Oleh: Sdr. Andreas B. Atawolo, OFM, Dosen STF Driyarkara

Rasa takut yang tampak negatif dalam diri manusia hendak dimaknai secara positif, bahkan sebagai sebuah karunia. Roh takut akan Allah mengikis kebangaan diri yang sia-sia (II, 3). Orang yang terlalu membanggakan diri cenderung menjadi sombong. Penulis Kitab Wahyu menulis: “Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia” (Why 14: 7).

Mengapa ‘Takut’? Kata ‘takut’ bermakna negatif, sebab ia menunjukkan sebuah kelemahan dalam diri manusia. Semua orang mau melawan rasa takut dalam dirinya karena perasaan itu melemahkan rasa percaya diri dan keberanian. Jika demikian, mengapa kita perlu merasa takut akan Allah? Bukankah Ia adalah Allah penyayang dan pengasih?  Jika kita beriman kepada-Nya karena takut, bukankah iman kita dangkal?

Pengalaman mengajarkan bahwa rasa takut tidak melulu bermakna negatif. Rasa takut membuat orang bertindak hati-hati. Siswa yang takut gagal dalam ujian akan belajar dengan giat agar mendapat hasil yang baik. Karena rasa takut terjadi kecelakaan di jalan, orang perlu mengemudi dengan hati-hati. Karyawan yang takut kehilangan pekerjaan akan melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Orang yang tidak memiliki ketakutan justru sering gegabah dalam bertindak; keputusan-keputusan yang dibuatnya sering kali tidak dipertimbangkan dengan matang.

Santo Bonaventura memaknai rasa takut secara positif: “Bagi saya, takut akan Allah itu ibarat pohon yang tumbuh indah dalam hati orang saleh. Pohon itu diairi terus-menerus oleh rahmat Allah. Ketika pohon itu telah tumbuh dan menghasilkan buah, orang itu pun pantas masuk dalam kehidupan kekal”. Dengan analogi ini, ia merenungkan makna Roh takut akan Allah berdasarkan asal, nilai, serta penyempurnaannya (De Donis II, 6).

Ungkapan dari takut akan Allah ialah sikap taat (obey), yaitu siap sedia melakukan kehendak Tuhan, dan karena itu, melawan kejahatan dosa. Mengingat makna yang mendalam dari karunia takut akan Allah, Bonaventura memaknainya sebagai jalan menuju kesempurnaan: “Jika engkau ingin sempurna, takutlah akan Allah” (DD II, 20).

Dengan kata lain, ‘takut’ yang dimaksudkan di sini bukan hanya perasaan takut, melainkan disposisi batin lebih mendasar yang diperlukan agar orang bertumbuh dalam iman. Misalnya keterbukaan menghadapi rencana dan kehendak Tuhan dalam perjalanan hidup. Karunia ini merupakan awal dari perjalanan iman. Rasa takut membentuk rasa percaya (trust) dan taat kepada Allah. Orang yang takut akan Allah, tidak merasa cemas akan hidupnya. Ia merawat hidupnya seraya menyerahkannya kepada Allah. Ia hidup sebagai orang yang berpengharapan. Roh takut akan Allah pada dasarnya adalah sikap iman, sebuah karunia “yang tidak akan direbut oleh siapapun” [DD II, 21].

Pemaknaan yang tepat akan karunia takut akan Allah kiranya dipengaruhi juga oleh cara pandang kita akan Allah. Ketika Allah kita pandang melulu sebagai penguasa, karunia rasa takut cenderung dimaknai secara negatif. Allah kita adalah Dia yang berbelaskasih kepada umat-Nya. Takut akan Allah tidak bertujuan membuat kita berpura-pura menjadi anak manis di hadapan-Nya. Lagi pula keputusan-keputusan Allah tidak bergantung pada tindakan kita. Allah tidak perlu disogok. Ia Allah yang bebas. Ia mengasihi karena Ia sendiri adalah kasih sempurna. Karena itu hukum-hukumNya adalah pertolongan bagi kita manusia yang memang sering tidak taat, bukan ancaman bagi anak-anak-Nya.***

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

4 × five =