Sdr. Sandro Rangga OFM, Foto: dokumen pribadi

“that capitalism and democracy co-exist as the prevailing systems of governance the world over and they invariably interact with each other and transform each other through time” (Gabriel Almond)

Kita semua menjadi saksi bagaimana politik SARA, hoaks dan kampanye hitam bertebaran pada setiap pergelaran politik. Di Papua misalnya, ratusan masa melakukan aksi unjuk rasa damai ke Kantor KPU Biak Numfor, Kamis (5/4/2018). Begitu pula pelantikan pejabat Bupati di Kabupaten Paniai ditolak oleh massa yang melempari rombongan pejabat Gubernur Papua Soedarmo dan aparat keamanan (23/5/2018).

Alhasil, menurut laporan Mahkamah Konstitusi (MK) terdapat 67 permohonan Penyelesaian Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 yang terdaftar hingga Jumat (13/7/2018). Pada titik ini, kita sampai pada pertanyaan: Apakah perhelatan politik di Indonesia dapat  berjalan secara demokratis dan bermartabat. Di satu sisi, kita perlu menumbuhkan budaya politik yang bermartabat sambil membangun sikap kritis masyarakat agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama.

Sepintas tentang Budaya Politik

Konsep budaya politik dipopulerkan oleh seorang pemikir politik asal Amerika Serikat, Gabriel Almond. Ia terkenal karena karya pionirnya tentang politik komparatif, perkembangan politik, dan budaya politik.  Menurutnya, budaya politik, “based on communication and persuasion, a culture of consensus and diversity, a culture that [permits] change but [moderates] it” (Almond and Verba 1963, 8). Gagasan budaya politik ini merupakan sebuah konsep yang mencakup karakter bangsa dan bagaimana masyarakat memilih untuk mengatur diri mereka sendiri lewat komunikasi dan persuasi, serta konsesus dalam keberagaman – sebagai aspek mendasar dari negara demokratis.

Dalam bukunya, The Civic Culture (1963), Gabriel Almond dan rekannya Sidney Verba Almond membagi budaya politik ke dalam tiga struktur yang berbeda sesuai dengan tingkat dan jenis partisipasi politik masyarakat serta sifat dari perilaku masyarakat terhadap politik. Pertama, budaya politikp Parokial. Budaya politik parokial ditandai dengan rendahnya minat, wawasan, serta partisipasi masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan dengan politik dan penyelenggaraan pemerintahan.

Kedua, Budaya Politik Kaula.  Budaya politik kaula memiliki pengetahuan umum terhadap politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Hanya saja, partisipasi masyarakat dalam tipe budaya politik ini masih terbilang cukup rendah. Masyarakat yang menganut budaya politik kaula patuh terhadap peraturan pemerintah, namun banyak yang tidak melibatkan dirinya secara langsung dalam kegiatan politik seperti pemilihan umum.

Ketiga, Budaya Politik Partisipan. Dalam budaya politik partisipan, kesadaran masyarakat terhadap politik dan pemerintahan relatif tinggi dan ditandai dengan partisipasi aktif masyarakat dalam hal pembuatan kebijakan serta pemilihan pemimpin. Masyarakat dalam sistem budaya politik partisipan sadar bahwa sekecil apapun partisipasi yang diberikan masyarakat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dapat memberikan dampak yang besar bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara.

Kita dapat mengkategorikan budaya politik Indonesia sebagai politik partisipan. Namun, kita juga tidak dapat memisahkan budaya politik Indonesia dari Pancasila yang adalah falsafah dan dasar berdirinya Negara Indonesia. Lebih dari pada itu, kita pun tidak dapat memisahkan budaya politik Indonesia dari politik internasional. Satu kesamaan yang mewarnai dunia politik saat ini ialah politik liberal. Politik liberal ditandai oleh besarnya pengaruh kapitalisme dalam pertarungan politik. Itu sebabnya pula Amond mengingatkan “that capitalism and democracy co-exist as the prevailing systems of governance the world over and they invariably interact with each other and transform each other through time.” Meminjam istilah Haris Rusly Moti, meskipun ideologi politik kita ialah Pancasila, kita hidup dalam iklim politik (dan ekonomi) yang liberal sehingga selalu ada kemungkinan untuk dikalahkan (failed), dijebak (trapped) dan dibajak (hijacked) dalam pertarungan politik.

Dalam kaitan yang lebih luas pun, dimensi politik, tidak bisa dilepaspisahkan dari dimensi-dimensi lain: aspek Sipil, Ekonomi, Sosial, Budaya (dan Ekologi). Aspek Sipil mengacu pada hak dan kewajiban warga negara, termasuk di dalamnya hak dan kewajiban dalam bidang politik. Jika hak dan kewajiban ini diabaikan, bisa dipastikan proses politik tidak berjalan benar dan bermartabat. Aspek ekonomi, dalam banyak hal amat berpengaruh terhadap aspek politik seperti mahar politik atau kontrak politik dengan para pemilik modal. Aspek sosial tampak dalam partisipasi politik yang memainkan isu hirarki social ataupun kebencian antar kelompok social. Aspek budaya tampak dalam interesa politik berdasarkan suku atau asal yang sama bukan kualitas dan kapasitas calon pemimpin. Aspek ekologi seringkali menjadi pertaruhan politik yang berujung pada penguasaan sumber-sumber daya alam untuk penumpukan kekayaan elit politik tertentu.

Membangun Sikap Kritis Masyarakat

Manilka Research and Consulting dalam laporannya berkaitan dengan “Pilkada 2018, Pilpres 2019, dan Demokrasi Indonesia” menyebut perhelatan Pilkada 2018 ini bernilai sangat strategis. Menyonsong pesta demokrasi akbar lima tahunan itu, maka perlu dibangun sikap kritis masyarakat dalam proses pemilihan. Dalam hal ini, saya teringat pada tindakan politik filsuf Hannah Arendt. Arendt, dengan bahasa yang lugas mengklaim bahwa “the raison d’être of politics is freedom, and its field of experience is action” (Arendt, 1954:146).

Tanpa kebebasan, politik menjadi tak berarti. Untuk itu, bagi Arendt, agar dapat memahami bagaimana kebebasan manusia itu diekspresikan, ada dua cara berpikir tentang politik, yakni politik sebagai pemerintah, dominasi seorang atau sekelompok orang atas yang lain, yang menghalalkan kekerasan atau politik sebagaimana dianut oleh Arendt, sebagai organisasi yang dikuasai oleh masyarakat tatkala mereka berbicara dan bertindak (Young-bruel, 2006:84).

Tindakan politik menuntut manusia untuk keluar dari kenyaman ruang privat dan masuk dalam ruang publik yang memungkinkan setiap invidual bertindak secara bersama-sama dalam posisi yang setara. Hal ini juga berarti keluar dari pola hidup kerja yang hanya mementingkan pemenuhan biologis manusia maupun pola karya yang cenderung menghasilkan sesuatu untuk kepentingan manusia semata-mata yang membuat manusia terkungkung dalam ruang privat dan teralienasi dari ruang publik.

Dengan demikian Tindakan Politik Arendt, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebebasan, pluralitas dan penyingkapan individu lewat bertindak dan berbicara selalu melahirkan sesuatu yang baru, yang tidak terduga dan sekaligus tak terhapuskan sebagai ciri politik modern. Konsekuensi tindakan politik sebagai yang tak terduga dan tak terhapuskan memungkinkan manusia untuk tetap bertindak dalam ruang publik maka diperlukan kapasitas memaafkan dan berjanji.

Kapasitas memaafkan merupakan upaya mengakhiri konsekuensi tindakan di masa lalu dan sekaligus memampukan manusia untuk bertindak (lagi). Kapasitas berjanji untuk mereduksi ketidakpastian tindakan manusia agar tidak jatuh dalam –sebagaimana politik dalam arti peraturan (rule) dan kedaulatan (soveregnty)-  pemanfaatan manusia semata-mata sebagai sarana dalam dunia yang juga tak terduga. Politik dalam pemahaman Arendt sebagai yang berlangsung di antara manusia-manusia, terkait erat dengan tindakan karena lewat bertindak, manusia berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, tindakan politik merupakan tindakan antar manusia yang distingtif untuk mencapai kebaikan bersama.

Meskipun konsep tindakan politik Arendt dinilai hanya cocok untuk kategori organisasi sosial, gereja, organisasi perempuan, organisasi buruh maupun lembaga swasembada masyarakat, konsepnya tetap menghasilkan kapasitas dalam kehidupan politik pemerintahan atau negara dengan menjalankan fungsi kontrol. Dengan demikian, orisinalitas konsep Arendt tentang tindakan politik dapat menjadi acuan bagi pembentukan kesadaran bersama sebagai masyarakat dalam ruang lingkup hidup bernegara agar lewat berbicara dan bertindak, jalannya kebijakan-kebijakan politik dapat dikontrol. Fungsi kontrol makin kuat karena Arendt telah dengan jitu membalikkan pemahaman umum akan politik sebagai relasi antara menguasai-dikuasai, memerintah-diperintah, pemerintah-negara. Politik dalam pemahaman Arendt justru sebagai relasi yang berlangsung di antara manusia jika mereka bertindak bersama.

Dengan adanya kemauan untuk bertindak bersama, kita patut berharap masyarakat Indonesia semakin kritis dalam berpolitik. Harapan ini bukan isapan jempol belaka karena berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), kini mencapai angka 72,82. Kesadaran politik masyarakat yang ditunjukkan dengan hak-hak politik juga mengalami kenaikan sebesar 6,91 poin, naik dari 63,72 menjadi 70,63. Dengan demikian, semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sungguh dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia karena masyarakat tidak terjebak oleh kampanye hitam dan hoaks, terbuai oleh politik uang, maupun terkotak-kotak oleh politik SARA.

Penutup

Jika konstituen politik punya tanggung jawab moral untuk menjaga persatuan bangsa dengan kampanye yang  mengedepankan agenda serta program, maka rakyat mempunyai tanggung jawab untuk terlibat aktif dan kritis dalam proses politik. Ancaman tatanan sosial politik yang benar dan bermatabat tidak hanya datang dari partai politik dan  calon pemimpin.  Ancaman juga bisa berasal dari masyarakat sendiri yang bersikap apatis, cuek dan tidak peduli pada proses politik yang sedang berlangsung. Jika rakyat cuek, rakyat jugalah yang akan memanen hasilnya. Sebagai contoh, pemilukada DKI Jakarta.

Sebagaimana dikutip laman tirto.id, Lisman Manurung, pakar kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menilai program rekonsiliasi Gubernur Anies tidak jelas dan ada titik lemah dari pasangan tersebut yakni kencenderungan untuk tak bisa tegas dalam menata birokrasi.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal juga menilai fokus Gubernur Anies dalam memulai program kerja prioritas tiga bidang yakni pembukaan lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan, dan biaya hidup terjangkau masih kurang sigap dan tidak konsisten dengan janji kampanyenya. Belum lagi begitu banyaknya keluhan masyarakat tentang mulai menjamurnya lagi para pengemis dan gelandangan, Jakarta yang mulai kotor, penadaan moda transportasi yang semberawut dan lain sebagainya.)***

Alexandro Rangga OFM, Fransiskan tinggal di Roma-Italy__Tulisan ini sebelumnya telah dimuat Majalah Gita Sang Surya edisi Juli – Agustus 2018

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 − three =