JPIC OFM Tentang Tambang: Viktor Jos Pemimpin PHP

0
1499
Viktor Laiskodat - Joseph Nae Soi. Foto: Nasional Tempo.co

Jakarta, JPICOFMIndonesia.com, Sempat membuncah harapan saat mendengar Pidato Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur terpilih Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tegas akan memoratorium pertambangan mineral dan batubara. Pidato itu menegaskan kembali janji-janji kampanyenya bersama sang wakil, Yoseph Nae Soi.

“Tambang bukan pilihan baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT,” kata Viktor Bungtilus Laiskodat, dalam sambutan pasca pelantikan. Laiskodat bilang, izin yang ada dan masih berlaku akan dicabut. Izin yang sedang diproses disetop.

Beberapa bulan berlalu, Gubernur menerbitkan Surat Keputusan No 359/KEP/HK/2018 tentang penghentian sementara pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara di NTT. Surat keputusan ini sangat mengecewakan.

Pastor Alsis Goa, OFM, Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation- Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Indonesia mengatakan, SK ini justru hanya berkutat pada evaluasi administrasi teknis dan finansial.

Moratorium, katanya, sebatas penghentian operasi pertambangan dan izin tambang baru sembari evaluasi izin eksisting yang berpotensi tetap beroperasi selama dinyatakan layak administratif.

Parahnya lagi, kata Alsis, SK ini hanya berlaku satu tahun, dan hanya menghentikan sementara pemberian izin usaha pertambangan minerba di NTT.

“Seluruh isi SK ini tidak ada satu diktum mencerminkan keseriusan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi menghentikan pertambangan di NTT sebagaimana digembar-gemborkan saat kampanye dan pidato perdana pelantikan,” katanya.

Menurut Alsis, seharusnya moratorium tambang di NTT berbasis fakta empiris, soal sumber penghidupan mayoritas masyarakat yang bergantung pada pertanian dan peternakan.

Fata empiris menunjukkan, kehadiran tambang di NTT, menimbulkan kerusakan parah bahkan tak terpulihkan, seperti terjadi di Serise, Tumbak, Satarteu, Lengkololok (Manggarai Timur), Robek, Maki, dan Timbang (Manggarai). Juga Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan (Belu), Oenbit dan Biboki (Timor Tengah Utara), Supul dan Mollo (Timor Tengah Selatan) dan Wanggameti (Sumba Timur) serta Prai Karoku Jangga, Sumba Tengah.

“Tambang di wilayah-wilayah ini sudah merampas tanah-tanah warga, merusak dan mencemari sumber air, merusak hutan dan situs-situs adat, mencemari laut, konflik sosial, intimidasi dan kriminalisasi berujung di penjara,” lanjut Alsis.

“Moratorium, seharusnya dikuti penegakan hukum tegas dan transparan, tak sebatas administrasi. Moratorium seharusnya, diikuti langkah pemulihan sosial dan ekologi karena pertambangan menimbulkan kerusakan dahsyat bagi ruang hidup dan konflik sesama warga hingga kini,” tutupnya.

Charlest, OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

one + 15 =