Yogyakarta, jpicofmindonesia.com – Dalam satu kesempatan, Paus Fransiskus mengajak Gereja untuk berani keluar dari kenyamanannya, menjadi kotor dan memar karena pelayanan terhadap mereka yang menderita dan dimarginalkan. “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor karena keluar di jalan-jalan, bukan Gereja yang terpenjara dan memikirkan kenyamanannya sendiri,” demikian Paus Fransiskus.
Ungkapan tersebut digaungkan kembali oleh Romo Eko Aldianto, OCarm, ketua Komisi KKP – PMP KWI (Komisi Keadilan dan Perdamaian – Pastoral Migran dan Perantau) dalam studi bersama KKP – PMP Keuskupan dan JPIC Konggregasi seregio Jawa. Studi bersama yang diselenggarakan oleh KKP – PMP Keuskupan Agung Semarang sebagai tuan rumah diadakan di Wisma Pojok, Condong Catur Kabupaten Sleman. Kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 3-6 Juli ini bertemakan Gereja Yang Berani Kotor, Memar dan Terluka.
Spirit Inkarnatoris
Sejalan dengan ajakan Paus yang mendasari gerakan gereja untuk turun menjadi kotor dalam peristiwa inkarnasi, Romo yang biasa dipanggil Eko ini mengajak para peserta untuk menyadari keterilbatannya dalam bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan serta Pastoral Migran dan Perantau sebagai perwujudan dari pristiwa inkarnasi Allah dalam diri Kristus.
“Peristiwa inkarnasi merupakan jalan Turun Allah sebagai bentuk cinta-Nya yang begitu besar. Inkarnasi menujukkan bahwa Allah masuk dalam peristiwa hidup manusia. Karena itu, kita, KKP harus memiliki komitmen pada janji setia untuk berada bersama korban, berbela rasa dan berani untuk terlibat sebagai ungkapan semangat Kristus sendiri. Gerakan kita untuk membela adalah sebuah tanggung jawab iman,” lanjut Eko.
Hal yang diungkapkan tersebut di atas, sejalan dengan ajakan Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium. “Menjadi Kristen, menurut Paus dengan mengutip Paus Benediktus XVI, bukanlah hasil pilihan etik atau ide luhur, melainkan perjumpaan dengan sebuah peristiwa, dengan seseorang (yaitu Kristus sendiri), yang memberi cakrawala baru dan arah yang menentukan. Perjumpaan itu yang membuat kita menyimpan ingatan dan ingatan adalah dimensi iman. Mereka yang beriman pada dasarnya adalah mereka yang mengingat,” demikian Fransiskus.
Maka, beradvokasi adalah tindakan untuk menghadirkan kembali Kristus sebgai Sakramen Keselamatan yang berasal dari Allah sendiri.
Menjadi Gereja Kristus Sendiri
Ada sebuah istilah yang menarik yang muncul juga dalam pemaparan pada sesi I oleh Romo Eko. Imam Carmelit asal Temanggung ini menantang para peserta dengan dua opsi fundamental, apakah mau menjadi Gereja Kristus atau mau menjadi Gereja Pilatus?
Ungkapan itu tidak terlepas dari pilihan Gereja zaman now. Banyak Gereja yang lebih memilih menjadi Gereja Pilatus. Gereja Pilatus menurut Eko adalah Gereja yang cuci tangan, bahkan terhadap peristiwa-peristiwa fundamental yang dihadapi oleh Gereja terutama yang berkaitan dengan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Gereja sering absen dan menganggap bukan persoalannya ketika humman traficking terus merebak, ketika lingkungan hidupnya diancam karena sawit, pertambangan, perkebunan skala besar yang sering mengerus ruang hhidup masyarakat, ketika kebijakan-kebijakan pemerintah tidak berpihak pada masyarakat, dan lain sebagainya.
Apa yang diungkapkan Romo Eko, ada benarnya. Gereja sekarang lebih sibuk pada penampilan, mementingkan pembangunan fisik dari pada turun untuk memberikan suara kenabian untuk membela mereka yang dimarginalkan, yang dikorbankan oleh kebijakan-kebijakan para penguasa dan pengusaha. Karena dengan memberikan suara kenabian, Gereja otomatis kehilangan donatur favoritnya. Pembangunan fisik tidak akan berjalan tanpa partisipasi dari penguasa dan pengusaha, meskipun merngorbankan umatnya sendiri.
Gereja cenderung mencuci tangan dari persoalan-persoalan keadilan, perdamaian, dan terutama persoalan lingkungan hidup untuk menjaga penampilan dan terutama menjaga pundi-pundi pemasukan.
Untuk mengatasi hal tersebut, para penggiat dan pejuang keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan mesti menyadari kembali spirit asal panggilannya di dalam diri Kristus sendiri yang telah turun dan menjadi kotor dan lebam karena keberpihakan pada manusia yang lemah. Menjadi Gereja Kristus adalah siap untuk memanggul salib dalam kehidupan sehari-hari bukan sebaliknya lari dari kenyataan dan mencuci tangan atas masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitarnya.
Baca Juga: Terlibat Aktif Dalam Advokasi Kebijakan Publik