RP. Dr. Peter C. Aman OFM (foto: dokumen pribadi)

INSPIRASI__JPIC OFM Indonesia, “…karya keselamatan tertuju kepada pemulihan segala sesuatu atau pendamaian segala sesuatu dalam diri Kristus (rekonsiliasi kosmik). Rekonsiliasi kosmik menjadi paripurna ketika segala sesuatu dipersatukan dan diperdamaikan dalam diri Kristus.”

Rekonsiliasi Kosmik: Perspektif Perjanjian Lama (PL)

Dalam teologi tentang keselamatan (soteriologi) dikatakan bahwa rencana penyelamatan Allah sudah dirancang sejak awal penciptaan. Santo Bonaventura bahkan menyatakan bahwa karya penciptaan dan karya penyelamatan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam “paket” penyataan diri Allah. Karya penciptaan tidak bisa dilepaskan dari karya keselamatan sebagai suatu penataan dan pengaturan dunia menjadi suatu ruang kehidupan semua ciptaan dan ruang perjumpaan dengan Allah sendiri. Pewahyuan diri Allah serta rancangan penciptaan dan penyelamatan merupakan satu kesatuan utuh. Manusia tak dapat mengenal sang Pencipta tanpa ciptaan-Nya. Gagasan dan kerinduan akan surga (keselamatan abadi), tak akan ada tanpa bumi tempat Allah hadir dan menyatakan diri serta rencana kasih-Nya (keselamatan). Dalam rumusan lain “no heaven without earth”.

Gagasan keselamatan seperti ini dapat kita temukan benihnya dalam PL. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa dengan melakukan pelanggaran dan perlawanan terhadap rencana dan kehendak Allah, Allah tidak menarik kembali kasih dan cinta-Nya pada ciptaan-Nya (bdk. 6:1-8). Setelah kehancuran bumi untuk pertama kali, Allah lantas merencanakan suatu awal baru, demi munculnya suatu bumi baru, ruang kehidupan dan tempat penyataan diri Allah dan kasih-Nya. Perjanjian dengan Nuh merupakan suatu perjanjian baru, demi suatu bumi baru, ruang kehidupan baru. Perjanjian itu mengisyaratkan komitmen terutama dari pihak manusia. Integrasi kosmik (rekonsiliasi kosmik) merupakan inti dalam rencana keselamatan itu.

Kejadian 9:12-17 mengatakan, “Dan Allah berfirman, ‘Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun termurun untuk selama-lamanya: Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi. Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan, maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku, yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup. Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi’. Berfirmanlah Allah kepada Nuh, “Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan segala makhluk yang ada di bumi”.

Teks Kejadian ini memberikan gagasan dasar tentang keselamatan dalam Perjanjian Lama, yang kemudian diteruskan dalam teologi Kristiani, bahwa keselamatan tidak terbatas pada keselamatan manusia, tetapi mencakup seluruh alam semesta, suatu rekonsiliasi kosmik. Bukan hanya manusia yang didamaikan kembali dengan Allah (rekonsiliasi), tetapi juga segenap ciptaan. Semuanya diperdamaikan kembali dengan Allah (rekonsiliasi kosmik).

Gambaran yang kurang lebih gamblang tentang rekonsiliasi kosmik dalam PL dapat kita temukan juga dalam tulisan Nabi Yesaya. Rekonsiliasi kosmik merupakan buah dari pembaharuan total yang akan terjadi ketika Mesias hadir. Dialah Raja Damai, yang menjamin pemulihan keadilan dan kebenaran sebagai fundasi bagi pembaharuan alam semesta dan kehidupan manusia:

Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. Roh Tuhan akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasehat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN. Ia tidak akan menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang. Tetapi ia akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan, dan akan menjatuhkan keputusan terhadap orang-orang yang tertindas di negeri dengan kejujuran; ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik. Ia tidak akan menyimpang dari kebenaran dan kesetiaan seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang. Serigala akan bersama donmba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jejrami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya, maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia” (Yes. 11:6-10).

Dengan mencermati teks Yesaya ini, maka jelas bagi kita bahwa gagasan rekonsiliasi kosmik memiliki dasarnya pada Kitab Suci sendiri. Gagasan keselamatan dimengerti sebagai pemulihan relasi manusia dengan Allah, buah pembaharuan hidup dan pengampunan dosa. Pemulihan relasi itu  mencakup pemulihan relasi antar manusia, relasi manusia dengan alam ciptaan, sebagai buah pemulihan relasi dengan Allah. Keselamatan itu berdimensi kosmik, integral dan utuh. Rekonsiliasi kosmik ini berarti pemulihan segala sesuatu ke dalam relasi yang baik dan benar, dikembalikan kepada yang seharusnya, sebagaimana Allah sendiri merancang dan merencanakannya. Sinerji macro-cosmos dan micro-cosmos dipulihkan lagi karena itulah yang diciptakan Allah pada awal penciptaan.

Kristo Kosmik: Rekonsiliasi Kosmik dalam Perjanjian Baru (PB)

Gagasan inti dalam pewartaan PB adalah pribadi Yesus Kristus: Allah yang menjadi manusia, demi melaksanakan kehendak Bapa, yakni menyelamatkan dunia dengan segala isinya, sehingga diperdamaikan kembali dengan Allah (bdk. Yoh 3:16; Kol 1: 21-22). Oleh karena itu pribadi Yesus Kristus merupakan pusat dan inti dari keberadaan seluruh ciptaan.

Ada banyak teks yang bisa dijadikan acuan dari gagasan ini, tetapi teks yang kurang lebih secara utuh menyatakan hal itu ditemukan dalam Kolose 1:15-20, berikut ini: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.  Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu  dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala  tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung,  yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan  Allah berkenan diam di dalam Dia dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”.

Teks ini ditulis dalam bentuk madah dan merupakan salah satu madah penting tentang Yesus Kristus dalam PB, selain Filipi 2:6-11. Berbeda dengan madah dalam Filipi 2:6-11, madah di atas mengangkat satu tema penting berkaitan dengan sentralitas Yesus Kristus, yakni tema ciptaan. Yesus digambarkan sebagai “gambar Allah yang tak kelihatan (inkarnasi Allah) dan dihubungkan dengan segenap ciptaan. Dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah yang sulung, ada sebelum ciptaan, paling utama, segala sesuatu diciptakan dalam Dia, melalui Dia, bagi Dia dan diperdamaikan dengan Diri-Nya.

Teks ini memberi petunjuk pada dimensi kosmik-ekologis dari karya keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Kristus. Diri Yesus Kristus pun bahkan berdimensi kosmik dalam arti tidak terpisahkan dari ciptaan. Dia adalah dasar berada dari ciptaan, yang sulung, paling utama dan bahwa segala sesuatu dipersatukan dengan Dia dan tak terpisahkan dari Dia. Yesus Kristus mendahului segala sesuatu dan menjadi dasar dari semua ciptaan, karena dalam Dia telah  diciptakan segala sesuatu. Teks ini selaras dengan yang ditulis penginjil Yohanes, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh 1:3).

Tidak hanya kepada jemaat Kolose, kepada jemaat di Roma pun Paulus mengangkat tema yang kurang leib sama, yakni dimensi kosmik dari karya keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan  dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh,  kita juga mengeluh  dalam hati kita sambil menantikan   pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita” (Rom.8: 18-23)

Surat Paulus kepada jemaat Kolose dan Roma berbicara tentang pribadi Yesus Kristus (gambar Allah yang sejati) sebagai pusat dan dasar berada segala ciptaan. Tentang gagasan teologi-ekologi yang kristosentrik ini, Leonardo Boff antara lain menyebutnya dengan istilah “Kristus-kosmik”. Di sini mau ditekankan bahwa refleksi teologis tentang ekologi tidak bisa mengabaikan kristologi. Sentralitas Yesus Kristus dalam ciptaan sebagai dasar berada dan sumber hidup juga disebutkan penginjil Yohanes dalam Yoh 10:10.  Teks-teks ini mengingatkan kita, tidak saja akan dimensi kristosentris dari ciptaan, tetapi juga dimensi kosmik dari soteriologi Kristiani. Karya keselamatan tidak berdimensi antroposentris, tertuju dan berpusat pada manusia, tetapi pada seluruh ciptaan. Segala sesuatu dipersatukan dan diperdamaikan dalam Kristus. Dengan demikian kepedulian atau konsern pada lingkungan hidup sejatinya merupakan suatu imperatif teologis, tepatnya imperatif soteriologis.

Ada dua pokok yang dapat kita petik. Pertama, segala ciptaan berhubungan atau dipersatukan dengan Yesus Kristus, karena “tanpa Dia, tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh.1:3). Kedua, karya keselamatan tertuju kepada pemulihan segala sesuatu atau pendamaian segala sesuatu dalam diri Kristus (rekonsiliasi kosmik). Rekonsiliasi kosmik menjadi paripurna ketika segala sesuatu dipersatukan dan diperdamaikan dalam diri Kristus.

Kesatuan dan pendamaian segala sesuatu dalam diri Kristus merupakan buah kebangkitan. Dalam Roh-Nya, Yesus Kristus yang bangkit hadir dan menjadi daya hidup serta pembaharuan segala sesuatu. Roh Kudus, Roh Kristus yang bangkit adalah Roh Allah yang melayang-layang di kisah awal penciptaan dan kini hadir sebagai daya hidup dan pembaharu. Liturgi kita memiliki satu penggal lagu Roh Kudus sbb: “Datanglah Roh-Mu ya Tuhan, dan jadi baru seluruh muka bumi”.

Dalam alur logika teologis yang demikian, Karl Rahner juga menegaskan bahwa dengan kebangkitan-Nya Yesus Kristus tidak meninggalkan ciptaan, tetapi dalam Roh-Nya menjadi daya hidup dan pembaharu segala sesuatu, menuju bumi dan langit baru turun dari Allah, sebagai kediaman Allah Tritunggal. Dengan demikian Perayaan Paskah pun berdimensi kosmik: perayaan pembaharuan, pemulihan segala sesuatu dalam diri Yesus Kristus yang bangkit. Kebangkitan sebagai puncak karya keselamatan menjadi tonggak paripurna dari restorasi segenap ciptaan. Keselamatan berarti pemulihan segala sesuatu dalam Allah Tritunggal.

Penutup

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si, mengingatkan kembali akan dimensi kosmik dari karya keselamatan dalam Yesus Kristus. Keselamatan berarti penyatuan dan pemulihan segala sesuatu dalam Allah Tritunggal. Paus Fransiskus menulis, “Di akhirat, kita akan menemukan diri kita berhadapan muka dengan keindahan Allah yang tak terbatas (Lih 1 Kor 13:12), dan dengan kagum dan bahagia, kita akan mampu membaca rahasia dalam semesta yang bersama-sama dengan kita akan mengambil bagian dalam kepenuhan yang tak berujung. Ya, kita sedang mengadakan perjalanan menuju Sabat keabadian, ke Yerusalam baru, menuju rumah kita bersama di surga. Yesus berkata, ‘Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!’ (Wahyu 21:5). Kehidupan kekal akan menjadi sebuah pengalaman bersama yang mengagumkan, di mana setiap makhluk berubah rupa dengan gemerlapan, akan mengambil tempatnya, dan akan memiliki sesuatu untuk dipersembahkan kepada kaum miskin yang telah dibebaskan untuk selamanya” (LS 243).

RP. Dr. Peter C. Aman OFM__ Dosen Teologi Moral STF Driyarkara dan Unika Atma Jaya Jakarta

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × 5 =