GITA UTAMA_JPIC OFM Indonesia, Tahun 2019 oleh sebagian publik Indonesia telah dibaptis sebelum kelahirannya sebagai tahun politik. Penamaan tahun politik ini terkait erat dengan kontestasi yang melibatkan banyak aktor yang akan dihelat pada tahun tersebut. Perang opini, perang klaim, perang hastag pun banyak menghiasi media-media publik negeri ini. Tahun politik tahun pertarungan. Percakapan publik dan energi publik seakan disedot dan diarahkan pada kontestasi itu nanti. Namun, tema yang seringkali absen dipercakapkan adalah praktik diskriminasi dan eksklusi yang seringkali terjadi selama proses kontestasi berlangsung hingga bahkan pasca kontestasi.
Kontestasi dalam sirkulasi government elite di Indonesia sebagai salah satu unsur penting dalam demokrasi bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Berbagai modal dan strategi dikerahkan demi memenangkan kontestasi. Namun, kontestasi yang mahal harganya itu seringkali berujung pada krisis, yakni fragmentasi masyarakat berdasarkan identitas primordial (ras, suku, golongan dan agama) dan eksklusi terhadap yang lain. Pertarungan dalam politik seringkali melahirkan praktik-praktik politik yang jatuh pada kecenderungan memahami yang lain sebagai musuh dan karena itu pun seringkali menjadi korban. Oleh karena itu, membudayakan budaya politik yang berpihak pada kehidupan (pro-eksistensi) yang lain. Kontestasi sebagai konsekuensi logis pemahaman dan pemaknaan akan politik sebagai “ruang kosong” harus berlandaskan pada nilai kepedulian dan keberpihakan akan eksistensi yang lain.
Banalitas Pertarungan
Claude Lefort pernah menelurkan ide tentang pentingnya memaknai politik dan demokrasi sebagai “ruang kosong”. Memaknai politik dan demokrasi di satu sisi merupakan suatu imperatif bahwa semua orang memiliki hak untuk mengakses kekuasaan. Di sisi lain politik sebagai ruang kosong menegaskan keharusan tentang pentingnya sirkulasi elit pemerintah sehingga ruang politik tidak dimonopoli oleh elit-elit tertentu dan itu berarti pertarungan merupakan suatu hal yang terhindarkan lagi. Namun, sejauh mana kontestasi tersebut tidak berlangsung dan berujung dalam politisasi identitas primordial yang seringkali berbuntut pada praktik diskriminatif dan eksklusif sehingga bisa menjadi berkat bagi semua orang?
Baca juga: Kemerdekaan Politik (?)
Praktik berdemokrasi mensyaratkan adanya ruang kosong sebagai ruang yang membuka peluang bagi sirkulasi elite pemerintah. Masih sebagai peluang karena proses sirkulasi elite tersebut belum secara pasti akan menghasilkan pergantian elite dan sangat mungkin yang terjadi hanyalah pergeseran posisi elite. Sirkulasi elit mengandaikan adanya kontestasi yang sarat dengan pengerahan modal atau sumber daya demi memenangkan pertarungan. Oleh karena itu, pemahaman dan pemaknaan yang penting tentang pertarungan merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Pasalnya, pemaknaan yang yang salah kaprah akan makna pertarungan ini akan berdampak buruk pada proses pertarungan yang sarat unsur kekerasan (fisik dan verbal) bahkan hingga kontestasi berakhir. Hal inilah yang seringkali muncul dalam praktik berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia.
Kontestasi atau pertarungan politik di Indonesia seringkali mengidentikkan lawan politik dengan musuh politik. Sumber daya dan strategi politik yang dikerahkan pun lebih bersifat sektarian dan berbasis kepentingan kelompok dan isu-isu primordial. Upaya pelemahan kapasitas lawan lewat pemojokan, penyebaran fitnah dan kekerasan primordial semakin menjadi-jadi. Isu-isu primordial dipelintir dan dijadikan komoditas politik untuk dipasarkan kepada masyarakat pemilih. Prinsip-prinsip etika pun turut disingkirkan dari ruang pertarungan. Lawan politik pun dilihat sebagai yang harus dikorbankan dan dieksklusi demi eksistensi kelompok sendiri. Mirisnya, pertarungan dengan bentuk dan strategi seperti ini seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dan akibatnya direproduksi secara terus-penerus.
Memaknai pertarungan seperti itu akan berdampak pada munculnya model pertarungan yang tidak peduli akan eksistensi yang lain. Lawan politik sebagai out group tidak lain adalah musuh politik sehingga tidak menjadi persoalan jika di”tiada”kan. Peniadaan itu bisa muncul dalam beragam praktik seperti pembonsaian kepentingan lawan politik, penyumbatan saluran akses bagi lawan politik dan praktik ketidakadilan atas nama agama, ras, golongan dan suku. Akibatnya, sirkulasi elit hanya akan menjadi berkat bagi sekelompok orang dan ideal bonum commune semakin jauh dari harapan apalagi kenyataan. Wajah perpolitikan Indonesia pun semakin pucat dan suram.
Polarisasi Identitas Eksklusif: Limbungnya Politik Pengakuan
Fenomena yang seringkali muncul ke ruang publik di tahun-tahun politik adalah pembilahan identitas (identity clevage). David Bloomfield dan Ben Reilly mengidentifikasi bahwa salah satu pemicu menjamurnya konflik horisontal di negara-negara dunia ketiga adalah identitas. Politik di negara-negara dunia ketiga sarat dengan nuansa pembilahan identitas, di mana orang-orang dimobilisasi ke dalam kelompok-kelompok identitas ras, agama, kultur dan lain sebagainya. Pembilahan dan polarisasi kelompok-kelompok ini bersifat eksklusif serentak diikuti identifikasi in goup dan out group.
Persis hal seperti ini seringkali terjadi dan dipraktikkan di Indonesia. Secara sadar, masyarakat dimobilisasi ke dalam kelompok-kelompok komunal berbasis agama, golongan, suku dan budaya yang bersifat eksklusif. Soliditas dan solidaritas hanya berlaku untuk sesama in group. Eksklusivitas ini juga merupakan proses penegasan identitas serentak eksistensi kelompok yang menyumbat ruang komunikasi dengan out group. Akibat tersumbatnya ruang komunikasi yang komunikatif, fenomena baru yang lahir dan berkembang adalah prasangka terhadap out group. Prasangka ini kemudian direproduksi secara kontinu yang kemudian sampai pada penegasan akan eksistensi out group sebagai musuh. Out group diidentifikasi sebagai musuh yang berbahaya bagi eksistensi in group dan oleh karena itu wajib hukumnya untuk dihancurkan.
Perlahan-lahan namun pasti pembilahan dan polarisasi identitas secara eksklusif, pengakuan atau rekognisi sebagai nilai penting dalam kehidupan menjadi pudar. Di tengah eksklusivitas kelompok-kelompok primordial pengakuan akan keberadaan yang lain menjadi begitu mahal dan susah. Padahal memilih berdemokrasi berarti juga bersedia menjadikan pengakuan akan eksistensi yang lain sebagai garda terdepan dalam berpolitik. Limbungnya pengakuan dalam berpolitik memicu kecenderungan praktik politik yang intoleran, absennya solidaritas dan rawan dengan praktik-praktik kekerasan. Pengakuan amat mustahil muncul dari kehidupan kelompok masyarakat yang eksklusif. Yang lain sebagai out group seringkali dilihat tidak lebih dari sebagai ancaman bagi eksistensi in group yang harus diperangi.
Identitas primordial merupakan hal yang penting bagi individu dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, menjadi sangat berbahaya ketika dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Di Indonesia, seringkali pembilahan identitas dimaksudkan untuk memobilisasi massa untuk berbagai kepentingan jangka pendek tertentu. Identitas primordial sengaja dibenturkan lewat isu-isu dan propaganda bernada kebencian. Akibatnya, komponen masyarakat yang notabene merupakan minoritas dari segi jumlah baik agama, suku, ras dan golongan akan selalu menjadi korban. Kelompok minoritas ini selalu terpinggirkan dan tersisihkan serta kepentingannya akan dengan gampang untuk diabaikan.
Sejarah penderitaan kaum minoritas tidak pernah menjadi bahan acuan dalam membuat perubahan. Amnesia akut yang diderita kelompok-kelompok kepentingan semakin menempatkan kaum minoritas pada wilayah periferi pemangku kebijakan. Di ruang-ruang publik, kelompok minoritas seringkali dieksklusi dan mendapat perlakuan diskriminatif hanya karena identitas sebagai minoritas. Kesetaraan masih hanya sebagai jargon untuk mendulang simpati tanpa implementasi.
Menggagas Politik Pro-Eksistensi
Indonesia saat ini membutuhkan format berpolitik yang baru, yakni format berpolitik yang menjunjung tinggi kemerdekaan setiap warga negara dalam berpolitik. Sehingga setiap warga negara bisa berpartisispasi secara penuh dalam kehidupan bersama, menjamin kemerdekaan warga negara dan menghapus berbagai praktik ketidakadilan yang terjadi selama ini. Praktik radikalisme agama dan diskriminasi ras/golongan yang mewarnai pertarungan politik saat ini harus diganti. Praktik radikalisme agama dan diskriminasi ras/golongan telah menyebabkan banyak korban dan penderitaan bagi anak negeri ini. Mengamini yang disampaikan F. Budi Hardiman, perpolitikan di Indonesia membutuhkan suatu model atau format interaksi republikan dalam rumusan “kebebasanku di dalam suatu ruang di mana kita bisa menentukan diri bersama”.
Indonesia harus bisa menjadi ruang pengekspresian kebebasan warganya tanpa dominasi, eksklusi dan diskriminasi. Mengacu pada konsep ini, ada dua hal utama yang penting untuk dipupuk, yakni pengakuan timbal balik dan kepedulian timbal balik. Pengakuan timbal balik merupakan suatu keutamaan yang penting dalam kehidupan bersama. Tanpa adanya pengakuan akan eksistensi yang lain maka bentuk-bentuk ketidakadilan akan selalu muncul di tengah masyarakat. Namun, pengakuan belumlah mencukupi. Pengakuan akan eksistensi yang lain mesti serentak diikuti oleh tindakan kepedulian yang bersifat timbal balik.
Implementasi dan pertarungan dalam kontestasi mesti dibarengi dengan prinsip kepedulian akan kehidupan bersama. Tanpa kepedulian akan eksistensi yang lain, arena politik tidak lebih dari ruang pertarungan bebas yang mana manusia akan menjadi serigala bagi sesamanya. Di dalam pertarungan tersebut, yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah dan kemudian menjadi korban yang terus disisihkan. Berdemokrasi dengan mengedapankan prinsip-prinsip kepedulian akan eksistensi yang lain membuka ruang bagi solidarisasi dan praktik-praktik toleransi yang otentik. Solidarisasi dalam interaksi politik akan membuka ruang bagi terciptanya bonum commune. Keberpihakan dan kepedulian pada kelangsungan keberadaan satu sama lain menjadikan diferensiasi agama, ras, suku dan golongan tidak dipandang lagi sebagai ancaman atau bahaya.
Absennya keberpihakan dan kepedulian pada eksistensi yang lain akan menjadikan kontestasi politik menjadi tidak lebih dari perang dan sarat kekerasan. Tanpa kepedulian akan yang lain, kemerdekaan dan kebebasan sesama akan sangat mudah dibonsai demi dan atas nama kepentingan tertentu. Hiruk-pikuk, mobilisasi sumberdaya dan pertarungan strategi di tahun politik, tidak boleh berjalan sendiri tanpa etika politik. Etika politik di sini penting sebagai upaya keberpihakan dan tanggungjawab terhadap eksistensi manusia. Warga negara tidak hanya bertanggungjawab atas eksistensi kehidupannya sendiri tetapi juga diundang untuk terlibat dan bertanggung jawab atas kehidupan sesamanya.)***
Safrianus Suhardi,
Peminat Ilmu Politik asal Ranggu, Manggarai Barat, NTT