Plang Milik PT. IDK di lokasi tambak Garam Weoe

Jpicofmindonesia.com – Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) OFM mengecam langkah pemerintah di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang melapor beberapa aktivis karena mengkritik perusakan mangrove di pesisir selatan Pulau Timur.

Tiga aktivis itu, Roy Tei Seran, Emanuel Bria dan Mali Benyamin Michael dilaporkan ke Polres Belu pada Senin, 18 Maret karena dituding telah melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Malaka, Stef Bria Seran.

Masalah itu dipicu oleh polemik investasi garam oleh PT Inti Daya Kencana (IDK) di Kabupaten Malaka, yang menurut para aktivis yang tergabung dalam Forum Peduli Mangrove Malaka (FPMM), merusak mangrove dan ekosistem laut.

FPMM juga menyatakan, termasuk dalam unggahan di media sosial Facebook, bahwa Bupati Malaka berbohong karena mengklaim “pengrusakan mangrove dan biota laut dalam investasi garam oleh PT IDK adalah informasi yang tidak benar”.

Baca Juga: WALHI NTT Tolak Kaji Amdal PT. IDK

Padahal, menurut mereka, ratusan hektar mangrove telah dibabat hingga ke bibir pantai.

Pastor Alsis Goa Wonga, direktur JPIC-OFM menyebut laporan Pemda Malaka itu adalah “bagian dari pembungkaman hak kritis masyarakat yang menuntut transparansi penyelenggaraan Pemda atas industri garam dan perusakan mangrove yang dilakukan PT IDK.”

Ia pun menuding perusahan tersebut diduga kuat dibekingi oleh oknum Pemda Malaka.

“Kalau (laporan Pemda itu) dilanjutkan prosesnya, maka ini adalah bentuk kriminalisasi yang amat jahat terhadap pejuang lingkungan hidup,” katanya kepada UCAN Indonesia.

Pastor Alsis juga mengkritisi subyek pelapor yang adalah Pemkab Malaka.

“Bagaimana pemerintah bisa menjadi pelapor? Definisi pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan bersama DPRD. Jadi, jika pemerintah yang lapor, harusnya bupati dan DPRD,” katanya.

Atau, kata dia, harusnya bupati sendiri yang melapor, karena terkait delik pencemaran nama baik dan bukannya orang lain.

Ia pun meminta para aktivis untuk tidak gentar.“Jangan takut berhadapan dengan fobia berlebihan dari para pelapor,” katanya.

Ia menjelaskan, sejak awal mengadvokasi kasus ini, JPIC-OFM mendesak agar aktivitas perusahan ditutup secara permanen dan mangrove yang hancur dipulihkan.

Selain itu, kata dia, pihak-pihak yang turut dan terlibat dalam aktivitas penghancuran mangrove dan ruang hidup masyarakat mesti diproses hukum.

Yulianus Bria Nahak, pengacara yang membela para aktivis sepakat bahwa laporan itu adalah bentuk kriminalisasi.

Ia mengatakan, harusnya laporan itu tidak diproses karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Bekerja sama dengan FPMM, JPIC-OFM telah menyuarakan kasus ini kepada DPR RI, yang kemudian membuat Komisi VII menggelar rapat khusus pada 6 Maret lalu dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Beberapa hari kemudian, lembaga yang sudah lama terlibat dalam advokasi hak-hak masyarakat kecil dan lingkungan itu bergabung bersama FPMM dalam rapat di Kantor Staf Presiden membahas masalah ini, yang disusul rapat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada 13 Maret.

Dalam rapat yang terakhir ini, pewakilan dari PT IDK dan Pemda Malaka hadir, kecuali Bupati Malaka yang absen, meski diundang secara khusus.

PT IDK telah melakukan aktivitas tanpa adanya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Para aktivis juga sudah menempuh langkah hukum dengan melaporkan kasus ini ke penegak hukum. Kini proses pidana sedang berjalan di bawah komando Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK bekerja sama dengan polisi dan jaksa.

Pihak PT IDK mengklaim saat ini proses pengurusan Amdal sedang dilakukan.

Namun, menurut para aktivis, lokasi pembabatan hutan mangrove tidak termasuk di area cakupan dokumen Amdal yang sedang diproses itu.

Dalam wawancara sebelumnya, Jefri Bria, salah seorang warga lokal mengatakan, luas mangrove yang dibabat sekitar 200 hektar. Ia menyebut, mangrove itu “telah dijaga bertahun-tahun oleh masyarakat.”

Ia menjelaskan, perlawanan, termasuk oleh tokoh-tokoh adat sudah dillakukan sejak perusahan itu hadir pada 2017.

“Kami heran kenapa bisa beroperasi, tapi tidak memiliki izin, termasuk dokumen Amdal,” katanya.

Emanuel Bria, kordinator FPMM, juga salah satu aktivis yang dilaporkan Pemda Malaka menyatakan, daerah seperti Malaka memang perlu dibangun.

“Namun hal-hal mendasar terkait aturan, baik yang tertulis, dalam hal ini aturan negara maupun aturan adat jangan ditabrak karena aturan dan nilai-nilai kearifan lokal inilah yang terbukti selama ribuan tahun menjadi rambu-rambu bersama dalam mengelola kehidupan masyarakat,” katanya.

UCANEWS Indonesia

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

one × 1 =