Suasana Nonton Bareng di JPIC OFM Indonesia

JPIC OFM.com – “Industri perkebunan sawit tersebar di tiga pulau di Indonesia yakni Kalimatan, Sumatera dan Papua. Ketiga pulau tersebut merupakan areal perkebunan sawit terbesar yang luasnya 11 juta hektar.

Luas lahan yang demikian besar itu dikuasai hanya oleh beberapa perusahaan raksasa, baik perusahaan nasional maupun perusahaan multinasional.”

Fakta tersebut terungkap dalam film yang berjudul ASIMETRIS, produksi Watchdoc – Ekspedisi Indonesia Biru yang diproduseri Indra Jati dan Dandhy Laksono. Film berdurasi 68 menit ini diputar di JPIC OFM Indonesia pada hari Sabtu, 09/06 dan dihadiri puluhan mahasiswa STF Driyarkara jakarta, beberapa orang suster dan awam.

“Acara ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup yang diperingati setiap tanggal 05 Juni setiap tahunnya,” ungkap Pater Alsis, OFM dalam kata sambutannya.

“Bersama-sama dengan teman-teman jaringan kami sepakat untuk mengadakan nonton bareng ini di JPIC OFM terutama berkaitan dengan isu sawit yang sedang hangatnya, apalagi dengan lobi yang dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan langsung ke Tahta Suci,” lanjut Alsis.

Seperti diketahui sebelumnya, Pemerintah Indonesia mengutus Luhut Binsar Panjaitan untuk melobi Tahta Suci dan memberi keyakinan bahwa perkebunan sawit mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

“Fakta lapangan menunjukkan yang sebaliknya, sebagaimana yang akan kita lihat dalam film ASIMETRIS. Melalui Nobar dan juga diskusi ini diharapkan kita bisa menyuarakan kepentingan masyarakat korban perluasan perkebunan sawit yang semakin masif,” lanjut direktur JPIC OFM ini menutup sambutannya.

Penjajahan Baru

Dalam sesi diskusi, mengomentari ekspansi perkebunan sawit, selain persoalan masifnya kerusakan lingkungan dan jauhnya para petani dari janji kesejahteraan, Hendro Sangkoyo dari Sekolah Demokrasi Ekonomi menunjukan bahwa luas perkebunan sawit telah membuat masyarakat sudah tidak berhak lagi atas lahannya selama hak guna usaha (HGU) disepakati.

“Izin HGU untuk lahan perkebunan sawit rata-rat sekitar 50 – 135 tahun, maka selama itu pula masyarakat tidak punya kedaulatan atas tanahnya sendiri,” ungkap pria yang biasa disapa Yoyo ini.

“Dari hasil jalan-jalan kami ke pelosok, di daerah perkebunan sawit, kami menemukan bahwa masyarakat hanya punya ruang gerak di sekitar pemukiman. Lebih dari itu adalah wilayah perusahaan. Maka sebenarnya tidak ada gunanya juga dana desa yang dibagi-bagi itu, karena masyarakat juga tidak punya lahan lagi,” lanjutnya.

Fakta ini bagi Fendy Geu, seorang mahsiswa dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara selain menunjukkan terjadinya alienasi juga merupakan babak baru dari penjajahan di Indoesia.

“Secara tidak sadar, negeri kita sedang dijajah di atas kemerdekaannya sendiri. Betapa tidak masyarakat tidak memiliki hak atas wilayahnya selama rentang waktu HGU yang telah ditandatangani mungkin juga tanpa sepengetahuan mereka,” ungkapnya.

“Apalagi, perusahaan sawit yang mengelola perkebunan sawit di Indonesia adalah perusahaan multinasional yang rata-rata pemiliknya adalah perusahaan asing atau yang bekerjasama dengan perusahaan asing.

Tanggapan Gereja

Situasi ini sebenarnya sudah ditanggapi Gereja melalui ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan Paus Fransikus beberapa waktu lalu. Jeritan ibu bumi yang telah rusak karena kesewenang-wenangan manusia yang menjarah dan mengambil semua kekayaannya karena menganggap dari sebagai penguasa yang berhak untuk mengambil semuanya.

Tindakan antroposentris inilah yang menjadi akar dari segala kerusakan yang salah satunya terwujud melalui ekspansi perkebunan sawit.

Pater Peter C. Aman, OFM mendorong sekali lagi dengan mengedepankan poin-poin keprihatinan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si.

Fakta-fakta yang ditampilkan dalam Film ASIMETRIS menurut beliau menampilkan apa yang menjadi kegelisahan Paus Fransiskus.

“Ekspansi Sawit telah mengakibatkan adanya polusi air, memperparah perubahan iklim, mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, menurunya kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, terjadinya ketimpangan global, dan menunjukkan adanya tanggapan yang lemah terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan hidup, rumah kita bersama ini,” ungkap Peter.

Cht/JPICOFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

13 − two =