Lucius Karus, peneliti FORMAPPI di Kantornya di Matraman. (Foto: kompas.com)

Oleh: Lucius Karus

Peneliti FORMAPPI

“Dari proses-proses yang sudah dan masih akan berjalan, nampak bagaimana keadilan dan kejujuran masih merupakan ikhtiar yang sulit terwujud.”

Jakarta, JPICOFMIndonesia.comPemilu 2019 memiliki makna penting dalam sejarah kepemiluan di Indonesia karena untuk pertama kalinya pemilu diselenggarakan secara serentak. Berbeda dari pemilu-pemilu terdahulu, pemilu legislatif biasanya diadakan beberapa bulan sebelum pemilihan presiden dan wakil presi den.

Kali ini semuanya dilangsungkan pada saat bersamaan yakni pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dengan demikian akan terdapat 5 kertas suara yang harus disiapkan untuk masing-masing kategori tersebut. Sebagai sebuah praktek yang baru, tentu saja, ada banyak hal baru pada Pemilu 2019 ini.

Hal-hal tersebut turut serta mempengaruhi dinamika persiapan pemilu sebagaimana kita rasakan sepanjang pelaksanaan kampanye saat ini. Penyelenggaraan pemilu serentak mengakibatkan Pemilu 2019 menjadi pemilu yang kompleks.

Kompleksitas Pemilu 2019 terkait beberapa hal yakni: pertama, tumpang tindihnya pemilu untuk memilih pemimpin eksekutif dan anggota legislatif. Kedua, tumpang tindih antara pemilu tingkat nasional dan daerah (pusat dan lokal). Tumpang tindih itu berimplikasi pada kesulitan pada peserta pemilu (partai politik) dan calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif (DPR, DPRD, dan DPD).

Kesulitan yang paling terasa muncul pada tahapan pelaksanaan kampanye. Seorang caleg harus membagi waktu dan materi kampanyenya untuk mengampanyekan parpolnya, capres-cawapres, dan dirinya sendiri. Dengan begitu, campur baur materi kampanye antara visi, misi, dan program yang diusung capres-cawapres, visi-misi parpol, dan juga janji-janji caleg secara pribadi.

Bagi calon anggota DPRD, kompleksitas itu kian terasa karena selain harus mengampanyekan partai serta capres-cawapresnya, ia juga mesti menyesuaikan visi-misi tersebut sesuai konteks daerahnya masing-masing. Isu-isu eksekutif berbaur dengan isu-isu khas legislatif. Kompleksitas pemilu tersebut cenderung membingungkan, tidak saja bagi para peserta pemilu, tetapi juga bagi masyarakat pemilih.

Bagi peserta pemilu (parpol dan caleg-calegnya, capres dan cawapres) kebingungan nampak pada ketaksiapan mereka baik terkait figur maupun isu-isu substantif seperti visi, misi, dan program. Kebingungan tersebut mendorong munculnya figur-figur yang tak berkualitas dan berintegritas. Lihat saja bagaimana 16 parpol peserta Pemilu 2019 hampir semuanya gagal menyiapkan caleg sesuai dengan kuota kursi yang diperebutkan untuk DPR.

FORMAPPI menemukan hanya empat partai yang mampu menyediakan caleg sesuai dengan kuota kursi DPR yang berjumlah 575 kursi. Keempat partai itu adalah PKB, Gerindra, Nasdem, dan PSI. Partai-partai lain tak memenuhi kuota tersebut bahkan 4 partai tak mampu menyediakan caleg hingga 500 orang (Berkarya, Garuda, PBB, dan Hanura).

Kondisi ini jelas memperlihatkan kegagapan parpol dalam menghadapi pemilu. Jika untuk urusan jumlah saja mereka gagal, apalagi soal kualitas dan integritas. Dari aspek integritas terlihat ada banyak caleg yang bermasalah secara etis tetapi tetap diikutsertakan oleh parpol demi memenuhi kuota. Masalah-masalah itu misalnya terkait masih adanya mantan narapidana koruptor yang diusung menjadi caleg. Yang lainnya terkait dengan ketertutupan data profil caleg.

FORMAPPI mencatat dari 7991 caleg yang diusung 16 parpol peserta pemilu nasional, terdapat 44% di antaranya yang tak bersedia membuka profil dirinya melalui website KPU. Ini hanya urusan remeh temeh, tetapi se sungguhnya menjadi jendela untuk membaca kualitas dan integritas caleg-caleg yang diusung parpol. Apalagi terdapat 1 partai yakni Partai Demokrat yang secara kompak menyembunyikan data diri caleg-caleg mereka.

Pertanyaannya: bagaimana caleg-caleg tersebut bisa dikenal publik jika untuk urusan profil diri sendiri saja mereka tak mau diketahui publik? Bagaimana orang-orang ini akan dipilih publik, jika mereka sendiri tak mau dikenal publik? Atau bisa jadi ketertutupan data profil ini memang disengaja untuk menyembunyikan cacat integritas mereka.

Kebingungan terkait pemilu presiden dan wakil presiden juga sudah sejak awal muncul. Pengaturan yang nampak tidak adil terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dengan pemberlakuan ambang batas yang mengacu pada hasil Pemilu 2014. Padahal, parpol peserta Pemilu 2014 dan 2019 jelas-jelas berbeda.

Dengan memakai takaran hasil Pemilu 2014, pencalonan Pilpres 2019 pun dengan sengaja mengabaikan keberadaan partai-partai baru. Ditambah lagi dengan ambang batas pencalonan yang tinggi (20 persen kursi dan/atau 25 persen suara). Hasilnya hanya ada dua pasangan calon yang diusung untuk berkontestasi pada Pemilu 2019.

Kedua capres yang bertarung merupakan kontestan lama yang sudah pernah bertarung pada Pilpres 2014 lalu. Hal ini jelas mengabaikan kesempatan munculnya banyak figur lain untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres. Pemilih pun terpaksa harus memilih dari dua pilihan yang sangat terbatas itu. Harapan akan kehadiran figur-figur baru yang membawa kesegaran bagi kehidupan demokrasi pun menjadi harapan yang hampa.

Bagi pemilih, kompleksitas Pemilu 2019 jelas melelahkan. Proses pemilu yang lama mengakibatkan banyak waktu dan energi yang terbuang. Belum lagi hak untuk memilih figur yang berkualitas tak serta merta bisa dilakukan de ngan mudah karena ada begitu banyak kontestan yang harus diketahui sebelum memberikan pilihan. Sumber informasi handal yang menjadi acuan untuk mengenal para kandidat sangat terbatas. Ada banyak informasi yang beredar tetapi tak semua informasi itu kredibel.

Para petarung sendiri tak cukup punya inisiatif untuk menyajikan informasi utuh tentang dirinya. Kalaupun ada, informasi itu lebih nampak sebagai jargon kampanye ketimbang sebuah informasi jujur mengenai dirinya dan juga janji-janji yang ingin dia perjuangkan jika terpilih menjadi wakil rakyat atau presiden dan wakil presiden.

Dampak paling mengkhawatirkan saat ini adalah ancaman perpecahan di tengah masyarakat bahkan di tengah keluarga karena sentimen-sentimen yang ditebarkan oleh para kandidat. Penggunaan sentimen-sentimen seperti isu primordial, maupun sentimen-sentimen keluarga menyembunyikan misi pemilu sesungguhnya untuk memilih kandidat yang mampu dan berintegritas.

Sentimen-sentimen itu adalah jalan pintas bagi para peserta pemilu untuk meraih simpati pemilih tanpa memperhitungkan dampak negatif yang muncul. Dari proses-proses yang sudah dan masih akan berjalan itu nampak bagaimana keadilan dan kejujuran masih merupakan ikhtiar yang sulit terwujud.

Persiapan yang tak maksimal dari parpol untuk pileg membuka peluang bagi praktik-praktik curang. Apalagi isu pileg saat ini nyaris tenggelam di tengah keasyikan membela dan menyerang pasangan capres dan cawapres. Situasi tersebut menjadi surga bagi para kandidat untuk menghalalkan segala cara demi meraih suara.

Lemahnya kontrol publik menjadi celah untuk menggunakan strategi curang seperti money politics dan kampanye hitam lainnya. Praktek yang tidak adil pada pilpres juga sudah sejak awal terjadi. Mulai dari rekayasa UU Pemilu demi mengurangi pesaing hingga drama penentuan figur cawapres yang dilakukan secara tertutup oleh parpol-parpol pendukung.

Selain ketidakadilan, ketidakjujuran juga nampak dalam aneka rekayasa informasi yang menyesatkan hingga mengancam keutuhan NKRI. Praktik ketidakjujuran mengelola informasi dilakukan secara terstruktur oleh pihak tertentu, sesuatu yang sesungguhnya melecehkan keberadaan pemilih. Di tengah itu semua, publik atau pemilih diharapkan akan berpartisipasi menggunakan hak pilih mereka dalam menentukan wakil rakyat dan kepala pemerintahan. Pemilih dituntut untuk menemukan sendiri acuan untuk memilih figur yang berkualitas dan berintegritas.)***

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

eighteen + ten =