumbuhkan sikap radikal dan tindakan teror…. kajian2 seperti ini yg perlu diperbanyak dan di kampanyekan ke luar….

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × five =