EDITORIAL, JPIC OFM Indonesia, Dalam sejarah Indonesia merdeka, kita pernah memiliki dua orang Presiden yang mempunyai atensi pada pertanian dengan cara dan hasil yang tidak serupa. Soeharto seorang Jenderal tentara, kuat, tegas dan ditakuti, tetapi amat “meriah” ketika bertemu dengan kelompok petani. Dia bisa berbicara berjam-jam tentang pertanian dalam bahasa yang mudah dicerna, sederhana dan pas.
Pertanian menjadi salah satu program unggulannya dengan membangun banyak irigasi dan waduk, yang tak jarang menyisakan persoalan HAM. Di zaman Soeharto, Indonesia mencapai prrestasi luar biasa, mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pertanian Dunia (FAO) tahun1985 di Roma, tepatnya 14 November.
Baca juga: Politik Beretika
Kita juga pernah mempunyai seorang Presiden, namanya disingkat SBY, jenderal tentara dengan tampilan santun dan berbicara terukur. Ia punya atensi pada pertanian dengan meraih gelar Doktor Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, menjelang masa jabatannya yang kedua. Banyak yang berharap bahwa masa jabatan kedua menjadi kesempatan mengaplikasikan pengetahuan doktoralnya di bidang pertanian. Lima tahun kedua berlalu dalam senyap.
Impor beras ramai dan memperkaya pengimpor; nama beras baru diperkenalkan yakni “beras miskin”, tak ada proyek waduk dan irigasi yang dibangun; janji memperluas lahan pertanian tetap tinggal janji. Pertanian Indonesia tersingkir oleh niaga impor hasil pertanian. Petani mengeluhkan kelangkaan pupuk, irigasi, modal dan harga hasil pertanian. Sebagai profesi alternatif, pertanian ditinggalkan generasi muda. Kampung sepi, tanah dijual dan petani merantau di kota atau menjadi tukang ojek.
Hemat kami, ada lima persoalan pokok berkaitan dengan pertanian di negeri ini, yang menghambat perwujudan swasembada pangan: belum optimalnya jaringan irigasi, benih, ketersediaan pupuk, tenaga kerja, dan penyuluhan program-program pertanian.
Baca Juga: Kemerdekaan Politik (?)
Kelima persoalan pokok ini berada di tangan pengelola negara, yang mesti memiliki keinginan politik yang kuat untuk mengarus-utamakan pertanian sebagai kebijakan politik unggulan. Pada level petani kekurangan utama adalah luas lahan, etos dan ketrampilan kerja yang belum optimal dan meluas.
Yang dibutuhkan adalah politik pertanian yang komprehensif dan integratif. Maksudnya adalah agar pertanian diperhatikan secara menyeluruh, baik sarana dan prasarananya, ketrampilan bertani, tata niaga hasil pertanian dan luas lahan pertanian.
Kebijakan antar sektor kekuasaan mesti terintegrasi agar dapat berjalan seiring dan serempak, tanpa kontroversi atau kontradiksi di antaranya. Muara politik yang komprehensif dan integratif ini adalah kemandirian petani, kesejahteraan petani serta ketersediaan kebutuhan pangan pokok bagi masyarakat umum secara mudah dan murah.
Baca Juga: Petaka Konsumerisme
Etos kerja petani memang mesti ditopang baik oleh pendidikan maupun oleh politik pertanian yang “memuliakan” petani. Stereotip petani yang serba kurang menarik, saatnya dihilangkan ketika hasil kerja mereka dihargai dan ketrampilan bertani mereka ditingkatkan.
Kemungkinan itu dapat direalisasikan melalui peluang pemanfaatan dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat ke desa-desa. Kebijakan di desa tentu tidak lepas dari keutuhan kebijakan nasional di bidang pertanian. Pemerintah daerah mesti juga cerdas dan visioner agar sungguh memfasilitasi para petani agar menikmati kemudahan berusaha sebagai petani dengan terobosan mencari pasar dan memudahkan transportasi hasil pertanian.
Indonesia secara potensial kaya raya. Sentuhan kebijakan pemerintah mesti dioptimalkan dan ketrampilan para petani serta fasilitas kerja mesti ditingkatkan. Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan komitmen membangun pertanian demi mewujudkan Indonesia berswasembada pangan. Suatu cita-cita yang tepat, tetapai harus disertai komitmen politik dan kebijakan komprehensif agar politik pertanian sungguh berbuah nyata pada kemakmuran rakyat dan kesejahteraan petani.)***
Tulisan ini merupakan editorial Majalah GIta Sang Surya edisi September – Oktober 2018.