WACANA FRANSISKAN, JPIC OFM Indonesia, Sejarah mencatat,St. Fransiskus Assisi adalah salah satu figur religius yang paling dicintai sepanjang sejarah. Santo yang hidup diabad ke 13 ini terkenal dengan cinta yang menembus batas-batas yang tak terbayangkan sebelumnya. Dia dirayakan karena cintanya terhadap binatang, memeluk orang kusta, mecintai kemiskinan dan selalu berdoa untuk perdamaian.
Menurut seorang ahli Fransiskan, Kevin Elphick, Fransiskus adalah “figur gender yang unik yang mengubah sejarah”. Cintanya yang luar biasa melampaui batas. Saudara Fransiskan yang lain menyebutnya ibu selama hidupnya. Fransiskus mendorong para saudaranya untuk menjadi ibu bagi satu sama lain. Yang menarik juga dari St. Fransiskus, dia menggambarkan Trinitas sebagai Tuan Putri kemiskinan, berbeda dengan pandangan spiritual lain yang mungkin melulumaskulin.
Dia mengalami pengalaman rohani yang melihat Trinitas yang feminim sehingga menggelarnya dengan “Tuan Putri Kemiskinan yang Suci”. Fransiskus membiarkan seorang janda untuk masuk ke biara para lelaki, dan menyebutnya “Saudara Yacoba”. Partnernya dalam pelayanan juga seorang perempuan, yaitu Clara dari Assisi, dan Fransiskus yang memotong rambutnya dengan gaya tonsura yang khusus untuk laki-laki saat pertama kali bergabung.
Kalau melihat pengalaman-pengalaman tersebut, sebenarnya kita semakin meyakini bahwa dikedalaman hatinya, St. Fransiskus memiliki keaslian cinta yang mendalam untuk segala makhluk tanpa dihalangi oleh batasan-batasan tertentu yang membuatnya dengan tulus mencintai segala makhluk Tuhan. Fransiskus mengalami sendiri cinta sebagai seorang laki-laki tetapi juga menerjemahkan kasih keibuan dalam persaudaraannya. Dia mengalami Allah sebagai Bapa tetapi juga sekaligus menerima Allah yang mencintai dan dicintai sebagai Tuan Putri yang mencintainya dan dipeluknya dalam cara hidup yang miskin.
Inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi Fransiskus sehingga dia dapat menyebut semua elemen dan segala makhluk di bumi ini sebagai saudara dan saudarinya. Inilah alasan mengapa Fransiskus mampu memberikan cintanya untuk mereka yang ada bersamanya dan juga memeluk orang kusta yang dipinggirkan oleh masyarakat. Inilah kekuatan bagi Fransiskus untuk pergi ke batas-batas pinggiran, berani ke medan tempur untuk berjumpa dengan Sultan. Inilah sebab mengapa pada akhir hidupnya Allah memeteraikan pada dirinya lima luka Kristus sebagai legitimasi atas cintanya yang luar biasa sempurna.
Mereka yang Terpinggirkan
Kalau kita mencoba searching di internet, kita akan menemukan hasil karya para seniman tentang St.Fransiskus yang berbeda dari gambaran umumnya. Misalnya, lukisan “St. Francis ‘Neath the Bitter Tree” karya Pastor William Hart McNichols yang menggambarkan St. Fransiskus yang memeluk Kristus yang digambarkan sebagai seorang penderita kusta, AIDS, juga sebagai pengguna narkoba dan homosexual, kelompok yang terpinggirkan dan paling beresiko menderita AIDS.
Lain lagi seniman California, Kevin Raye Larson, menekankan sensualitas momen saat St. Fransiskus menerima Stigmata dan menjadikannya sebagai cover dalam majalah the Los Angeles gay lifestyle saat mengangkat isu spiritual tentang “Frontiers – mereka yang di Pinggiran”.
Isu tentang AIDS dan Narkoba berjalan beriringan yang menimbulkan kecemasan. Para pengguna narkoba yang seringkali menjadi korban entah itu situasi ekonomi atau juga tekanan sosial lainnya bisa juga sekaligus menjadi penderita AIDS karena aktifitas dan intensitas penggunaan obat. Pederita AIDS seringkali sulit tertolong.
Para saudara Fransiskan Papua mempunyai satu rumah khusus yang dinamakan Rumah Hospis yang memberi harapan dan pendampingan khusus terhadap penderita AIDS. Sementara, untuk pengguna narkoba, kita tidak menutup mata terhadap kematian para pengedar narkoba dan terutama juga mereka yang menjadi pengguna yang ditembak mati oleh rezim Duterte di Filipina. Di Indonesia, para pengedar narkoba masih berkeliaran dan bahkan masih beroperasi dari balik jeruji, sementara orang-orang muda (juga tua) banyak yang dikorbankan, baik karena gaya hidup maupun karena tekanan hidup.
Isu LGBT juga adalah isu sentral yang menuai pro dan kontra. Banyak diskusi tentang kehadiran dan keberadaan kelompok ini. Ada yang bisa menerima dan mengakui haknya dan ada juga yang menganggapnya sebagai mereka yang harus dipinggirkan. Terkait keberadaan mereka, Paus Fransiskus memberikan pernyataan yang menarik “Jika seseorang adalah gay dan ia mencari Tuhan serta memiliki niat baik, siapakah aku sehingga menghakimi? Kita tidak harus meminggirkan orang karena ini. Mereka harus diintegrasikan ke dalam masyarakat.”
Apa yang menjadi keprihatinan para seniman yang tertuang dalam lukisan-lukisan yang digambarkan di atas adalah kegelisahan akan situasi dunia sekarang. Spirit dan cara hidup St. Frasnsiskus yang berani bangkit dan memeluk orang kusta dan menemukan TUHAN dalam diri mereka yang dipinggirkan, kiranya dibutuhkan sekarang ini.
Fransiskus dan Orang Kusta
Lukisan “St. Francis ‘Neath theBitter Tree”, karya Pastor William Hart McNichols adalah komparasi terhadap St. Fransiskus yang menemukan Tuhannya dalam diri orang kusta. Tentang hubungannya dengan orang Kusta, kita sering mendengar kisah berikut:
Suatu hari ketika sedang menunggang kuda, Fransiskus berpapasan dengan seorang kusta. Biasanya ia sangat jijik dengan orang kusta bahkan jika mungkin dia akan berbalik menghindar. Tetapi hari itu, ia melakukan hal yang luar biasa. Daya kekuatan Ilahi telah menuntunnya. Ia mendekati orang kusta itu, kemudian ia turun dari kuda dan memeluk serta mencium si kusta.
Beberapa tahun kemudian, ketika dalam keadaan sekarat, Fransiskus mengingat kembali peristiwa yang sangat menentukan hidupnya ini. “Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan.Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap,lalu aku meninggalkan dunia” (Was 1-3).
Tentu saja tidak berlebihan jika Pastor William melukiskan St. Fransiskus yang memeluk Sang Tersalib yang digambarkan sebagai seorang penderita kusta sekaligus pengguna narkotika dan juga dilukiskan sebagai seorang gay. Kelompok-kelompok ini adalah kelompok yang dipinggirkan oleh masyarakat moderen.
Cinta Ekstravagansa
Kisah tentang penderita kusta tentu saja tidak pernah berakhir. Dewasa ini, kita menjumpainya dalam bentuk-bentuk yang telah disebutkan di atas. Dibutuhkan cinta yang luar biasa yang dimiliki oleh St.Frasniskus untuk berani melihat Dia Yang Tersalib dan memeluknya dalam diri mereka. Sikap dan perhatian yang diberikan terutama pada keyakinan akan kehadiran mereka sebagai citra Allah dan pesona Allah sendiri yang mereka hadirkan. Orang kusta bahkan adalah orang yang dipinggirkan, terkutuk, dan tentu saja orang yang dianggap berdosa. Tetapi oleh St. Fransiskus ditemui,dijumpai dan bahkan mereka adalah gurunya dan di dalam diri mereka ia menemukanTuhan.
Kevin Ray Larson menggambarkan St. Fransiskus sebagai “gay” yang mengalami stigmata. Refleksi dalam rupa lukisan ini juga sangat mendalam. Kaum gay menurut Larson, dari bacaan kami menunjukkan pesona Allah sendiri yang bahkan “menitipkan” lima luka yang dimilikinya untuk dimeteraikan dalam diri kaum yang oleh beberapa kalangan dipinggirkan.
Sikap yang paling baik yang ditunjukkan oleh PausFrasnsiskus dan juga tentu saja dari semangat St. Fransiskus sendiri adalah tidak menghakimi keberadaan mereka tetapi mengakui keberadaanya yang adalah citra Allah dan sekaligus terbuka akan karya Allah yang bekerja dalam diri mereka yang mereka tunjukkan dalam upaya untuk mencari Allah dan seperti Paus Fransiskus katakan mereka juga melaksanakan kebaikan dalam hidupnya.
Dasar spiritual yang kuat yang harus dimiliki dalam konteks sekarang ini adalah kemampuan untuk mencintai dengan afeksi yang dimiliki semesta. Fransiskus menunjukkan bahwa dia dapat bertindak sebagai ayah dan sekaligus juga sebagai ibu. Dia bisa bersaudara dengan semua orang tetapi sekaligus bisa mengajak binatang-binantang untuk berkomunikasi. Dia mengajarkan kedamaian dan sekaligus pergi ke luar dari batas aman untuk menjumpai Sultan Malik Al Khamil untuk mengalami hidup perdamaian bersama-sama.)***
Sdr. Charlest Talu OFM/ Staff JPIC OFM Indonesia