Pencemaran lingkungan. Foto: ilustrasi

Oleh: Bahrudin

Senin, 15 Oktober 2018, berita utama Kompas terasa beda dampaknya. Dada terasa berat untuk bernapas, bukan karena polusi udara, melainkan empati untuk anak-anak korban polusi udara.

Anak-anak di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, tidak bisa menghindari polusi udara: dampak pencemaran timbel dari industri peleburan aki bekas di tanah kelahirannya.

UUD 1945 menjamin bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Menurut Pasal 28 Ayat H UUD 1945, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mendapat layanan kesehatan”.

Kenyataannya, sampel tanah dari Desa Cinangka menunjukkan kandungan timbel 3.883 miligram/kilogram. Nilai ini 158 persen lebih tinggi dibandingkan baku mutu 1.500 miligram/kilogram (Kompas, 15/10). Artinya, kualitas udara tercemar menahun sekaligus mencemari tanah dan air, sumber penghidupan dan ekosistem pendukungnya.

Kompleksitas pencemaran lingkungan di Desa Cinangka adalah fenomena gunung es di Indonesia. Desa-desa lain mengalami hal serupa dengan pemicu dan derajat pencemaran lingkungan beragam. Misalnya, pencemaran merkuri akibat pertambangan emas tradisional di Kasepuhan Cisitu, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak.

Merkuri menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan hidup di ribuan titik penambangan tradisional di Indonesia. Data dari KLHK menunjukkan adanya 8.683 titik yang diduga terdapat aktivitas penambangan ilegal (KLHK, 10 September 2018).

Aktivitas industri kecil (penambangan tradisional dan industri lainnya) ini mencemari lingkungan dan penduduk sekitar, terutama anak-anak. Hasil uji sampel darah anak-anak di Desa Cinangka menunjukkan kandungan timbel melebihi nilai rujukan (Kompas, 15/10).

Hal serupa ditemukan LSM Balifocus ketika survei di wilayah Kasepuhan Cisitu. Balifocus melaporkan bahwa 26,4 persen dari populasi warga yang diperiksa dicurigai keracunan merkuri (Balifocus, 2014).

Rasionalitas ekologis

Keterbelakangan mental dan cacat fisik anak-anak merupakan harga mahal yang harus dibayar dari pencemaran lingkungan, yang ironisnya adalah dampak sumber penghidupan keluarga.

Masyarakat memang pada posisi sulit. Mereka membutuhkan penghidupan, tetapi di sisi lain harus mengorbankan masa depan anak-anaknya. Dalam dilema inilah masyarakat membutuhkan kehadiran negara untuk memberikan solusi yang komprehensif.

Kompleksitas persoalan antara ekonomi, lingkungan, dan kesehatan tercakup dalam regulasi industri kecil, baik penambangan tradisional maupun industri lain. Menegasikan salah satu dari ketiga komponen hanya melahirkan regulasi yang tidak efektif.

Oleh sebab itu, upaya menyelesaikan pencemaran lingkungan tidak cukup ditangani oleh satu kementerian teknis saja. Komitmen lingkungan harus menjadi prioritas presiden sebagai pemimpin eksekutif di negeri ini.

Parker dan Haines (2018) mengusulkan pendekatan rasionalitas ekologis sebagai komitmen kolektif untuk merespons kompleksitas masalah lingkungan hidup dengan dua prinsip dasar dalam perumusan.

Pertama, pengambil kebijakan harus memprioritaskan keselamatan dan penghidupan manusia dalam lingkungan yang sehat dan berkelanjutan. Asumsinya, apa pun kegiatan yang merusak keseimbangan lingkungan atau melampai daya dukung lingkungan pasti membahayakan manusia. Maka, keselamatan dan kesehatan manusia menjadi indikator.

Kedua, regulasi dirancang berdasarkan tujuan konservasi lingkungan masing-masing ekosistem sesuai karakteristiknya. Prioritas regulasi di wilayah pegunungan tentu berbeda dengan regulasi di wilayah pesisir. Begitu pula dengan tanah gambut dan tanah mineral. Kontekstualisasi regulasi berdasarkan karakteristik ekosistem menjadi dasar perumusan regulasi lanjutan di setiap kementerian teknis.

Pendekatan rasionalitas ekologis yang berbasis keselamatan manusia dan pelestarian ekologis menjadi kebutuhan bangsa Indonesia. Peningkatan infrastruktur dan perlindungan sosial tidak akan bermakna jika ”anak-anak” sebagai penerus bangsa hidup dalam lingkungan yang tercemar.

Berbagi peran

Kerentanan manusia dalam ekosistem yang rusak sebenarnya telah diketahui sejak beberapa dekade lalu. Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi pencemaran lingkungan. Namun, skala dan kompleksitas sumber pencemaran mengindikasikan bahwa negara membutuhkan peran serta perusahaan dan masyarakat untuk mengatasi pencemaran. Maka, berbagi peran menjadi ”kunci” untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang mengancam keselamatan (silent killer).

Negara berperan menyediakan informasi tentang kerusakan ekosistem di Indonesia. Dalam konteks penambangan tradisional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengidentifikasi ribuan titik aktivitas penambangan tradisional dan dampaknya terhadap ekosistem. Program ini perlu diperluas tidak hanya pada penambangan tradisional, tetapi juga aktivitas ekonomi kecil lain yang berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan, termasuk peleburan aki bekas.

Data aktivitas ekonomi rakyat, pencemaran lingkungan, dan kualitas sumber daya manusia ini penting untuk merumuskan program solutif dan aplikatif. Sektor swasta berpotensi ”menghibahkan” teknologi untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan di sekitarnya. Program Penilaian Kinerja Perusahaan (Proper) KLHK telah mengidentifikasi beberapa praktik untuk atasi pencemaran ini.

Misalnya, salah satu perusahaan semen menciptakan alat dust capture mini untuk menurunkan pencemaran udara di industri pengolahan batu kapur. Teknologi dust capture sangat biasa di industri semen, tetapi masyarakat perajin batu kapur tidak mungkin memiliki imajinasi tentang teknologi sederhana ini. Dengan transfer teknologi perusahaan, masyarakat bisa melindungi diri dan lingkungannya dalam kegiatan ekonominya.

Masyarakat dan LSM berperan membangun kesadaran pentingnya menjaga fungsi dasar lingkungan, termasuk bahwa kegiatan ekonomi yang mengancam fungsi dasar lingkungan bukanlah satu-satunya pilihan.

Banyak contoh masyarakat yang sukses menggabungkan upaya pelestarian lingkungan hidup dan kegiatan ekonomi. Misalnya, masyarakat Desa Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul. Desa ini berhasil menggeser mata pencaharian penambangan batu menjadi desa wisata. Tahun 2017, Desa Nglanggeran dinobatkan sebagai desa wisata terbaik di Asia Tenggara.

Praktik-praktik baik penggabungan pelestarian lingkungan dengan aktivitas ekonomi rakyat perlu didorong dan dikomunikasikan untuk masyarakat Indonesia. Tujuannya adalah untuk membangun keyakinan bahwa menjaga lingkungan menjanjikan secara ekonomi dan menjaga keselamatan manusia. Inilah modal memutus lingkaran setan pencemaran lingkungan.***

Bahruddin Mahasiswa PhD di University of Melbourne, Australia

Sumber: kompas.id

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here