“Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Ritus Latin (Roma) sekaligus pemimpin Negara Vatican, Paus Fransiskus, mengadakan lawatan ke Semenanjung Arab, 3-5 Februari 2019. Paus yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu, tiba di Abu Dhabi pada Minggu (3/2/2019) dan disambut oleh putra mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan”
JPIC OFM Indonesia.com – Menurut catatan sejarah, sejak agama Islam bersemi di Semenanjung Arab lebih dari 14 abad silam, ini pertama kalinya seorang paus menginjakkan kaki di wilayah tersebut.
Adapun Paus Fransiskus melawati Semanjung Arab atas undangan putra mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan, untuk ikut serta dalam konferensi antaragama.
“Saya berterima kasih kepada sahabat dan yang terhormat Imam Besar Sheikh al-Tayyib dan mereka yang telah mengatur pertemuan ini atas kehendak dan keberanian untuk menegaskan bahwa iman kepada Tuhan menyatukan dan tidak memecah belah kita,” kata Paus Fransiskus dalam sebuah pesan video kepada warga UEA.
“Saya berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan ini untuk menulis, di tanah Anda, halaman baru dalam sejarah dialog antaragama bakal mengonfirmasi bahwa kita adalah saudara walaupun berbeda,” tambah Paus.
Sejenak Kembali ke “Sweet Memory” 800 Tahun Silam
Lawatan Paus yang memakai nama Santo Fransiskus Assisi sebagai nama kepausannya ke Semenanjung Arab seakan-akan memutarkan kembali jarum sejarah pada peristiwa monumental pada 800 tahun silam.
Pada 800 tahun silam itu, pada saat berlangsung Perang Salib, sekitar tahun1219, Santo Fransiskus Assisi mengadakan ‘misi perdamaian’ ke Mesir, tepatnya di kota Damieta. Awalnya tokoh yang oleh Majalah Time pada tahun 1994 dinobatkan sebagai tokoh yang paling berpengaruh pada milenium kedua dalam bidang religi bersama Marthin Luther itu, dicurigai sebagai mata-mata tentara Salib. Akan tetapi, karena tutur katanya yang halus dan sederhana, ia akhirnya diterima dengan baik oleh Sultan Malik al-Kamil, pemimpin perang pasukan Muslim.
Konon diceritakan bahwa Sultan al-Kamil begitu terkesan dengan kepribadian Fransiskus Assisi. Sang Sultan pun memberikan izin dan perlindungan khusus bagi Fransiskus untuk melakukan ziarah ke Tanah Suci. Sejak saat itulah, tepatnya pada 1219, para Fransiskan sudah berada di Tanah Suci. Fransiskus Assisi telah memulainya dengan damai dan sampai saat ini para Fransiskan pun tetap berada di sana dengan damai.
Lawatan Paus Fransiskus ke Semenanjung Arab, di tengah badai perang, penghancuran, terorisme, islamphobia, membangkitkan kembali kenangan akan Fransiskus Assisi, tokoh yang menjadi inspirasinya, tentang perdamaian dan hidup bersaudara dengan kaum Muslim.
Bersama Ahmed el-Tayeb Menandatangani “Human Fraternity”
Hari kedua (4/2-red) Paus asal Argentina itu di Semenanjung Arab berjumpa dengan Imam Besar Al-Azhar Ahmed el-Tayeb di Abu Dhabi dalam konferensi antar-agama. Perjumpaan dua sahabat itu, layaknya perjumpaan Santo Fransiskus dan Sultan Malik al-Kamil di Mesir 800 tahun silam, menghasil 12 kesepakatan dalam dokumen “Human Fraternity” yang mereka tanda tangani bersama di Abu Dhabi, Senin, 4/2/2019.
Adapun 12 poin dari kesepakatan itu, antara lain sebagai berikut: (1) Keyakinan bahwa ajaran asli agama-agama mendorong manusia untuk hidup bersama dengan damai, menghargai kemanusiaan, dan menghidupkan kembali kebijaksanaan, keadilan, dan cinta kasih;
(2). Kebebasan adalah hak setiap orang. Pluralisme dan keberagaman agama adalah kehendak dan karunia Allah;
(3) Keadilan yang berlandaskan kasih adalah jalan untuk hidup yang bermartabat;
(4) Budaya toleransi, penerimaan terhadap kelompok lain, dan kehidupan bersama dengan damai akan membantu mengatasi pelbagai masalah ekonomi, sosial, politik dan lingkungan;
(5) Dialog antar agama berarti bersama-sama mencari keutamaan moral tertinggi dan menghindari perdebatan tiada arti;
(6) Perlindungan terhadap tempat ibadah adalah tugas yang diemban oleh agama, nilai kemanusiaan, hukum, dan perjanjian internasional. Setiap serangan terhadap tempat ibadah adalah pelanggaran terhadap ajaran agama dan hukum internasional;
(7) Terorisme adalah tindakan tercela dan mengancam kemanusiaan. Terorisme bukan diakibatkan oleh agama, melainkan kesalahan interpretasi terhadap ajaran agama dan kebijakan yang mengakibatkan kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan. Stop dukungan pada terorisme secara finansial, penjualan senjata, dan justifikasi. Terorisme adalah tindakan terkutuk;
(8) Kewarganegaraan adalah wujud kesamaan hak dan kewajiban. Penggunaan kata “minoritas” harus ditolak karena bersifat diskriminatif, menimbulkan rasa terisolasi dan inferior bagi kelompok tertentu;
(9) Hubungan baik antara negara-negara Barat dan Timur harus dipertahankan. Dunia Barat dapat menemukan obat atas kekeringan spiritual akibat materialisme dari dunia Timur. Sebaliknya, dunia Timur dapat menemukan bantuan untuk bebas dari kelemahan, konflik, kemunduran pengetahuan, teknik, dan kebudayaan dari dunia Barat;
(10) Hak kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan berpolitik harus diakui. Segala bentuk eksploitasi seksual dengan alasan apapun harus dihentikan;
(11) Hak-hak mendasar bagi anak-anak untuk tumbuh dalam lingkungan keluarga yang baik, mendapat gizi yang memadai, pendidikan, dan dukungan adalah kewajiban bagi keluarga dan masyarakat. Semua bentuk pelecehan pada martabat dan hak anak-anak harus dilawan dan dihentikan.
(12) Perlindungan terhadap hak orang lanjut usia, mereka yang lemah, penyandang disabilitas, dan mereka yang tertindas adalah kewajiban agama dan sosial, maka harus dijamin dan dibela.
Oase bagi Umat Katolik di Semenanjung Arab
Kehadiran Paus Fransiskus di Semanjung Arab bagaikan oase yang memuaskan dahaga hampir sejuta umat Katolik di wilayah itu. Hidup dalam konflik yang berkepanjangan karena perang terasa menyesakkan bagi seluruh umat di Semenanjung Arab.
Mantan Uskup Agung Buenos Aires itu, dalam kesederhanaan tutur dan empatik lakunya, hadir memberikan harapan: perang adalah kejahatan yang harus diakhiri. Umat Katolik dan juga umat agama lain berhak untuk hidup dalam damai; merajut tali persaudaraan antar-umat beragama.
Dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin langsung oleh Paus pada 5 Februari di Stadion Zayed Sports City di Abu Dhabi, Ibu Kota Uni Emirat Arab (UEA), Paus membentangkan harapan itu.
“Tentunya tidak mudah bagi Anda tinggal jauh dari rumah, kehilangan kasih sayang orang-orang yang Anda cintai, dan mungkin juga merasakan ketidakpastian tentang masa depan. Tetapi Tuhan adalah setia dan tidak meninggalkan bangsanya, Tuhan berspesialisasi dalam melakukan hal-hal baru; dia bahkan dapat membuka jalan di padang pasir,” ujar Paus dalam misa yang dihadiri 130.000-an umat itu.
Sementara itu, sehari sebelumnya, Imam Besar dan Rektor Universitas Al Azhar, Kairo di Mesir, Ahmed Al-Tayeb menghimbau umat Islam di wilayah itu untuk merangkul umat Kristen.
“Muslim harus melindungi saudaranya umat Kristen. Saya dengan saudaraku dan sahabat Paus Fransiskus bekerja melindungi semua komunitas,” kata Imam Besar Al-Tayeb seperti dikutip dari Arab News.
Dr. Ahmed al-Tayeb, yang merupakan salah satu pemimpin Muslim terkemuka di dunia, menegaskan bahwa umat Kristen di Timur Tengah bukanlah warga minoritas melainkan warga masyarakat sebagaimana masyarakat lainnya.
“Anda adalah bagian dari masyarakat, Anda bukan minoritas,” kata Ahmed al-Tayeb dalam pidatonya.
Umat Kristen yang umumnya merupakan imigran yang mengadu nasib di Semenanjung Arab mengaku kehadiran Paus Fransiskus sebagai momen bersejarah dalam lembaran hidup mereka.
“Bagi saya sebagai seorang Kristen, ini adalah salah satu hari terpenting dalam hidup saya,” kata Thomas Tijo, 44 tahun, dari negara bagian Kerala, India selatan, yang tinggal di UEA dan melakukan perjalanan dengan bus pada dini hari untuk sampai ke stadion. “Kami berada jauh dari rumah dan ini seperti selimut yang nyaman,” kata nya.)***
Rian Safio (dari berbagai sumber)