SONY DSC

SOSOK, JPIC OFM Indonesia__Sekarang ini, politik jender menjadi isyu utama dalam ruang-ruang publik dan politik. Secara normatif-etis semua menerima dan mengakui bahwa persoalan jender, khususnya diskriminasi atau ketidakadilan atas dasar jender, merupakan suatu cacat etis-moral dan juga kultural. Kesadaran akan cacat tersebut terus menulari banyak pihak yang peduli pada masalah sosial-kemanusiaan dan keadilan. Untuk menilik isyu ini, Gita Sang Surya membincangkannya dengan Ketua Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Justina Rostiawati, di Kantor DPP WKRI, Rawa Mangun, Jakarta Timur, Rabu (14/11).

 Bagaimana realitas kaum perempuan yang Anda alami dan temui?

Kalau saya ke daerah-daerah, dalam kapasitas saya sebagai ketua WKRI dan juga semasih sebagai sebagai Sekjend WKRI, yang paling terasa itu akses pendidikan. Di daerah-daerah itu, pendidikan memang masih tidak merata terutama di bagian Timur Indonesia. Kurangnya akses itu karena fasilitas, gedung sekolah, guru maupun (yang paling berat) budaya atau tradisi.

Saya melihat banyak budaya yang belum menghargai anak. Anak dijadikan aset. Misalnya, kalau sudah mulai besar, anak perempuan sudah harus membantu ibunya di rumah, kalau anak laki-laki harus ke ladang. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan untuk pendidikan dan juga bermain.

Kapasitas pendidikan ini berimbas pada perempuan. Perempuan, dengan dia tidak punya pendidikan, lalu keluarganya juga akan menjadi repot. Perempuan biasanya kalau sudah mulai akil balik – apalagi kalau di Flores  – kalau sudah bisa menenun akan dinikahkan. Semua  ini dampaknya pasti ke diri perempuan. Kurangnya akses pendidikan ini membuat perempuan terhambat dalam aktualisasi diri. Kemudian, kalau dia bekerja, pasti menjadi pekerja di tingkat yang paling rendah. Dengan demikian, upahnya juga rendah.

Secara politik apakah kaum perempuan mengalami keadilan?

Belakangan ini, kalau kita lihat di tahun 2000, ada peraturan soal kesetaraan jender. Tetapi berjalan lambat. Lalu, kalau kita masuk ke pendidikan, UU pendidikan itu memang kelihatannya sudah memberikan ruang dan akses kepada perempuan.  Tetapi, semakin tinggi pendidikan, perempuan semakin ketinggalan. Banyak yang drop out-nya antara SMP dan SMA.

Hal lain, kebijakan politik yang mendiskreditkan perempuan sampai sekarang kita perjuangkan adalah soal usia nikah. Di UU no.1 tahun 1974, usia nikah perempuan itu 16 tahun dan dalam UU anak, usia tersebut masih tergolong anak-anak. Nampak bahwa harmonisasi antara UU yang satu dengan UU yang lain tidak dilakukan oleh pemerintah.

Terhadap hal ini, yudicial review sudah diadakan dua kali dengan engle yang berbeda. Ini kelihatannya sudah mentok. Kami terus berdiskusi. Kelihatannya kementrian agama sudah mulai melihat itu. Karena di sini banyak pertentangan dari banyak tokoh agama. Nah, kalau kita mau bicara politik jender di sini soalnya.Tokoh agama dan pejabat publik yang laki-laki itu menggunakan kesempatan untuk bermain atau bermanuver. Kalau kita lihat, banyak di daerah terutama di pedesaan, banyak anak perempuan yang dinikahkan dengan tokoh agama. Dan orang tua tidak menyesal karena merasa anaknya menikah dengan seorang tokoh dalam masayarakat. Perempuan pun tidak berani melawan. Di sini karena faktor budaya, tradisi dan agama berkelindan.

Sekarang, ada UU yang mewajibkan 30 persen calon legislatif harus dari kalangan perempuan. Tentu ini hanya strategi. Di satu pihak, untuk mendorong supaya cepat menyeimbangkan partisipasi perempuan dalam ruang publik. Tetapi di lain pihak, kita harus mengejar ketertinggalan SDM perempuan. Selama ini tidak dilakukan percobaan ke arah kapasitas perempuan yang memadai.

Saya melihat ada kesengajaan dari pihak-pihak tertentu, terutama di partai-partai, terkesan hanya sekadar memenuhi kuota tanpa mempertibambangkan kapasitas mereka. Hal ini tentu merugikan perempuan, kalau tanpa diberi pembelaan jadinya dia nggak bisa apa-apa. Kalah dengan laki-laki. Politik praktis memang tidak kondisif untuk perempuan.

Dari pangalaman Anda selama ini, bagaimana kemelut ini diatasi?

Saya pernah lima tahun di KOMNAS perempuan. Saat itu, kami menggarap lembaga-lembaga agama dan tokoh agama untuk menyadarkan soal isu jender ini. Bahwa isu jender ini merupakan isu kita bersama terutama tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh dalam masyarakat. Kita masuk ke NU dan Muhammadiah, Katolik melalui KWI, Budha, Hindu, Protestan dan ke agama-agama lokal. Kami menggalangkan program yang kami sebut “Memecah Kebisuan”. Program tersebut intinya kita mendekati tokoh-tokoh agama dan lembaga-lembaga agama untuk menolong korban (perempuan-red) terutama korban kekerasan. Kekerasan dalam segala bentuknya. Tidak hanya fisik tetapi juga verbal, sampai dengan kekerasan seksual.

Biasanya korban perempuan itu, tidak berani menyuarakan pengalamannya terutama pengalaman yang dalam kaca mata banyak orang disebutnya “aib”. Maka kita minta bantuan kepada lembaga-lembaga agama atau tokoh agama supaya menolong perempuan seperti itu. Jangan malah dinistakan, disalahkan, dll.

Apa kritik Anda terhadap tokoh-tokoh agama soal politik jender?

Kalau untuk agama, saya sebetulnya merasa, agama apa pun itu ada penghormatan terhadap perempuan. Masalahnya sekarang adalah manusianya. Di mana-mana manusia yang memeluk agama itu, punya pikiran masing-masing, background masing-masing dan sistem pengetahuan masing-masing, pengalaman masing-masing dalam menginterpretasi Kitab Suci dan ajaran-ajaran agamanya. Dan interpretasi terhadap ajaran agama itu terkontaminasi oleh seluruh kondisi yang dialami. Pun perempuan, karena sudah berabad-abad, dari generasi ke genarasi bahwa perempuan itu harusnya patuh. Yang tidak patuh itu perempuan nakal. Yang boleh nakal itu laki-laki. Banyak contoh. Politik dipersepsikan sebagai wilayah kotor. Perempuan jangan masuk wilayah yang kotor itu. Padahal di sana yang punya kemampuan untuk itu juga perempuan.

Kritik terhadap pemerintah?

Saya melihat sebetulnya, belakangan ini, di bawah Pak Jokowi, ada banyak hal dilakukan. Meskipun kritiknya kenapa yang lebih banyak digenjot itu infrastruktur. Tetapi sebenarnya, infrastruktur sangat membantu perempuan terutama di desa-desa. Banyak hal di mana perempuan dimudahkan. Misalnya; untuk membawa sayur ke pasar. Ini yang saya temukan di Papua dan NTT. Karena belakangan saya ada di sana. Dan mereka sungguh berterima kasih. Artinya itu membantu. Swadaya listrik yangg dilakukan Pak Jonan, Menteri SDM, itu sangat membantu.

Yang lebih di perhatikan lagi, menurut saya, kebijakan-kebijakan tadi, perlu harmonisasi soal usia perkawinan, anak, usia kerja, hubungan ekonomi soal pajak yang membebani perempuan. Misalnya soal pajak: karena kalau perempuan bekerja tetap dianggap lajang. Misalnya saya dan suami saya kerja: saya pasti akan ditanggung oleh suami. Kalau anak-anak menjadi tanggungan suami, berarti pajak saya tinggi karena tidak punya tanggungan termasuk tunjangan.

Apa pesan Anda untuk pembaca GSS?

Saya mengambil pesan ayah saya. Dia selalu percaya bahwa pendidikan itu menjadi modal dasar. Kalau perempuan punya kesempatan sekolah dan seharusnya sekolah. Lalu perempuan itu harus mau bertanya dan mau menyuarakan apa yang dialami. Itu paling penting untuk perempuan. Itu artinya perempuan harus belajar dari kecil dan tidak boleh dilarang untuk bertanya. Dirinya sendiri harus menyadari situasi keterbelengguan itu. Bahwa perempuan itu punya hak untuk pendidikan. Karena pendidikan itu pintu masuk ke semua bidang kehidupan. Perempuan sendiri harus punya kemauan untuk mengemansipasi diri. Karena, kalau kita harapkan dari keluarga tetapi yang bersangkutan tidak mempunyai hati bahwa betul saya punya hak dan bisa melakukan sesuatu untuk diri saya tetap sama hasilnya. Jadi kita perlu menyadarkan para perempuan supaya berani bersuara untuk dirinya sendiri dan kaum perempuan. Jangan bisu!)***

 

Rian Safio

Alumnus STF Driyarkara-Jakarta

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here