Foto: Islam Institute

JPICOFMIndonesia.com – Belum usai hingar bingar reaksi terhadap penetapan cawapres Joko Widodo, KH Maruf Amin, antara pro – kontra, suka – tak suka, bijak – tak bijak. Sekarang mengudara pula kabar tak sedap dari kubu Capres Cawapres Prabowo-Sandiaga tentang dugaan suap kepada PAN dan PKS, yang dilakukan Sandiaga Uno agar kedua partai itu tidak memilih Cawapres masing-masing. Kabar tak sedap ini pertama kali dihembuskan Andi Arif dari Demokrat.

Ini sekadar dua contoh (kasus) yang memperlihatkan kepada kita bahwa politik sesungguhnya tidak bisa lepas bebas merdeka. Politik sesugguhnya dipasung dan terpenjara. Politik terikat atau dipasung oleh “polis” – rakyat, masyarakat, negara serta kepentingannya.

Adakah Kemerdekaan Politik?

Kesadaran bahwa politik itu tidak merdeka karena diikat oleh rakyat, masyarakat, negara dan kepentingannya adalah oase etismoral, yang akan memandu dan mengarahkan perilaku, sikap serta agenda-agenda politis dari para politisi.

Apa pun yang mereka rancang dan gagas, seindah apapun rumusan slogan dan program-program mereka, mereka terikat oleh jawaban atas pertanyaan ini: “untuk apa mereka berpolitik dan untuk apa mereka berkuasa?”. Para politisi dan penguasa tidak dapat berbuat sesuka hati karena kekuasaan, ruang gerak serta luasan kiprah politis mereka dibatasi “polis”.

Dari kata “polis” itulah lahir kata politik. Kata politik itu pada galibnya jauh dari kekuasaan, karena kata itu bermuatan etis: pelayanan, bekerja untuk kepentingan umum, pengorbanan, arif-bijak, filantropis serta cerdas secara intelektual dan moral.

Yang disampaikan di sini bukanlah suatu “romantisme etis politis”, tetapi membuka secara terang benderang makna sejati politik, yang telah dengan sengaja dikuburkan para penguasa dan politisi, yang gagal mengalahkan dirinya sendiri: ketamakan, nafsu kuasa dan harta, kedegilan dan egoisme. Karena keluhurannya maka politik diberi benteng etis-moral.

Di negara kita benteng etis-moral itu bernama PANCASILA. Benteng itu “membekap” keliaran dan kebuasan politik, agar lebih bermartabat, dihargai dan suci. Dalam ruangan religius-spiritual pun kita jarang mendengar wacana kesucian politis, politik itu suci, politik itu pengorbanan.

Politik Salah Arah

Ruang hidup sosial politik sudah sedemikian pengap dan gelap gulita, sehingga memberi keleluasaan kepada para politisi hitam untuk terus bergentayang an dengan agenda-agenda “gelap nan kelihatan”, selain jelas di ujungnya yakni kepentingan kekuasaan untuk diri dan kelompok.

Politik kita jauh dari keluhuran martabatnya, tetapi menjadi medium pemecah belah, merusak tatanan etis-politis dan menjauhkan polis (masyarakat, negara) dari kesejahteraan dan kerukunan. Politik seperti itu memuakkan karena jauh dari rengkuhan kesadaran etis manusia normal.

Politik seperti itu tidak cocok untuk masyarakat beradab dan berbudi adiluhung. Politik kaum rendahan, tamak kuasa dari mashab Hobbesian-Macchiavelis yang masih juga eksis di zaman millenial ini. Modus politik seperti ini sama sekali tidak menunjukkan adanya sisa pemahaman makna politik luhur dan mulia.

Berpolitik tanpa ikhtiar dan tekad mewujudkan kesejahteraan umum, kebaikan bersama dan kemahslatan semesta merupakan pelecehan terhadap keluhuran martabat pribadi dan hakekat sosial manusia. Politik serupa itu mencederai Pancasila, menistai Indonesia. Namun betulkah politik sama sekali tidak dapat menikmati kemerdekaan?

Kemerdekaan Politik

Kemerdekaan politik itu sesungguhnya nyata, tetapi dia bertahta di ruang idea, mengapa? Politik sungguh merupakan wujud kemerdekaan manusia dan agar manusia dapat berpolitik dengan sungguh merdeka maka politik harus berangkat dari asal-usul etismoral. Politik mesti kembali ke hakekat atau dasar beradanya yakni kesejahteraan umum, kebaikan bersama, kemakmuran rakyat, harmoni semesta serta kerukunan warga (polis).

Politik atas dasar nilai-nilai besar itu adalah politik kaum merdeka: mereka yang sudah terbebas dari kepentingan diri dan kelompok; mereka yang secara merdeka menegaskan diri ingin berbakti untuk bangsa; mereka yang berpolitik dengan etika politik luhur.

Itulah kebenaran politik sesungguhnya, dan kebenaran itulah yang memerdekakan. Di sana politisi mengenyam kemerdekaan politik sesungguhnya. Hanya orang merdeka yang bisa berpolitik secara bermartabat.

Sdr. Peter C. Aman, OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

13 + four =