Antonius Nesi (Foto: dokumen pribadi)

GITA UTAMA_JPIC OFM Indonesia, Terminologi ambivalent discouse dalam tulisan ini dipinjam dari Arran Stibbe dalam bukunya Ecolinguistics: Language, Ecology and the Stories We Live By (2015). Di dalam bukunya itu, Stibbe mengkategorikan wacana-wacana iklan yang bertentangan dengan spirit ekologi lokal sebagai ambivalent discourse. Ambivalent discourse, oleh Stibbe, dioposisikan dengan beneficial discourse, wacana ekologi lokal yang kaya dengan filsafat leluhur.

Pakar ekolinguistik itu mencatat bahwa ambivalent discourse amat berdaya desktruktif. Argumentasi dasarnya, pada ambivalent discourse dihadirkan satu keping mata uang bersisi dua: sisi satu terkemas manis dalam nada persuasi yang tampak bermanfaat, tetapi pada sisi lainnya terkandung ideologi neoliberalisme yang berpotensi mematikan beneficial discourse. Dalam kajiannya, ia memanfaatkan data wacana iklan. Hasilnya, wacana iklan merupakan modus yang bertujuan menanamkan ideologi benalu (pasilan, parasit). Ideologi itu pada gilirannya memangsa tanpa ampun spirit kearifan lokal dan transaksi pasar tradisional.

Baca Juga: http://jpicofmindonesia.com/2018/10/haneen-abdel-khaleq-pengungsi-yang-jadi-pembela-pengungsi/

Dalam perspektif ekolinguistik, interdisipliner linguistik yang mengkaji tali-temali bahasa dengan ekologi (Haugen, 1972; Steffenssen dan Fill, 2014), tulisan singkat ini bermaksud mau mengurai suatu simpul refleksi tentang praktik wacana bermodus ideologi pasilan itu. Perusakan lingkungan, dalam refleksi penulis, bukan hanya karena manusia melalui tindakannya dapat membabat hutan, misalnya, tetapi terutama karena tindakannya itu didorong kuat oleh pola pikirnya. Pola pikir manusia, sebagaimana dicatat Sapir-Whorf dalam hipotesis “relativitas bahasa” (Foley, 2001), dalam konteks ini, telah terkontaminasi rayuan ambivalent discourse.

Tindakan destruktif manusia terhadap lingkungan, dengan demikian, sesungguhnya dipengaruhi pola pikirnya sendiri. Pola pikir manusia itu terkonstruksi secara tidak sadar dari hadirnya wacana iklan di media yang secara verbal-visual memang amat “menggoda”. Justru itu,  hemat penulis, kerusakan lingkungan di planet ini patut direfleksikan dalam lensa kearifan lokal sebagaimana tampak dalam mitos-mitos dan tradisi lisan di setiap entitas etnik. Tradisi lisan Takanab pada etnik Dawan di Timor, NTT, merupakan representasi dari beneficial discourse, dan nantinya iklan kemasan “Air Mineral” merepresentasikan ambivalent discourse .

Tradisi Lisan Takanab: Beneficial Discourse

Narasi tradisi lisan Takanab yang dikaji penulis dalam tesis “ekolinguistik kritis” menempatkan “air dan batu” sebagai green grammar. Masyarakat Dawan menghayati “batu dan air” secara biologis, sosiologis, dan ideologis. Dalam studi etnografi komunikasi ditemukan barisan beneficial discourse dalam tradisi lisan Takanab: //Neu mautut fé’ ka’fin ma fé ka’ kon oélé kanan ma fatu kanan // obaha a’saif’i // hé utné kakoétan au oélé kanan ma au fatu kanan // … (Sebelum kuterus dan kuinjak air dan batu marga //di saluran ini // kutadah dengan sungguh tetesan air dan batu marga saya// … ).

Kutipan di atas ditranskripsi dari tradisi lisan Takanab Faot Kanaf ma Oé Kanaf” (batu dan air marga). Masyarakat Dawan memiliki suatu tradisi bahwa pada setiap musim panen hasil ladang, mereka mengungkapkan rasa syukur melalui sesajian di area-area sumber air tertentu (biasanya batu-batu besar yang dari bawahnya teralir air). Hasil kajian Taum (2004) dan Neonbasu (2016) menunjukkan bahwa penghayatan macam itu ada dalam penghayatan microcosmos, sebuah hajatan tradisional yang merepresentasikan keyakinan pada Sang Ilahi, sehingga tidak dikategorikan sebagai “penyembahan berhala”. Baris tradisi lisan Takanab di atas juga memberikan informasi indeksal bahwa ada hubungan dialektikal antara unsur-unsur fisik alam dengan pola pikir dan tindakan manusia Dawan (periksa Bang dan Door, 1992).

Keterhubungan itu ialah bahwa air dan batu sebagai unsur fisik-alam oleh masyarakat Dawan dijadikan sebagai simbol marga. Hal itu membentuk pola pikir mereka bahwa kedua unsur alam itu merupakan bagian dari jati diri mereka. Secara kolektif, hal itu sekaligus mempengaruhi tindakan mereka: setiap musim panen mereka wajib mentakhtakan hasil panen pada batu dan air marga sebagai ungkapan syukur. Implikasi dari itu ialah batu dan air marga setiap klan senantiasa “dikeramatkan”. Dalam kajian antropolinguistik mutakhir fenomena macam itu dimaknai sebagai “etnosains” (Ismail, 2013).

Etnosains bertalian pula dengan mitos. Hadirnya mitos “memakan belut orang akan mati” pada etnik Dawan, misalnya, bukan sekadar sebuah ancaman ragawi-psikologis, tetapi di situ hendak ditunjukkan sebuah nilai filosofi ihwal pelestarian lingkungan: belut merupakan binatang yang hidupnya selalu beradaptasi dengan air. Jika di tempat ia berdiam tidak tersedia air, binatang itu akan terus menggali ke kedalaman tanah hingga mendapatkan sumber air. Seiring ia menggali tanah, air akan mencuat ke permukaan bumi. Mitos itu, dengan demikian, ada dalam kognisi dan praktik sosiobudaya etnik Dawan yang melahirkan kebijaksanaan: sumber-sumber air perlu mendapatkan perlindungan adat dari setiap suku/klan.

Dampak Ambivalent Discourse

Meskipun dampak neoliberalisme dalam masyarakat Dawan belum terlalu tampak, kerusakan lingkungan yang dikampanyekan melalui bahasa iklan telah memberikan sinyal hadirnya ideologi pasilan yang ditampilkan melalui “ambivalent discourse”. Tentang hal itu perlu diangkat refleksi kritis Andrew Goatly dalam artikel “Green Grammar and Grammatical Metaphor, or Language and Myth of Power, or Metaphors We Die By” (2001).

Dalam artikelnya ini, Goatly menjelaskan perspektif konstruksi bahasa untuk mempromosikan metafora sebagai konvensi bahasa yang efektif guna mengidentifikasi dengan jelas aktor yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Pakar ini memberikan contoh wacana yang menyembunyikan subjek (pelaku) pada wacana tertentu, misalnya, “Japanese and Korean logging firms move into Siberia”. Hasil analisis Goatly ialah bahwa nominalisasi (deretan nomina) dalam wacana itu bertujuan untuk menyembunyikan pelaku dengan menyamarkan “nama perusahaan”.

Goatly menjelaskan, pendekatan terhadap analisis wacana kritis ekologi ialah bahwa dalam istilah tradisional tidak ada faktor khusus yang bertanggung jawab terhadap destruksi lingkungan, tetapi secara lebih radikal dapat dikatakan bahwa manusia pada umumnya merupakan aktor utama yang bermain melalui bahasa bisnis, dan terutama ialah para kapitalis. Iklan aqua “Air Su Dekat” dalam video youtube (https://www.youtube.com/) yang mengambil latar tempat Kabupaten TTS, NTT, misalnya, ternyata hanya kamuflase perusahaan untuk mengelabui masyarakat lokal tentang “air bersih”. Perhatikan bunyi iklannya: “Sekarang sumber air su dekat, beta sonde pernah terlambat lagi, lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik, karena mudah ambil air, katong bisa hidup sehat…”.

Dalam wacana iklan ini, perusahaan memanfaatkan siswa SD, aparat desa, dan latar masyarakat sederharna untuk menunjukkan “jasa baik” penyediaan air bersih. Pembaca atau pendengar terbuai saat video iklan naik tayang. Akan tetapi, siapapun tidak akan sadar bahwa ada ideologi pasilan di baliknya. Faktanya, penyediaan “sumber air bersih” dari perusahaan  kini sudah berubah jadi transaksi bisnis. Masyarakat sederhana akhirnya bukan hanya harus membayar biaya retribusi air, tetapi juga muncul pula agen-agen penjual air mineral di seluruh desa. Bukankah masyarakat sedang membeli air dari sumber air mereka sendiri? Ambivalent discourse ternyata tidak setulus beneficial discourse!)***

 Antonius NesiPendidik di STKIP St. Paulus Ruteng, Flores, NTT.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × 3 =