jpicofmindonesia.com – Debat calon presiden putaran kedua tentang energi, pangan, infrastruktur, lingkungan hidup, dan sumber daya alam pada Minggu (17/02/2019) lalu, menyisakan sejumlah pertanyaan penting.
Salah satunya komitmen capres tentang keselamatan rakyat dan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kedua capres sama sekali tidak menyinggung, apalagi berdebat terkait persoalan krisis dan masalah di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Padahal, krisis dan masalah di pesisir dan pulau-pulau kecil itu begitu nyata, mulai ekspansi pertambangan dan migas, perkebunan sawit dan tebu, hutan tanaman industri (HTI), reklamasi pantai, dan pengembangan pariwisata berbasis industri.
Sejumlah LSM seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, JPIC-OFM (Justice, Peace and Integrity of Creation-Ordo Fratrum Minorum) Indonesia, KontraS, KoalisiRakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)dan Walhi NTT di kantor Jatam, Jakarta, pada Rabu (20/02/2019) mengkritisi debat capres tersebut.
Dalam konteks tambang, misalnya, JATAM menyebutkan terdapat 55 pulau kecil yang digempur industri pertambangan, mulai dari pulau Bangka di Sulawesi Utara, pulau Romang, Damar dan pulau Wetar di Maluku.
“Juga ada Pulau Gebe, Gee, Pakal dan Obi di Maluku Utara, pulau Bunyu di Kalimantan Utara, pulau Flores, Sumba, dan Timor serta Sabu Raijua di Nusa Tenggara Timur, serta pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia,” kata Alwiya Shahbanu dari Jatam.
Sedangkan AMAN Maluku Utara, menyoroti wilayah pesisir yang juga terdampak pertambangan, mulai dari Donggala, Morowali, Morowali Utara, dan Banggai di Sulawesi Tengah. Juga Halmahera Tengah, Halmahera Timur di Maluku Utara, pantai pulau Merah di Banyuwangi dan beberapa pesisir lainnya di Indonesia.
“Selain tambang, pulau-pulau kecil juga sedang dikepung perkebunan monokultur skala besar, seperti perkebunan sawit di Halmahera Selatan dan Halmahera Tengah, Maluku Utara; perkebunan tebu di Sumba Timur dan Perkebunan Kemiri di Bajawa, Flores di Nusa Tenggara Timur,” tutur Adlun Fikri.
Sementara JPIC-OFM menilai pertambangan justru jadi sektor utama bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di NTT. Padahal, mayoritas penduduk merupakan petani dan peternak daripada tambang yang merusak.
Dari 309 IUP yang ada di NTT, hampir seluruhnya berada di wilayah kelola dan produksi masyarakat. Padahal NTT sedang mengalami krisis pangan dan air yang merupakan kebutuhan dasar warga.
“Pemberian IUP mengabaikan daya dukung wilayah dan lingkungan NTT sebagai wilayah pesisir & pulau – pulau kecil. Hal ini tentu saja bertentangan dengan UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tegas Alsis Goa, Direktur JPIC-OFM.
Pertambangan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup tanpa tanggung jawab pemulihannya oleh perusahaan tambang.
Ada banyak lubang pasca tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi. Persoalan perizinan tambang yang sarat akan masalah dan pelanggaran, mulai dari tumpang tindih kawasan, masuk kawasan hutan lindung dan konservasi, tidak membayar pajak dan royalti, bahkan tidak memiliki NPWP.
“Contoh kasus potensi kerugian negara akibat aktivitas tambang di hutang lindung RTK 103/104 Reo Manggarai Timur sebesar Rp11,14 miliar. Moratorium tambang yang dilakukan oleh Viktor Laiskodat dengan SK No.359/KEP/HK/2018 tertanggal 14 November 2018, ibarat mengejar mimpi menabur badai,” sebut Alsis.
Moratorium pertambangan di NTT bukan berdasarkan fakta mayoritas masyarakat sebagai petani dan peternak, tetapi hanya berkutat pada evaluasi teknis administrasi finansial.
Fakta ini, tambah Alsis, diperkuat dengan tidak dilibatkannya partisipasi publik dalam mengawal proses moratorium serta penghentian dan penutupan pembangunan smelter di Kawasan Industri Bolok (KIB) Kupang oleh PT Gulf Mangan Group perusahaan mangan dari Perth, Australia.
Kepentingan Investor
Pengembangan industri pariwisata juga merampas ruang hidup masyarakat pesisir, seperti terjadi di wilayah pesisir pulau Sumba dan Flores, NTT yang sudah dikavling korporasi nasional dan transnasional.
Walhi NTT menilai proyek pembangunan pariwisata yang menggunakan skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) telah berdampak pada perampasan ruang hidup masyarakat pesisir.
Selain itu, proyek reklamasi di kawasan pesisir yang meningkat tajam dari 16 kawasan pada 2016 menjadi 42 kawasan pada 2018 juga tidak disinggung dalam debat capres.
“Padahal, kehadiran proyek reklamasi ini telah merusak ekosistem, merampas ruang hidup nelayan dan petambak garam, dan sebagian besar hanya untuk memenuhi kepentingan perluasan properti,” tegas Umbu Wulang, Direktur Walhi NTT.
Seluruh kehadiran investasi berbasis lahan ini juga tak luput dari persoalan kekerasan dan intimidasi, yang berujung pada konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia. Contohnya terjadi di pulau Romang, Maluku Utara dan Sumba Barat di NTT.
Di Pulau Romang, jelas Umbu Wulang, pelanggaran HAM begitu nyata, mulai dari praktik intimidasi oleh Brimob dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang, hingga hilangnya akses terhadap air bersih dan rasa aman bagi warga.
“Kegiatan pertambangan juga mengurangi hasil bumi masyarakat, seperti madu dan agar–agar yang menjadi komoditi utama. Selain itu, pelanggaran administratif dari prasyarat IPPKH juga terjadi. Hal ini tidak mendapatkan perhatian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” jelasnya.
Sementara di Sumba Barat, petani bernama Poro Duka tewas ditembak aparat kepolisian hanya karena menolak tanahnya dirampas untuk kepentingan pariwisata. Pola seperti ini, tandas Umbu Wulang, kerap kali dilakukan di daerah yang akan digunakan untuk keperluan investasi semata.
Penggunaan aparat keamanan lazim dilakukan ketika pemerintah daerah gagal berdialog dengan warga. Hal ini jelas menunjukkan bahwa negara mengabaikan kepentingan masyarakat di atas kepentingan investor.
Perhatian Serius
Sejumlah persoalan itu seharusnya mendapat perhatian serius dari kedua capres untuk mendorong penyelamatan pesisir dan pulau kecil dari seluruh kegiatan ekstraktif yang merugikan masyarakat setempat.
Ditambah lagi, kata Sekjen Kiara Susan Herawati, pulau-pulau kecil rentan terdampak perubahan iklim dan bencana alam. Selain itu, pulau kecil umumnya terbatas terhadap sumber air tawar, tetapi mempunyai sumberdaya hayati yang cenderung beragam dan melimpah.
“Pesisir dan pulau-pulau kecil ini memiliki banyak sumberdaya yang sesungguhnya mampu menunjang pembangunan dan kebutuhan pangan, baik untuk kebutuhan domestiknya, maupun skala nasional,” paparnya.
Keberadaan penduduk di pulau ini, tegas Susan, mampu berperan sebagai pelaku penting dalam mengakses sumberdaya alam, semisal distributor pangan yang berada di sekitar pulau-pulau kecil.
Dengan berbagai pemanfaatan seperti ikan-ikan karang, aspek pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan serta komponen-komponen yang memiliki potensi finansial bagi daerah yang, semuanya tertuju pada kemandirian masyarakat pulau kecil.
Apakah Pilpres dan Pemilu Legislatif pada April 2019 akan menyelesaikan krisis dan permasalah rakyat Indonesia termasuk NTT?
Dalam konteks NTT, kata Alsis Goa, Pemilu 2019 hanya akan melegalkan dinasti kekuasaan. Ini terlihat jelas dari para calon legislatif baik daerah maupun pusat adalah para keluarga dari mereka yang sekarang ini sedang berkuasa di NTT. Selain itu Pileg 2019 hanya akan menyediakan kesempatan bagi kembalinya kekuasaan pada para perusak lingkungan hidup.
“Terlihat jelas bahwa para caleg adalah mantan pejabat yang cukup lama memimpin NTT serta melahirkan banyak kebijakan yang merusak lingkungan. Mantan gubernur NTT Frans Lebu Raya, mantan bupati Manggarai Cristian Rotok, mantan bupati Manggarai Timur Yosep Tote dan lainnya adalah mereka yang terindikasi jelas, sangat royal memberikan IUP pada saat berkuasa,” pungkas Alsis.
www.mongabay.co.id