Jakarta, jpicofmindonesia.com – JPIC OFM bersama jaringan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), IGJ (Indonesia for Global Justice) mengadakan pertemuan berhubungan dengan Hak Asasi Manusia dan segala macam bentuk kegiatan pertambangan tingkat Asia Pasiifik pada tanggal 1-4 September 2018 di Semarang, Jawa Tengah.
Akan hadir dalam acara ini utusan dari NGO yang berjuang untuk Hak Asasi Manusia, Pejuang Masyarakat Adat, dan lembaga advokasi persoalan tambang tingkat Asia Pasifik antara lain, Thailand, India, Pakistan, Myanmar, Papua Nugini, Philipina dan puluhan aktivis kemanusiaan dan lingkungan hidup di Indonesia. Pertemuan ini didukung oleh Fransiskan Internasional (FI), Miserior, dan Canada Mining Watch.
Latar Belakang, Tujuan, dan Harapan
Pastor Alsis Goa, OFM, selaku Direktur JPIC OFM dan menjadi salah satu dari Stering Commite untuk pertemuan ini menyebutkan empat latar belakang terselanggaranya kegiatan ini.
“Ada empat hal yang melatari kegiatan ini, pertama dari perspektif lingkungan hidup kegiatan ini didasari pada kesadaran akan adanya perubahan iklim yang semakin memburuk, hutan semakin gundul dan keanekaragaman hayati yang semakin berkurang, sementara kegiatan ekstrasi selalu berkaitan dengan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. kedua, Selain itu dari perspektif mata pencaharian, petani dan nelayan kehilangan akses untuk tanah dan air mereka.
Ketiga, kita juga akan berbicara dari perspektif perempuan karena disadari adanya beban ganda yang harus ditanggung oleh perempuan serta terjadi perampasan hak-hak mereka. dan yang terakhir, dari perspektif HAM, karena adanya kebergantungan dan hubungan sebab akibat antara hak-hak asasi manusia dan industri ekstraktif,” jelasnya.
“Berdasarkan latar belakang di atas,” lanjut Alsis, “maka kegiatan ini memiliki tiga tujuan penting yaitu, pertama, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan para peserta terutama para advokat dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang bergerak di isu-isu ekstraktif serta berkampanye melawan proyek-proyek destruktif; Kedua, agara para peserta mampu mengidentifikasi area-area strategis kampanye, termasuk landasan dasar utnuk pesan-pesan yang menyatukan, serta strategi-strategi alternatif ebrsama dan kampanye taktis; dan Ketiga, untuk mengeksplorasi mekanisme fungsional yang ada untuk bisa mengordinasikan perjanjian-perjanjian serta aksi-aksi bersama ke depannya.
Menurutnya, berdasarkan tujuan tersebut, diharapkan para peserta akan lebih familiar dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik megnenai hubungan perjuangan dan perlawanan terhadap industri ekstraktif di Asia Pasifik. Selain itu, kegiatan ini akan menjadi dasar untuk menyatukan para peserta sehingga bisa berkolaborasi dalam kerja-kerja kampanye. Di akhir kegiatan, diharapkan akan ada perumusan rencana aksi untuk kolabrasi selanjutnya, termasuk aksi-aksi gabungan yang spesifik, rencana, waktu dan kebutuhannya. Dan akhirnya, dari pertemuan ini akan ada seperangkat prinsip dan pedoman untuk memastikan adanya koordinasi dan kelengkapan di antara berbagai macam kampanye perjuangan dan perlawanan.
“Karena itu,” Alsis menambahkan “Ada empat tahap yang akan dilakukan dalam pertemuan selama empat hari ini, yaitu Learning (Belajar), Uniting (menyatukan pemahaman), Deciding (memutuskan jenis kegiatan) dan pada hari terakhir akan mengadakan Fieldtrip (kunjungan langsung ke basis perjuangan masyarakat Kendeng di Rembang, Jawa Tengah yang sedang memperjuangkan haknya berhadapan dengan pabrik Semen Indonesia,” tutupnya.
Charlest/jpicofm