PERSPEKTIF – JPIC OFM Indonesia, Beberapa waktu lalu, setelah dilantik menjadi Gubernur NTT (2018-2023), Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Nai Soi menyatakan akan me-MORATORIUM-kan semua izin tambang yang dikeluarkan oleh Gubernur sebelumnya. Sampai saat ini, belum tersiar tanda bahwa Gubernur akan benar-benar merealisasikan kebijakannya tersebut. Terlepas dari itu, pernyataan Gubernur tersebut patut dan perlu dihargai karena beberapa tahun terakhir masyarakat di wilayah-wilayah pertambangan termasuk Gereja melakukan penolakan terhadap pertambangan. Setidak-tidaknya ada tiga hal mendasar mengapa Gubernur ingin melakukan moratorium atas tambang yaitu: pertama, NTT merupakan daerah dengan kekayaan alam yang indah. Karena itu keindahan itu tidak boleh dirusak oleh tambang. Kedua, gubernur ingin mengoptimalkan produksi pertanian dan peternakan sebagai komoditas unggulan di NTT. Jagung, padi dan kedelai. Ketiga, menangani masalah pengangguran, kemiskinan serta angka perdagangan manusia yang cukup tinggi.
Moratorium Tambang
Moratorium berarti tindakan untuk menghentikan sementara suatu kegiatan tertentu dalam periode waktu yang sudah ditentukan atau penangguhan atau penundaan suatu kegiatan. Moratorium diambil karena menilai ada kebijakan yang salah atau keliru terkait pelaksanaannya. Atau moratorium dilakukan karena tujuan dari kebijakan tertentu itu tidak mencapai tujuan atau jauh dari harapan. Karena itu perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh untuk memastikan apakah kebijakan tersebut akan tetap dilanjutkan atau harus dihapus. Yang memiliki kewenangan dalam mengambil kebijakan untuk melakukan moratorium adalah pemegang kuasa (Pemda: Gubernur, Bupati) di wilayah yang bersangkutan.
Gubernur NTT sesaat setelah dilantik menyatakan akan melakukan moratorium tambang. Artinya pemerintah akan menghentikan sementara atau melakukan penangguhan atau penundaan terhadap kegiatan pertambangan atau izin-izin tambang yang sudah diterbitkan atau tidak memberi atau mengeluarkan izin tambang baru di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Alasan Gubernur melakukan moratorium adalah melakukan penelitiaan untuk memastikan apakah kegiatan pertambangan sudah memenuhi peraturan perundang-undangan atau belum, termasuk apakah kegiatan pertambangan layak atau tidak layak.
Alasan seperti itu berimplikasi pada dua hal yaitu pertama, jika hasil penelitian menunjukkan bahwa izin-izin tambang yang sudah diterbitkan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka aktivitas pertambangan di NTT akan terus dilanjutkan. Kedua, sebaliknya, jika tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka kegiatan pertambangan tidak akan terus dijalankan dan atau izin-izin tambang yang ada harus dicabut. Jika demikian halnya, dalam konteks NTT moratorium memiliki standar ganda dan tidak memberi dampak apa-apa?
Berbeda dengan Gubernur, pernyataan Wakil Gubernur sedikit lebih tegas. Ia mengatakan Izin tambang yang sementara diusulkan termasuk yang sudah ada akan dicabut. Resikonya saya akan dibawa ke pengadilan dan saya sudah siap menghadapinya. Alasan beliau adalah bentang alam NTT cantik sehingga jangan dirusak oleh tambang. NTT fokus ke pembangunan pariwisata agar tetap cantik dan bisa dijual ke luar negeri. Mencabut izin tambang tidak memiliki standar ganda, satu saja yang dilakukan, ya cabut. Kalau cabut tidak perlu lagi ada penelitian terkait apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, atau apakah layak atau tidak layak. Toh, tambang di NTT sudah ditolak baik oleh masyarakat maupun oleh Gereja.
Layak atau Tidak Layak
Penelitian pada masa moratorium bertujuan juga untuk menentukan layak atau tidak layak tambang di NTT. Kelayakan erat kaitannya dengan nilai-nilai keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Pertanyaannya, apakah dalam sejarah pertambangan di NTT, kehadiran pertambangan sudah membawa keadilan (ekonomi) bagi masyarakat di sekitar tambang atau dalam skop yang lebih kecil telah membawa kesejahteraan kepada masyarakat? Apakah pertambangan di NTT memberi dampak terhadap pelestarian pada alam atau lingkungan?
Sejarah pertambangan di NTT adalah sejarah kelam dan pasti tetap kelam jika terus dilanjutkan. Keberadaan tambang di NTT sudah lama, kurang lebih sejak 1980-an. Namun masyarakat baru menyadari bahwa tambang tidak memberikan dampak kejahteraan atau membuat hidup orang di sekitar tambang itu sejahtera. Atas dasar itu masyarakat mulai membangun gerakan perlawanan terhadap kebijakan tambang. Gerakan perlawanan tersebut dimulai di dimulai 2007 di pulau kecil Lembata, berlanjut ke Flores (Manggarai, Ngada), Sumba dan Timor Barat.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Justice Peace and Integirity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) Indonesia di Lembata, Flores, Sumba dan Timor Barat menunjukkan beberapa fakta-fakta (hukum dan social): tambang dilakukan di dalam Kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai Kawasan hutan dari Menteri kehutanan RI, banyak tanah-tanah ulayat yang dirampas begitu saja tanpa seizin atau kesepakatan masyarakat adat, kriminalisasi terhadap warga yang menolak kegiatan pertambangan di wilayah mereka, manipulasi kesepakatan dari masyarakat setempat, janji-janji kosong dari pemerintah dan perusahaan tambang, buruh-buruh yang digaji tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) dan tanpa jaminan keselamatan, konflik sosial di masyarakat, muncul beragam penyakit (kencing darah, ispa) dan banyak fakta-fakta lain yang menunjukkan bahwa tambang tidak membawa perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Atau dengan kata lain, pertambangan di NTT sudah merusak rasa keadilan, ekonomi keadilan dan keberlanjutan, memporakporandakan kebudayaan dan keharmonisan masyarakat. Itulah yang mendasari masyarakat termasuk Gereja menolak kebijakan pertambangan dan melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang. Jadi apakah pertambangan layak atau tidak layak dilakukan di NTT? Jawabannya: tidak!
Kesimpulan
Jadi berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka sebenarnya moratorium tambang tidak penting lagi. Gubernur demi keadilan ekonomi, perdamaian dan keutuhan ciptaan langsung saja mencabut semua izin-izin yang sudah diterbitkan dan fokus saja pada peningkatan produksi pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata dan juga mengatasi pengangguran dan kemiskinan seperti yang telah dijanjikan.)***
Valens Dulmin – Advokat dan Koordinator Bidang Advokasi di JPIC OFM Indonesia