RP. Dr. Peter C. Aman OFM (Dosen STF Driyarkara), foto: dokumen pribadi
Terjadinya “chaos” atau kerusakan pada bumi terutama disebabkan oleh pilihan sikap dan tindakan manusia yang bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan manusia, yakni menjadi pemelihara dan perawat bumi (Kej.2:15).

INSPIRASI_JPIC OFM Indonesia, Tulisan ini mengusung tema “Rekonsiliasi Kosmik dari Perspektif Kristiani”. Kata rekonsiliasi sudah sering didengar dan dipahami sebagai pemulihan situasi atau keadaan ke yang seharusnya, yang baik dan benar. Misalnya ketika orang berselisih, yang terjadi adalah rusaknya relasi, ada kebencian, antipati, amarah atau dendam. Rekonsiliasi dimaksudkan sebagai upaya agar relasi yang rusak itu dipulihkan lagi ke keadaan yang seharusnya, yaitu relasi yang baik dan harmonis, bebas dari hal-hal buruk atau negatif.

Kita sering juga mendengar wacana tentang rekonsiliasi politik, rekonsiliasi nasional atau bahkan sakramen rekonsiliasi. Dalam wacana-wacana seperti itu makna rekonsiliasi pun tidak berganti. Rekonsiliasi selalu berhubungan dengan pemulihan, penataan kembali, pendamaian, penyelarasan demi mengakhiri konflik, disharmoni, pertentangan dan perselisihan.

Nah, bagaimana jika dihubungkan dengan kata “kosmik” – rekonsiliasi kosmik? Kosmik berasal dari kata “cosmos” yang berarti alam atau jagat. Dalam alam pikiran Yunani dikenal dua istilah yang berhubungan dengan cosmos, yakni macro-cosmos yang berarti alam raya (jagat raya) dan micro-cosmos (jagat cilik), yang berarti manusia. Pembedaan ini menarik karena menegaskan satu hal yaitu bahwa alam raya dan manusia, memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan. Yang ‘macro” dan yang “micro” dipersatukan dalam “cosmos”.

Diri manusia merupakan “cosmos” yang kecil, dan alam raya merupakan “cosmos” yang besar. Dalam alam raya (macro-cosmos) kita menemukan pelbagai macam makhluk dan benda-benda yang berbeda-beda tetapi dipintal dalam kesatuan harmonis serta bertautan satu-sama lain secara komplementer. Yang satu mengandaikan atau membutuhkan yang lain. Hal yang sama dapat kita temukan juga dalam diri manusia (micro cosmos), yang terbentuk dari pelbagai macam unsur (anggota tubuh) tetapi dibingkai menjadi satu diri utuh manusia. Semua anggota bersatu dan saling membutuhkan. Itulah micro-cosmos. Dalam alam pikiran Timur khususnya China, kita mengenal istilah “yin-yang” – yang mengacu kepada dua kekuatan utama dalam alam yang berbeda tetapi keduanya merupakan satu kesatuan serta melandasi harmoni dalam alam raya dan kehidupan manusia.

Dari Chaos ke Cosmos

Pada baris pertama Kitab Kejadian kita menemukan kata-kata berikut: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (Kej. 1:1-2). Inilah kondisi awal alam ciptaan atau bumi. Belum berbentuk dan gelap gulita. Teks ini memberi gambaran mengenai kondisi awal yang belum tertata, belum berbentuk dan gelap. Suatu gambaran tentang kondisi yang belum tertata dan teratur (chaos). Allah menciptakan dengan bersabda dan dengan Sabda itu dimulailah penataan, pengaturan dan penempatan segala sesuatu pada tempatnya, secara berurut dan terintegrasi. Semua ditempatkan pada tempatnya yang seharusnya sehingga dapat berfungsi dalam dan demi kesatuan dan keutuhan bumi seluruhnya. Bumi yang sudah tertata dan teratur secara baik dan benar itu, lantas dijadikan Allah “tempat tinggal/rumah” (oikos) bagi semua makhluk hidup. Bumi dan segala isinya lantas menjadi satu-kesatuan yang utuh (cosmos) dan menjadi rumah (oikos) bagi semua ciptaan.

“Cosmos” menjadi “oikos” bagi semua makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia (micro-cosmos), sebagai suatu keteraturan dalam dirinya. Manusia menjadi micro-cosmos, miniatur dari “macro-cosmos”.  Dia memiliki tempat khusus dalam keseluruhan tatanan ciptaan (macro-cosmos). Karena itu “keteraturan pada micro-cosmos akan berdampak positif pada macro-cosmos, demikian juga keteraturan pada macro-cosmos berdampak positif pada micro-cosmos”. Juga dapat terjadi sebaliknya: ketidakteraturan dalam micro-cosmos berdampak buruk pada macro-cosmos, dan kektidakteraturan pada macro-cosmos berdampak buruk pada micro-cosmos. Runutan logis tentang korelasi macro-cosmos dan micro cosmos memberi kita pencerahan untuk memahami hakekat dari persoalan ekologis, yakni relasi antara micro-cosmos dan macro-cosmos. Tidak salah jika Laudato Si (2015) menyebut bahwa persoalan ekologis berakar pada manusia dan pemulihannya pun berakar pada manusia.

Kisah tentang Taman Eden dalam Kej. 2:8-15) memberi kita gambaran biblis tentang kondisi kehidupan dalam kosmos yang berkat campur tangan sang Pencipta, menjadi “oikos” (rumah/tenpat tinggal) makhluk hidup dan manusia. Semua berada dalan relasi yang harmonis dan utuh. Semua berfungsi benar dan baik. Tidak ada disharmoni dan pertentangan karena semua berada dan berfungsi dalam tatanan cosmos sebagaimana Pencipta sendiri mengatur dan menatanya. Bumi yang pada mulanya penuh air dan gelap gulita, menjadi tempat yang layak bagi kehidupan, baik ciptaan bukan manusia maupun manusia.

Dari Cosmos ke Chaos

Dalam kitab Kejadian kita menemukan juga kisah tentang alam semesta yang sudah teratur (cosmos), lantas kembali menjadi chaos, tidak beraturan dan tidak layak menjadi tempat tinggal (oikos) bagi segenap ciptaan. Bumi bukan lagi ibu yang memelihara dan melindungi, sebaliknya, menjadi pemangsa makhluk ciptaan termasuk manusia. Alam menjadi kekuatan yang menghancurkan segenap kehidupan. Kisah air bah (Kej. 7) adalah ilustrasi biblis yang mengingatkan pembaca bahwa bumi tidak berada dalam genggaman kekuasaan manusia. Sebaliknya manusia tampak amat tak berdaya di hadapan kekuatan alam, seperti kata Pemazmur, seperti “setitik air pada pinggir timba dan sebutir debu dalam neraca” (Yes 40:15) atau ibarat bunga yang segar di pagi hari dan layu di waktu petang (Mz. 90:6 ). Harmoni antarmakhluk tidak lagi dijumpai. Bumi menjadi mimpi buruk bagi kehidupan, yang melibas dan menghancurkan semuanya.

Penyebab utama kehancuran alam adalah tindakan manusia, yang diungkapkan dalam bahasa teologis sebagai dosa dan kejahatan manusia (Kej.6). Sikap dan tindakan manusia itu sudah diperlihatkan pada awal penciptaan. Manusia gagal menerima dan mengakui diri sebagai “ciptaan” betapa luhurpun dia sebagai “gambar dan rupa Allah”. Manusia berhasrat melampaui hakekat keberadaannya sebagai ciptaan. Manusia ingin menjadi seperti Allah. Godaan itu ditaruh pada mulut ular (simbol kekuatan jahat): “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang apa yang baik dan yang jahat” (Kej.3:4). Keinginan menjadi seperti Allah berarti menolak menjadi manusia (ciptaan). Merebut posisi dan kedudukan Allah. Menjadi pemberontak, tidak menerima dan mengakui Allah. Manusia mendaulat diri sebagai Pencipta dan berhasrat mengatur dan mengurus bumi berdasarkan keinginan dan rancangannya sendiri.

Kejahatan dan dosa manusia merusak harmoni kosmik sehingga bumi “rumah kita” (oikos), tidak lagi menjadi ruang kehidupan yang nyaman dan kondusif. Tentang hal itu Paus Fransisus menulis: “Saudari ini (baca: bumi) sekarang menjerit karena segala kerusakan yang kita timpakan padanya, karena tanpa tanggungjawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada di dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin di dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Rom 8:22). Kita lupa bahwa kita sendiri tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan dan disegarkan oleh airnya” (LS 2).

Kondisi bumi sebagaimana digambarkan dalam kitab Kejadian dan Laudato Si memperlihatkan hal yang sama yakni bahwa bumi yang teratur (cosmos) menjadi kacau (chaos) karena tindakan dan sikap manusia. Bumi sudah tidak lagi menjadi rumah yang nyaman. Bumi, ibu pertiwi, saudari kita sedang menderita dan semakin menurun kemampuannya untuk menopang dan menampung  serta memberi kehidupan. Dampak dari rapuh dan menderitanya bumi, terpulang kepada manusia juga, terutama orang-orang miskin (LS 25).

Terjadinya “chaos” atau kerusakan pada bumi terutama disebabkan oleh pilihan sikap dan tindakan manusia yang bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan manusia, yakni menjadi pemelihara dan perawat bumi (Kej.2:15). Laudato Si menegaskan bahwa kerusakan bumi berakar pada manusia (LS 101-135), baik pilihan tindakannya maupun sikap terhadap bumi yang bersumber pada persepsi diri yang salah. Laudato Si menyebut bahwa manusia bertindak dan berpikir seolah-olah dialah pemilik dan penguasa bumi (LS 2). Kesalahan tersebut merupakan sumber dari kejahatan dan kesalahan dalam memperlakukan dan bersikap terhadap bumi.

Manusia yang diciptakan sebagai “gambar dan rupa Allah” serta dianugerahai akal-budi dan kehendak bebas menyelewengkannya demi kepentingannya sendiri dengan akibat kerusakan pada bumi dan kehidupan manusia sendiri. Paus Fransiskus, mengutip Paus Benediktus,  mengingatkan, “Kita telah melupakan bahwa manusia bukan hanya kebebasan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. Dia adalah roh dan kehendak, tetapi juga alam. Dengan kepedulian seorang bapa, Benediktus mendesak kita untuk menyadari bahwa dunia ciptaan dirugikan di mana kita sendiri memiliki kata terakhir, di mana semuanya hanya milik kita yang kita gunakan untuk diri kita sendiri saja. Penyalahgunaan ciptaan dimulai ketika kita tidak lagi mengakui yang lebih tinggi dari pada kita sendiri, ketika kita tidak melihat apaun kecuali diri kita sendiri” (LS 6). Di sini Paus menyinggung kesesatan berpikir dan bersikap yang bersumber pada antroposentrisme dengan segala akibat buruknya (LS 115-136).

Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa hakekat kejahatan manusia sesungguhnya satu dan sama yakni berpikir bahwa dirinya adalah pemilik dan penguasa, dan karenanya memperlakukan bumi seturut keinginan dan rancangannya sendiri, kendati sadar akan dampak buruk dari apa yang dikerjakannya. Tentang kerusakan bumi akibat tindakan manusia, Paus Paulus VI (1971) sudah mengingatkan, “karena eksploitasi alam yang sembarangan, manusia mengambil resiko merusak alam dan pada gilirannya menjadi korban dari degradasi ini” (OA 21). Manusia pertama di taman Eden tidak taat dan setia pada Sang Pencipta, dengan akibat kehilangan “rumah”, tempat tinggal yang nyaman yang disediakan Pencipta. Demikian juga manusia zaman ini, merusak bumi, rumah kediamannya, dan karenanya menanggung akibat buruk dari tindakannya itu.)***

Sdr. Peter C. Aman OFM, Dosen Teologi Moral STF Driyarkara dan Unika Atmajaya Jakarta, dan Ketua Komisi JPIC OFM Indonesia

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × two =