www.jaticepu.co.id

SastraJPIC OFM Indonesia, Sutar lulus dari SMP, tentu saja dia senang. Tapi sesudah lulus lalu mau ke mana? Dulu Tarni, kakak perempuannya, sesudah lulus SMP lalu kursus menjahit, merantau ke kota untuk bekerja di pabrik garmen. Lima tahun bekerja dia ketemu jodoh, tukang ojek langganannya. Sekarang Mbak Tarni sudah punya anak perempuan, satu tahun umurnya. Sutar tidak tertarik untuk kursus menjahit, masuk SMA, nanti masih perlu melanjutkan lagi. Masuk SMK, biayanya terlalu tinggi untuk kantong orang tuanya. Sutar menetapkan hati untuk pergi dari desanya. Dia malu nanti kalau ketemu dengan teman-temannya yang melanjutkan sekolah. Kebetulan Mbak Tarni pulang kampung bersama anaknya untuk menengok orang tuanya. Sutar menyampaikan keinginannya untuk ikut merantau ke kota. Setelah menghubungi suaminya, Tarni bersedia membawa adiknya ke kota karena suaminya tidak berkeberatan diikuti adik iparnya.

“Biarlah nanti Sutar bisa membantu di warung makan Mang Atang, kemarin ini dia cari pembantu.”

            Sutar berangkat ke kota bersama kakak perempuan dan keponakannya. Simbok memberi sekedar uang, cukup untuk pulang kampung, bila ternyata nanti Sutar tidak kerasan di kota. Perjalanan dengan bus malam membutuhkan waktu dua belas jam.

            “Perjalanan ini termasuk lancar, Tar, kadang bisa lebih dari dua belas jam.” Sutar belum pernah ikut kakaknya ke kota. Tapi dari Mbak Tarni dia sudah tahu bahwa tidak mudah hidup di kota besar, atau tepatnya di pinggiran kota besar, sebagai tukang ojek dan penjual nasi bungkus. Rumah kontrakan kakaknya ada di pinggir gang sempit berjajar-jajar dengan rumah kontrakan orang lain. Sebentar Sutar merasa pengab, bagaimana   pun juga di desanya rumah-rumah tidak sampai berdesakan begini. Tapi Sutar menguatkan hati. Sutar sedih ketika mendengar dari Mas Bardi kakak iparnya itu, bahwa ternyata Mang Atang sudah mendapatkan pembantu baru.

            “Tidak apa-apa Tar, namanya juga usaha. Sebelum dapat pekerjaan kamu bantu-bantu dulu kakakmu di rumah.” Bardi yang sudah akrab dengan pahitnya kehidupan membesarkan hati adik iparnya. Syukurlah keadaan itu tidak berlangsung terlalu lama. Waktu itu Tarni minta dibelikan cabai di warung gang sebelah. Sutar segera pergi memenuhi permintaan kakaknya. Dengan sebungkus cabai di tangan, ia bergegas beranjak dari warung. Lewat di depan rumah petak sebelah warung, seorang laki-laki tua menyapanya.

            “Jang …, pendatang baru ya? Tinggal di mana?”

            “Iya Pak. Saya tinggal di rumah Mas Bardi kakak ipar saya. Tadinya mau membantu di warung makan Mang Atang. Tapi ternyata Mang Atang sudah mempunyai pembantu baru.”

            “Kalau gitu bantu aku saja, aku ini pemulung. Panggil aku Aki saja, seperti orang-orang di sini memanggil aku,” kata laki-laki itu sambil  terkekeh.

            Meski Sutar pusing  memikirkan tawaran Aki, tapi ia minta izin juga kepada kakaknya untuk ikut Aki memulung. Bardi dengan berat hati menyetujui kemauan adik iparnya. Aki sangat dikenal di seputar perumahan miskin itu. Dulunya dia tenaga kebersihan di suatu sekolah swasta. Sesudah pensiun dengan uang pensiun yang tidak seberapa, dia melanjutkan hidup dengan memulung. Tapi bila ada tetangga yang membutuhkan bantuan untuk kerusakan-kerusakan kecil di rumahnya, dia juga bisa berperan sebagai tukang.

            Pagi buta itu untuk pertama kali Sutar mendorong gerobak sampah bertuliskan “Gerobak Aki”. Jalan-jalan di kota masih agak sepi. Aki memungut kardus-kardus bekas yang ada di depan toko-toko yang masih tertutup, Sutar mengikuti apa yang dikerjakan oleh Aki. Berminggu-minggu lewat, kadang pagi, kadang siang, atau sore, Sutar mengikuti jam kerja Aki. Kalau siang atau sore biasanya Aki mendatangi tempat-tempat pembuangan sampah.

            Siang itu Sutar memulung sendirian karena Aki sedang menerima pekerjaan memperbaiki pintu kamar mandi. Dengan membawa “Gerobak Aki” kamu tak akan diganggu pemulung lain Tar, mereka semua teman-teman Aki. Begitu kata Aki kepada Sutar. Sutar pergi menuju tempat pembuangan sampah yang sudah dikenalnya. Di depan komplek rumah yang cukup besar. Rumah apa atau rumah siapa, Sutar tidak tahu. Sedang asyik memunguti plastik-plastik bekas, Sutar mendengar seseorang berseru.

            “Jang …, sini dulu!” Sutar menengok ke arah suara. Ternyata memang dia yang dipanggil. Seseorang melambaikan tangan ke arahnya dari pos satpam. Sutar mendekat, di situ sudah ada belasan orang berkumpul, dan seorang perempuan membagi-bagikan kardus nasi. Mereka yang berkumpul itu menerima kardus dan mengucapkan terima kasih. Sutar menerima juga kardus nasi yang masih hangat itu dan mengucapkan terima kasih. Sekilas Sutar melihat setumpuk kayu limbah di belakang pos satpam itu. Batangan kayu-kayu itu terlihat cukup besar dan kokoh. Lebih besar dan lebih kokoh dari tiang-tiang di emperan rumahnya yang sudah lapuk. Juga ada bambu-bambu utuh, bilah-bilah bambu, triplek-triplek bekas yang cukup lebar. Rupanya pemilik gedung itu sedang merenovasi rumahnya dan menumpuk limbah materialnya di situ. Wah, limbah itu bisa untuk memperbaiki rumah kami di desa. Tiang emperan, reng dan usuk, tripleknya bisa untuk mengganti bilik-bilik bambu yang sudah bolong.

Di dekat gerobak sampahnya Sutar membuka kardus, isinya nasi, ayam goreng, daun-daun lalapan, dan sambal. Ditutupnya lagi kardus itu dan dimasukkannya ke dalam kantong plastik yang cukup bersih. Ia gantungkan kantong plastik itu di samping gerobak sampahnya. Ia menahan diri untuk tidak memakan nasi itu karena mau diberikannya kepada Aki.

            Sutar memutuskan untuk segera pulang, dan melewati dua tempat pembuangan sampah lagi. Ia menambah isi gerobaknya dengan limbah yang telah dipilih, lalu mendorong gerobaknya menuju rumah Aki. Di depan rumah Ibu Mimin, orang yang mempekerjakan Aki, ia melihat Aki sedang istirahat sambil merokok.

            “Ki …, dapat nasi kotak,” kata Sutar sambil mengangsurkan kantong plastiknya.

            “Sudahlah, kau makan saja. Aku sudah dikasih makan sama Bu Mimin. Kau dapat dari komplek rumah besar itu kan?”

            “Kenapa mereka membagi-bagikan nasi Ki?”

            “Ya …, untuk bagi-bagi rezeki.” Sutar mendorong lagi gerobaknya menuju rumah Aki. Ditaruhnya gerobak itu di belakang rumah dekat sampah-sampah yang belum disetor ke pengepul. Ia pulang sambil menenteng kantong plastiknya.

            “Mbak … dapat nasi kotak. Masih anget, lauknya ayam,” kata Sutar menyerahkan kantong plastiknya kepada Tarni.

            “Kau makan sajalah Tar, aku baru saja makan,” kata Mbak Tarni sambil menoleh ke arah lain karena ia menahan aliran air yang akan jatuh dari matanya. Sutar memakan nasi kotaknya. Ia melamunkan setumpuk kayu limbah yang akan dipakai untuk merenovasi rumahnya. Ia membayangkan rumah orang tuanya di desa yang menjadi bersih dan rapi karena telah diperbaiki dengan setumpuk kayu limbah yang ia lihat di belakang pos satpam komplek rumah besar itu. Sutar memakan rezekinya sambil tersenyum.

Sr. Maria Antonia SFS

Sukabumi

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 − four =