Jpicofmindonesia.com – Dalam rangka peringatan hari air yang jatuh pada tanggal 22/03, Ekopastoral Fransiskan bekerjasama dengan Pemerintah Kecamatan Cibal Barat menggelar peringatan dengan cara istimewa yakni Animasi bersama tentang peran Air bagi kehidupan, Ibadat Ekologi, dan dilanjutkan dengan kegiatan konservasi (bioteknis dan biofisik) pada hari Jumaat, 08/03.
Kegiatan konservasi dilaksanakan di Desa Wae Codi, Cibal Barat pada 2 lokasi: Pong Toreng dan Wae Bahi. Konservasi dilakukan dengan penanaman ratusan anakan pohon seperti Manii, Gayam, Beringin, Ratung, Sita, Ara, serta beberapa jenis pohon buah-buahan.
Pemilihan Pong Toreng sebagai lokasi konservasi karena merupakan ruas jalan rawan longsor sementara itu Wae Bahi belakangan ini diketahui memiliki daya tarik dan keindahan yang layak dijadikan destinasi wisata sebagaimana disampaikan oleh Mikael Azedo Harwito, S.Stp, Sekretaris Camat Cibal Barat seperti dilansir RM 88.00 FM.
Kegiatan ini melibatkan Kepolisian Sektor Cibal, para kepala desa sekecamatan Cibal Barat, pendamping PKH Kecamatan Cibal Barat, dan Pemuda Pencinta Alam Cibal Barat.
Tanggungjawab Ekologis dan Potensi Wisata
Dalam kesempatan tersebut, Camat Cibal Barat, Karolus Amance menyatakan peringatan Hari Air Sedunia adalah bentuk keikutsertaan sebagai warga bumi yang punya tanggungjawab moral ekologis atas keberlanjutan sumber air bagi generasi mendatang dan demi menjaga keseimbangan ekosistem yang begitu indah dan telah dianugerahkan di wilayah kecamatannya.
“Ini adalah sebuah tugas bersama untuk menjaga dan mewariskan mata air yang sudah ada ini bagi generasi masa depan, karena kita pada saat ini sedang mewarisi mata air yang sama dari generasi sebelumnya,” ungkap Karolus
Karolus juga menyadari potensi wisata yang ada di kecamatannya dimana terdapat tiga aliran sungai yang menyatu membentuk air terjun yang luar biasa indahnya.
Selain sebagai objek wisata, tiga aliran sungai tersebut juga menjadi sumber irigasi pertanian di desa Wae Codi. Karena itu, di lokasi konservasi ditanam sejumlah vegetasi pohon yang direkomendasikan oleh Ekopastoral Fransiskan sebagai mitra.
Karolus berharap kegiatan ini meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan juga dapat mengembangkan potensi pariwisata di wilayah kecamatannya.
“Saya juga perlu sampaikan bahwa kedepannya, Pangkadari ini akan menjadi salah satu destinasi wisata di Cibal Barat karena itu kita akan mencoba melakukan sejumlah persiapan, penataan, pendesainan antara lain dengan kegiatan konservasi ini. Selain itu koordinasi dengan Ekopastoral sebagai mitra, para pemangku adat, masyarakat serta Dinas terkait dalam hal ini Dinas Pariwisata akan terus ditingkatkan,” jelas Karolus.
Kegiatan ini adalah salah satu agenda dari sekian rencana kerjasama Ekopastoral Fransiskan bersama Kecamatan Cibal Barat di bidang ekologi dan pertanian organik sepanjang tahun 2019 yang menyasar seluruh desa di Kecamatan Cibal Barat.
Iman Yang Merangkul Bumi
Sementara itu Pimpinan Ekopastoral Fransiskan, Sdr. Andre Bisa, OFM, menegaskan pesan utama dari perayaan Hari Air dalam terang iman.
Menurutnya iman yang didoakan dan dihayati mestinya ikut serta merangkul bumi. Hal ini disampaikannya dalam renungan ibadat ekologis sebelum kegiatan konservasi dimulai.
“Setiap kali kita berdoa dengan berkata “di atas bumi seperti di dalam surga” sesungguhnya mau menegaskan bahwa surga dan bumi itu tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain, bahwa tiada surga tanpa bumi. Maka, selagi masih hidup di bumi kita tidak sekadar memijaki bumi tetapi sekaligus kita tatap langit sambil berharap mendapat tempat istimewa di atas sana untuk memandang semesta secara utuh dan menyeluruh di akhir hidup,” jelasnya.
Karena itu, Fransiskan asal Lembata berharap agar setiap orang beriman perlu menempuh tiga Jalan Kesalehan menuju Harmoni Kosmis yang tidak sekedar dimiliki tetapi sekaligus dijalankan.
Tiga jalan kesalehan ini adalah Kesalehan Religius, Kesalehan Sosial, dan Kesalehan Ekologis.
“Tatkala tiga jalan kesalehan ini dijalankan, maka keselamatan, meski bersifat eskatologis (akhirat) sudah dapat dirasakan di sini, di atas bumi ini. Jika tidak demikian, maka harapan akan keselamatan eskatologis tidak memiliki akarnya yang kokoh di atas bumi dan di bawah bumi ini,” tegasnya.
“Kita perlu belajar dari Saudara Pohon. Sambil berjalan, sesekali kita pandangi keutamaan Saudara Pohon. Pohon hanya bisa menjangkau langit, kalau akarnya menyusup ke dalam tanah, dari atas bumi ke bawah bumi. Seperti itulah keselamatan, akan melangit bila akarnya merambah bumi. Karenanya, keselamatan itu sesungguhnya sebuah perjalanan yang dimulai di bumi dan berpuncak di langit (surga). Sehingga Surga tanpa bumi sama saja dengan garis finish tanpa start. Menyembah Takhta Sang Maha di langit tapi abai merawat jejak Sang Maha di bumi laksana layang-layang tanpa tali,” tutupnya. (red)
Charlest, OFM