Salah satu lokasi tambak garam yang sudah dibuka oleh PT. IDK di perbatasan Badarai dan Wewiku

Jpicofmindonesia.com – Polemik investasi garam di Kabupaten Malaka, NTT terus berlanjut. Masyarakat adat lingkar lokasi tambak garam kembali menegaskan sikapnya menolak kehadiran tambak garam yg merusak berbagai hal, yang langsung bersentuhan dengan keberlanjutan hidup mereka.

Alasan Penolakan

Tim Advokasi lapangan menjumpai sejumlah masyarakat di lokasi untuk menggali alasan penolakan di balik polemik investasi ini, pada Rabu 20 Maret 2019.

“Kami tolak tambak garam. PT IDK telah membabat habis ratusan ha hutan mangrove”, tegas Ba’i Wilbrodus Klau, seorang warga desa Badarai, kecamatan Wiweku. Dampaknya, udara makin panas, sapi dan babi kami banyak yg mati,” lanjutnya.

Sorang warga lain juga mengatakan bahwa sejak kehadiran PT IDK, hujan makin jarang. Petani sawah hampir 2 tahun ini gagal panen.

“Sawah kami langsung berbatasan dengan tambak garam. Bahkan sebagian lahan sawah kami telah diambil alih PT IDK. Sudah 2 tahun petani sawah gagal panen”, tutur Yance Klau, warga desa Rabasa, yg sebagian hutan mangrovenya telah diratakan.

Bagi masyarakat pesisir pantai, laut dan pantai adalah sumber kehidupan. Merusak pesisir pantai, berarti menghilangkan seluruh sumber hidup mereka.

“Selama ini hidup kami tergantung pada laut dan pesisir pantai. Keberlanjutan hidup kami ada di laut,” kata, salah satu petani garam tradisional di desa Badarai.

“Kami bisa dapat sedikit ikan dan udang untuk makan dan jual di pasar. Kami juga bikin garam tradisional. Sehari bisa dapat 30-50 kg. Lalu kami jual di pasar. Ada yang sudah jadi doktor dan profesor hasil dari garam tradisional. Kalau semua lokasi dijadikan tambak garam, lalu dari mana kami hidup? Tanya Elisabeth Bano, salah satu petani garam tradisonal, di desa Badarai.

Baca Juga: JPIC OFM Indonesia Bela Aktivis yang Dilapor Karena Melawan Perusakan Manggrove

Penolakan tambak garam memang berdampak langsung pada mata pencarian masyarakat setempat. Di lain pihak, seluruh proses kehadiran perusahaan tambak garam, PT IDK yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat tidak jelas.

“Kami bukan tidak mendukung rencana pembangunan dari pemerintah. Itu tdk benar. Kami justru sangat mendukung, bahkan pernah mengusulkan mekanisme kerja sama antara masyarakat dan PT IDK”, kata YL, salah satu tokoh masyarakat Desa Badarai.

“Kami bahkan pernah menulis surat pernyataan dan tawaran kerja sama, tapi sampai hari ini tidak pernah direspon perusahaan. Bagaimana dengan produksi garam tradisional yang selama ini sudah menghidupi kami? Bagaimana dengan hak-hak kami atas tanah? Semua itu tidak pernah dijawab secara jelas oleh perusahaan. Dalam ketidakjelasan itu, mereka justru datang dan langsung membabat ratusan ha mangrove”, tegasnya.

Prosedur Yang Cacat

Sementara itu, masyarakat juga mempertanyakan prosedur kehadiran dan aktivitas IDK.

“Kami tolak karena perusahaan ini ilegal. Belum ada AMDAL dan izin lingkungan, tapi perusahaan sudah menggarap ratusan ha lahan. PT IDK ini ada izin atau tidak? Kalau ada, siapa yang keluarkan? Ada tidak AMDAL-nya? Demikian pernyataan Daniel Yos Bria, Fukun La’e Tua Dibili Babira.

“Semua itu gelap gulita. Semua pihak terkesan bela perusahaan, tapi tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat dokumen legal terkait kehadiran PT IDK. Kami mencium aroma yang tidak sedap. Karena itu, sebagai Fukun, saya tolak investasi garam yang tidak jelas ini”, tegasnya.

PT IDK telah beraktivitas sejak 2017 dengan menggusur lahan, termasuk sekitar 200 hektar mangrove, meski tanpa mengantongi izin lokasi dan dokumen Amdal.

Perusahan itu mengklaim bahwa mereka sedang mengurus dokumen perizinan, termasuk Amdal. Namun, area mangrove yang sudah digusur tidak masuk dalam wilayah cakupan izin yang sedang diproses itu.

Kasus ini telah dilaporkan penegak hukum dan sedang diproses di bahwa komando Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang bekerja sama dengan polisi dan jaksa.

DPR RI juga telah merespon suara protes masyarakat, di mana pada 6 Maret lalu, Komisi VII menggelar rapat khusus terkait kasus ini dengan melibatkan KLHK dan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Di samping itu, Kantor Staf Presiden juga menyikapi suara protes masyarakat dengan menggelar rapat khusus yang melibatan Forum Peduli Mangrove Malaka (FPMM), Komisi JPIC-OFM dan beberapa elemen lain.

Pertemuan lainnya juga digelar di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada 13 Maret. Dalam rapat ini, pewakilan dari PT IDK dan Pemda Malaka hadir, kecuali Bupati Malaka yang absen, meski diundang secara khusus.

Kontributor: ARL/ Floresa

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 − 12 =