Salah satu sesi TSF, Johannesburg, 12-15 November 2018

Johannesburg, jpicofmindonesia.com Bertempat di Johannesburg, Afrika Selatan telah dilangsungkan pertemuan Thematic Social Forum (selanjutnya disingkat_TSF) tentang tambang dan ekonomi ekstraktif (Thematic Social Forum on Mining and the Extractivist Economy). TSF yang berlangsungkan dari 12 – 15 November 2018 ini melibatkan komunitas terdampak tambang, serikat buruh, organisasi rakyat, gerakan perempuan, LGBT, kelompok kepercayaan, masyarakat adat, pekerja, petani skala kecil, nelayan tradisional, pemuda, kelompok pendukung, akademisi dan Gereja (JPIC OFM Indonesia termasuk di dalamnya).

Empat ratusan peserta yang terdiri dari 60 negara (Asia, Pasific, Eropa, termasuk 28 negara–negara di Afrika) yang hadir, bersharing dan berdiskusi di Sci-bono Museum & Music Factory, Helen Joseph Street, Newtown, Johannesburg, South Africa.
Kehadiran para peserta dari berbagai kalangan ini dimaksudkan untuk merayakan kehidupan dan kemenangan, sekaligus mengonsolidasi gerakan perlawanan, membangun perjuang an bersama untuk solidaritas, memastikan keutuhan alam dan mendorong dunia yang lebih baik bagi generasi sekarang dan mendatang.

Alam memiliki hak untuk ada dan berkembang sesuai dengan hukumnya. Karena itu tanggung jawab manusia untuk mempertahankan dan hidup selaras dengan alam, karena manusia merupakan bagian darinya. Berdasarkan latar belakang inilah TSF dilaksanakan.

Beragam pertemuan yang dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 19.00 ini dikemas secara menarik dalam beberapa sesi. Setiap hari dibuka dengan diskusi panel bersama dalam ruangan sampai dengan makan siang.

Dalam diskusi panel ini para peserta mendengar sharing dari beberapa pembicara seperti utusan komunitas yang terdampak tambang, lembaga pendamping, kelompok pe rempuan, akademis dll. Tema–tema yang diangkat juga amat menarik seperti pada hari kedua tentang “Geopolitik dan Pertambangan: Krisis Global dan Ekonomi Ekstraktif: Jalan Menuju Transisi yang Adil dan Berkelanjutan”; atau pada hari ketiga tentang “Pertambangan, Perubahan Iklim dan Krisis Ekologi”.

Setelah makan siang dilanjutkan dengan diskusi– dis kusi kelompok sesuai dengan tema, minat atau permasalahan yang digeluti oleh masing–masing peserta. Ada beragam tema yang dibahas di masing–masing kelompok (Self-organized) seperti “Ekofemi nisme dan Ekstraktif”; “Konflik, Kekerasan, dan Kriminalisasi; Kesehatan & Keselamatan Para Buruh (pekerja)”; Hak-hak Alam, “Visi Kosmos Alternatif”, dan “Perjuangan Sosial; Krisis Iklim, Energi Transisi, Blue dan Green Ekonomi serta Ekstrektivisme”, dll.

Realitas Terkini

Berdasarkan sharing dan diskusi, baik secara bersama maupun dalam kelompok–kelompok, terungkap beragam ke nyataan dewasa ini. Beberapa dekade terakhir, terlihat rasisme yang kian intensif, patriarki dan gaya kolonial, berdasarkan atas imajinasi
akan kemungkinan pertumbuhan ekonomi tanpa batas pada planet yang terbatas.

Sdr. Alsis, OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia- turut serta dalam Thematic Social Forum on Mining and the Extractivist Economy, 12 – 15 November 2018, di Sci-bono Museum & Music Factory, Helen Joseph Street, Newtown, Johannesburg, South Africa.

Atas nama kemajuan dan perkembangan terjadi supereks ploitasi atas para pekerja, penyingkiran sistematis atas komunitas, me nguatnya kondisi pemanasan global, dan ketidakadilan iklim. Selain itu bangkit nya kekuatan fasis dan oto ritarianisme lama dan baru adalah ancaman yang melepaskan gelombang baru kejahatan dan represi.

Samudera, sungai, hutan, dan seluruh ekosistem dieksploitasi demi keuntungan semata yang menyebabkan krisis dan kerusakan yang parah pada alam. Melalui proses rekolonialisasi dan perebutan control kekuasan global dan regional atas sumber daya alam yang strategis dan langka, menjadi momok genosida baru, yang akan memusnahkan kelompok “tersingkirkan” dan “terpinggirkan”.

Kaum tani, petani skala kecil, migran, pengungsi, peternak kecil, kaum terlantar, masyarakat adat, perempuan kelas pekerja telah diperbudak melalui model perkembangan partiarki ektraktivis. Mereka bekerja keras untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga dan komunitas di bawah kondisi yang semakin genting. Pekerjaan mereka hanya untuk menyokong kepentingan para kapitalis dan keuntungan para pemodal.

Hak-hak para pekerja seperti upah, kesehatan dan keselamatan kerja, dan beragam peraturan lainnya dilanggar seenaknya. Ketika komunitas dan aktivis bertindak menolak proyek ekstraktif yang dipenuhi dengan korupsi dan janji-janji palsu pembangunan, perampasan dan pelanggaran hak–hak asasi manusia maka mereka akan dikriminalisasi, diancam, diculik, diserang, dan dibunuh.

Perempuan, anak–anak dan orang-orang muda seringkali menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan oleh negara dan korporasi. Komunitas yang menolak pertambangan dan proyek ekstraktif lainnya, dan serikat buruh militan diserang oleh kombinasi kekuatan bersama oleh negara dan korporasi.

HAK untuk mengatakan TIDAK

Berhadapan dengan persoalan global sebagaimana diuraikan pada kenyataan di atas, maka di hari terakhir para peserta TSF, berdiskusi untuk merancang strategi dan aksi nyata untuk melawan serangan sistematis dari industri pertambangan dan ekonomi ekstraktif. Bentuk perlawanan tersebut dilakukan melalui aksi solidaritas antar-komunitas perjuangan, wilayah, negara, regional dan global.

Bersama dengan komunitas yang terkena dampak pertambangan, organisasi buruh, masyarakat yang menggantungkan diri pada hutan dan perikanan, petani dan masyarakat adat serta gerakan perempuan dan organisasi lain yang sepaham untuk menentukan sendiri perkembangannya dan menolak segala bentuk paksaan proyek-proyek ekstraktif para peserta TSF secara bersama–sama mengkampanyekan “HAK untuk mengatakan TIDAK” bagi aktivitas dan ekonomi ekstraktif (Right to Say NO).

Para peserta TSF menuntut agar para pemangku kepentingan (Negara, organisasi dunia, dll) agar memasukan “HAK untuk me ngatakan TIDAK” pada konstitusi Negara atau hukum internasional. Hak untuk mengatakan TIDAK harus diakui sebagai hak asasi untuk menegakkan hak–hak masyarakat melalui perbaikan dan kompensasi atas kerugian dan kerusakan yang diderita oleh masya rakat dan alam karena tindakan impunitas Neo-kolonial, apartheid, dan korporasi.

Kampanye untuk melakukan moratorium proyek–proyek ekstraktif baru dan ekstraktif berbahaya lainnya harus menjadi bagian integral dari “Hak untuk mengatakan TIDAK”.

Sembari menyatakan TIDAK, para peserta TSF secara tegas mengatakan YA. YA untuk cara–cara alternatif bagi hidup yang harmonis untuk semua komunitas bumi. YA untuk hak memutuskan bagaimana menjalani hidup komunitas itu sendiri. YA untuk mengakui bahwa alam tidak hanya dipahami sebagai sumber daya yang dieksploitasi sesuka hati demi keuntungan manusia semata. YA, untuk memperbaiki sejarah, utang ekologis dan sosial kepada masyarakat di dunia Selatan. YA untuk nilai identitas, pengetahuan dan pandangan asali. YA untuk tatanan ekonomi baru yang berkelanjutan, peka terhadap keadilan sosial dan lingkungan.

Tawaran Alternatif (Rekomendasi)

Ketika di akhir pembicaraan terkait dengan draf pernyataan bersama TSF, terjadi perdebatan yang cukup keras dan menarik terkait tuntutan peserta dari komunitas masyarakat atau kelompok yang mewakili orang muda atau anak–anak (komunitas yang paling mengalami dampak langsung dari industry ekstraktif). Mereka menuntut agar semua aktivitas industri ekstraktif (perusahaan tambang) dihentikan dan ditutup secara permanen.

Tetapi sebagian kelompok (terutama NGO nasional & regional) melihat bahwa ada ancaman serius terhadap ekonomi Negara-negara yang dibangun oleh industri ekstraktif (kemungkinan ekonomi Negara akan collaps jika pertambangan dihentikan).

Karena perbedaaan pendapat ini kemudian dicari jalan kompromi. Berhadapan dengan ancaman kerusakan dan kehancuran terhadap planet bumi yang timbul dari ekstraktivisme kapitalis yang telah berlangsung berabad-abad maka dibutuhkan transformasi yang dalam tidak hanya akan sistem energi, tapi bagaimana manusia memproduksi, mengonsumsi, dan mengorganisir hidup.

Sebuah “Transisi yang Adil” dari rezim berbasis bahan bakar fosil dan ekstraktif tak hanya diperlukan untuk menghadapi krisis iklim tetapi mengandung tatanan baru, demokratik, eko feminis, post kapitalis adalah tawaran kompromistis.

Adalah mitos bahwa menghentikan perubahan iklim dan menutup industri ekstraktif akan meningkatkan pengangguran. Sebaliknya, kehidupan yang layak dalam membangun sistem energi terbarukan dimiliki secara sosial, sistem pangan agro ekologi, perbaikan tanah dan ekosistem, kesehatan komunitas dan perumahan sosial menjadi dasar bagi “Transisi yang Adil”.

“Transisi yang Adil” telah lama dilakukan dan diperjuangkan, misalnya bagaimana kelompok perempuan hidup menurut cara hidup mereka di alam dominasi budaya patriaki, komunitas masyarakat adat menghadapi perusahaan tambang dan memelihara sistem pangan mereka, perjuangan pekerja melawan ketidaknyamanan dan privatisasi, dll.

Tawaran alternatif lain adalah kampanye dan perjuangan untuk mendapatkan HAK mengatakan TIDAK. TIDAK bagi model ekstrativisme, dan meminta agar semua cadangan gas, minyak, batubara harus tetap di dalam tanah. Perlunya sebuah model pembangunan yang berkelanjutan dan memperhatikan ekologi sebagai bagian di mana manusia hidup dan tinggal.

Konsumsi berlebihan di dunia Utara dan Selatan harus dibatasi, berdasarkan prinsip cukup. Produktivisme, pertumbuhan tanpa henti dan akumulasi demi akumulasi semata harus dihentikan atau dalam bahasa para peserta TSF dikatakan: “Kita tidak hidup untuk memproduksi tapi memproduksi untuk hidup.”

Belajar dari komunitas masyarakat asli dan lokal terkait inisiatif dan kearifan lokal yang adalah fondasi bagi pembangunan. Alam, iklim, air, sumber daya dan semua bentuk kehidupan tidak untuk dijual. Ini semua adalah milik bersama, dan semuanya berkewajiban untuk melindungi dan membaginya dengan semua orang bahkan untuk generasi yang akan datang. Ini adalah nilai dan moral yang mendesak dan menjamin perdamaian dan keadilan sosial.

Prinsip hidup masyarakat lokal, penduduk asli dan komunitas bisa menjadi inspirasi dalam membangun hidup selaras dengan alam. Kelompok masya rakat asli senantiasa menghormati hakhak alam dan memahami alam bukan sebagai milik karena setiap ekosistem punya hak untuk hidup dan berkembang, “air punya hak untuk terus mengalir dan burung untuk minum dan terbang.”

Sungai dan tanah punya entitas hak, dan manusia harus menghormati kesakralan itu. Terakhir yang menarik adalah seruan dan himbauan ke lembaga-lembaga seperti Gereja, universitas dan badan-badan PBB serta badan–badan publik lainnya untuk tidak menerima sumber daya keuangan ekstraktif sebagai sumber sumbangan.

Diminta agar bank dan badan investasi multilateral untuk tidak menjadi sumber proyek ekstraktif. Lembaga-lembaga publik didesak untuk menjadi garda terdepan dalam kampanye dan upaya menolak semua bentuk bantuan (finansial) dari hasil kejahatan kaum kapitalis yang selalu dan senantiasa menjalankan aktivitas dan ekonomi ekstraktif.)***

Sdr. Alsis Goa, OFM Direktur JPIC OFM Indonesia 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

one × four =