EDITORIAL – JPIC OFM Indonesia, Baik “politik” maupun “jender” merupakan fakta terberikan dalam kehidupan manusia. Keduanya merupakan fakta yang tak terhindarkan bagi makhluk manusia. Akhir-akhir ini “politik jender” menjadi perhatian utama dalam wacana banyak pihak, didiskusikan dan diperdebatkan dalam ruang-ruang publik. Apa soalnya?
Politik sejatinya berarti pengelolaan kehidupan bersama, agar setiap dan semua manusia, warga masyarakat (polis) mencapai kebaikan hidup sebagai manusia (bonum commune). Pengelolaan kehidupan bersama mensyaratkan integrasi dan partisipasi pelbagai komponen masyarakat. Integrasi dan partisipasi tersebut sepanjang sejarah terlembagakan dalam budaya, kebiasaan dan adat istiadat serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, yang disebut kebudayaan.
Pelembagaan partisipasi tentulah tidak serba sempurna, selalu ada kekurangan yang memperlihatkan kepincangan atau ketidakadilan atas dasar jender. Sebagian besar kultur masyarakat memperlihatkan peran besar (dominasi peran) kaum pria dengan menyisakan sedikit ruang peran bagi perempuan. Ada yang mengenal pembagian peran dalam kategori ruang domestik dan ruang publik. Perempuan mengurus rumah (domestik), pria mengurus kehidupan sosial-ekonomi-politik dan budaya (publik).
Pembagian peran itu sendiri tentu bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah bahwa pembagian peran itu dilihat sebagai sesuatu yang tak bisa atau tak boleh diubah dengan pelbagai macam argumen pembenar. Yang kedua, pembagian peran itu sendiri dibarengi unsur diskriminasi serta stigma-stigma sosio-kultural-religius. Bukankah menjalankan peran sosial dalam hidup bersama, lebih menyangkut kompetensi atau kemampuan, dan bukan pertama-tama soal jender?
Politik jender dimaksudkan untuk mengupayakan perubahan kebijakan publik dalam dua level. Pertama level etis-moral dan kedua level kebijakan dan hukum. Pada level etis-moral, upaya yang dilakukan adalah animasi dan pendidikan yang mengangkat dan mensosialisasi dasar-dasar etis-moral bagi perlakuan setara terhadap laki-laki dan perempuan, atas dasar status dan martabat yang sama. Lelaki dan perempuan, berbeda karena keterciptaan tetapi setara dalam keberadaan. Perbedaan itu tidak mengimplikasikan pembedaan perlakuan dan pembedaan sikap-sikap etis-moral. Keduanya berstatus dan berhak sama sebagai manusia. Tetapi keberbedaan keduanya adalah niscaya demi keberlangsungan dan pengembangan kehidupan manusia itu sendiri. Karena itu integrasi dan partisipasi keduanya menjadi niscaya kalau masyarakat sejahtera dan adil ingin dicapai.
Pada level kebijakan dan hukum, dimaksudkan agar ada peta politik dan hukum yang sungguh memberi ruang peran pada laki-laki dan perempuan, atas dasar komptensi atau kemampuan. Memberi jatah 30% kepada perempuan untuk terlibat dalam politik, dapat merupakan metamorfosa dari politik diskriminatif, karena tidak mengutamakan kualifikasi, tetapi jumlah. Yang dibutuhkan sesungguhnya adalah suatu iklim dan suasana, di mana entah pria, entah wanita, bersaing secara benar dan adil untuk merebut posisi-posisi politik atau posisi lainnya dalam masyarakat demi kebaikan semua.
Hal itu tentu saja tak mudah. Hulu dari setiap kebijakan publik mesti dibenahi, seperti pendidikan, reformasi budaya, reformasi agama dan reformasi sosial yang mesti menjadi “humus” bagi bertumbuhnya kesadaran dan praksis keadilan jender. )***
Peter C. Aman OFM _tulisan ini merupakan editorial Gita Sang Surya edisi November – Desember 2018