SASTRA_JPIC OFM Indonesia, Aku: buruh! Sudah sekian waktu lamanya hidupku gantungkan pada pekerjaan kasar seperti ini. Bahkan, hampir separuh dari waktu hidupku lebih banyak kuhabiskan untuk berada di gudang bahan mentah, di antara tumpukan karung-karung tanaman herbal yang baunya menusuk hidung ini.
Ya, tepatnya sudah tiga puluh lima tahun aku membiarkan diriku dipasung dalam ruang penat ini. Sejak pagi sampai sore hari, tumpukan karung yang dibawa oleh truk-truk besar itu seolah tak pernah berhenti dan pemandangan seperti itu telah lama kukenal dengan baik. Jauh lebih baik daripada aku mengenal anak-anakku sendiri. Ah, anak-anakku! Memikirkan mereka hanya menambah kegundahan hatiku.
Kini, tak ada lagi jeritan si bungsu: “Emak, pulang!!!”, yang membuatku rindu. Karena dia akan lebih sibuk dengan kawan-kawannya di sana, di dunia maya. Sementara, anak-anakku yang lain akan lebih perhatian terhadap motor barunya dan akan selalu marah jika ada goresan di badan motornya.
Ah, jika saja mereka tahu tentang hatiku yang telah lebih banyak tergores, akankah mereka mengusapnya dengan cinta? Lagipula, cintaku selalu ada di sana. Dia yang kukenal sebagai ayah dari anak-anakku sedang menguatkan kerapuhan sendi-sendi tubuhnya untuk mencari nafkah. Saban hari mengeruk pasir dari perut bumi, demi mengisi perutnya dan perut seluruh anggota keluarga yang juga selalu dikeruk oleh harga barang-barang kebutuhan pokok yang kian melambung tinggi.
***
Aku: buruh! Nasib hidupku tak tentu sama seperti nasibku di tempat aku bekerja. Aku bangun pagi-pagi untuk bersujud menyembah Sang Khalik seraya memanjatkan doa dan segera berangkat menuju pabrik yang telah menantikan sujud dan sembah kami pada segala aturannya sejak langkah pertama kami melewati gerbangnya. Setelah melaporkan diri, aku dan teman-teman segera berganti pakaian. Pakaian kebesaran kami sebagai buruh yang tidak selalu sama.
Kami hidup bersama di sana sebagai buruh tapi tidak untuk suatu pekerjaan yang sama karena orang-orang berpendidikan rendah seperti aku dan kebanyakan teman-teman buruh lainnya lebih pantas untuk memakai lengan dan otot, yang dari tahun ke tahun semakin besar dan gagah layaknya atlet angkat besi, untuk menopang kegagahan dan keagungan nama perusahaan yang sudah terlanjur terkenal di negara ini.
Setiap hari mengawali kerja, aku dan teman-teman telah diteguhkan oleh pembacaan visi dan misi perusahaan yang terdengar membahana di gudang yang tak pernah sepi ini. Layaknya orang-orang yang hendak berperang, aku dan teman-teman bersorak sekeras mungkin untuk meyakinkan para pengawas bahwa hari ini seluruh jiwa dan raga kami akan kami abdikan kepada Tuhan dan tuan-tuan serta nyonya-nyonya yang duduk manis di belakang meja sambil berdandan.
Namun, aku tahu bahwa aku telah menjadi kian tua dan teman-teman buruh yang lebih muda juga telah semakin pandai berdandan. Mereka tahu cara merawat diri dan gengsi tapi mereka tak tahu cara merawat dan menata masa depan. Mungkin karena kehidupan tampaknya telah menjadi mudah dan belajar menjadi semakin susah, maka mereka tak lagi membaca buku dan belajar dari kehidupan yang suram dari orangtua seperti aku ini. Aku tahu tentang utang-utang mereka dan masalah rumah tangga yang mereka hadapi tapi aku cukup tahu diri dengan situasi yang sama dalam rumah tangga.
***
Aku: buruh dan wanita! Meskipun, aku tak lagi muda tapi aku cukup memahami bagaimana hidup ini ternyata memang tak mudah. Sebagai salah satu tulang punggung keluarga dan seorang ibu rumah tangga, aku bisa memahami bagaimana susahnya menjalani peran ganda di dua dapur yang berbeda.
Dapur menjadi tempat yang identik dengan kaum wanita dan wanita adalah pekerja yang paling rapi, tekun, sabar, handal, dan terampil. Maka, aku tak heran kebanyakan buruh di sini adalah wanita. Perusahaan tahu dengan baik bahwa wanita selalu dapat diandalkan karena juga lebih mudah menerima segala aturan, lebih sabar, dan tidak pernah memberontak. Apalagi wanita-wanita desa seperti aku yang tidak sempat berpikir tentang hidup enak karena nasib seolah telah mendesak kami ke sudut tersempit kehidupan ini.
Aku buruh dan wanita, yang kini telah menjadi kekar dan tegar karena kehidupan telah mencambukku untuk bekerja dengan lebih giat pada tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang mengupahku demi kehidupan yang layak. Aku buruh dan wanita, yang akan selalu diam meskipun selalu menangis tanpa air mata di dalam hati.
Aku dan hidupku sebagai buruh mungkin bukanlah kisah yang menarik bagi mereka yang lebih menyukai kisah-kisah romantis. Kisah ini akan selalu kukisahkan kepada anak-anakku agar mereka terpacu untuk hidup dengan lebih baik dan layak. Aku juga akan mengisahkan ini kepada mereka yang berteriak-teriak di sana dan menamakan dirinya wakil rakyat. Aku juga akan selalu mengisahkan ini kepadamu yang pada suatu ketika yang tidak kita ketahui akan bertanya tentang diriku persis ketika aku hanya akan berkata dengan lirih: “Aku: BURUH!”)***
Sdr. Jerry R, OFM