Oleh: Sdr. Joan Udu, OFM

JPICOFMIndonesia.comApakah hakikat pemilu? Model kontestasi politik elektoral seperti apa yang mesti kita bangun untuk semakin mengukuhkan semangat kebangsaan?

Ruang-ruang sosial kita hari-hari ini diriuhkan oleh sengitnya kontestasi politik elektoral menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) serta pemilihan anggota legislatif (pileg). Namun, menurut jajak pendapat Kompas (1/10/2018) yang dilakukan pada akhir September 2018, setelah dideklarasikannya komitmen kampanye damai pada Minggu, 23/09/2018, terekam bahwa pilpres jadi ajang kontestasi politik yang lebih banyak menyita perhatian publik ketimbang pileg.

Mayoritas responden (72,2 persen) mengaku lebih tertarik mengikuti perkembangan dan pemberitaan tentang pilpres dibandingkan dengan pileg. Hasil jajak pendapat ini menjadi potret bahwa dinamika persaingan politik pada pilpres lebih mengundang aten si dan keterlibatan publik dibandingkan dengan dinamika pileg.

Hal ini tentu tidak terlepas dari kedua sosok calon presiden yang sebelumnya berkontestasi pada Pemilu 2014 kembali bertemu pada pilpres tahun ini. Karena itu, sorotan dan perhatian publik terkait dengan pemilu dominan soal pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Kebangkitan Ruang Publik Politik (?)

Tingginya antusiasme publik terhadap pilpres tahun ini barangkali bisa dibaca sebagai pratanda bangkitnya apa yang disebut filsuf politik Jerman, Jurgen Habermas, sebagai “ruang publik politik”. Kehadiran media sosial semakin mewadahi gejala itu. Dalam media sosial, orang menemukan ruang yang luas untuk mengutarakan kata hati serta gagasan apa saja, termasuk menyatakan preferensi politiknya.

Media sosial bahkan sangat efek tif dijadikan instrumen politik elektoral, di mana orang dengan mudah dan leluasa mangampanyekan keunggulan pasangan calon pilihannya sambil pelanpelan memengaruhi preferensi politik masyarakat. Sampai pada titik ini, media sosial terlihat sangat mendukung upaya demokratisasi.

Namun, jika berkaca pada fakta selama ini, media sosial tak ubahnya pedang bermata dua yang menghunus berkat dan laknat bersamaan. Selain menjadi wadah kampanye positif, terbukti media sosial juga menjadi wadah ampuh untuk kampanye negatif. Para pendukung pragmatis dengan leluasa menebarkan hoaks untuk menyerang pasangan calon lawan atau yang tidak dipilihnya.

Baca Juga: Pemilu Jujur dan Adil

Kampanye hitam yang cenderung berbasis fitnah sengaja diproduksi untuk memberikan citra buruk kepada sosok yang diserang. Tak pelak, manipulasi, caci maki, hujat-menghujat, dan berita bohong berseliweran di media sosial. Kebebasan yang dimungkinkan oleh demokrasi membuat orang ingin hidup sebebas-bebasnya, bahkan sampai menabrak batas-batas moral politik. Berhenti pada titik ini, media sosial membawa laknat bagi proses demokratisasi di republik ini.

Media sosial memungkinkan praksis demokrasi kita bergerak ke arah anarkis. Hal ini diper keruh oleh rusaknya sistem berpikir elite politik yang melihat kontestasi politik hanya sebagai urusan menang-kalah. Dan persis di sini ada masalah, sebab esensi politik yang sesungguhnya adalah menciptakan kemaslahatan umum, bukan sekadar ajang pertarungan kepentingan untuk berkuasa.

Baca Juga: JPIC OFM: Pemilu 2019 Melegalkan Dinasti Kekuasaan dan Melanggengkan Krisis Ekologis

Rusaknya sistem berpikir ini berimplikasi pada melorotnya mutu praksis demokrasi kita. Ketika kepentingan sudah terlampau kuat, maka segala pertimbangan dan keputusan politik akan dikalkulasi dari perspektif untung-rugi, menang-kalah. Orang akan melakukan apa saja, bahkan yang tak halal sekalipun, untuk mengejar kepentingannya.

Hal ini sangat tampak dalam dinamika kampanye hari-hari ini, yang cenderung menghasut, menebar kebencian, dan memancing permusuhan horizontal di tengah masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kebangkitan “ruang publik politik” tidak diimbangi dengan penguatan basis etis dan keteladanan para elite politik. Ini yang membuat praksis demokrasi kita semakin anarkis.

Demokrasi Anarkis

Kemungkinan demokrasi jatuh pada kecenderungan anarkis sudah dibaca Platon, seorang filsuf Yunani kuno, berabad-abad yang lalu (400 SM). Dalam Politeia/The Republic, buku VIII, 558a, Platon secara gamblang menyebut demokrasi sebagai rezim anarkis karena inti rezim ini adalah mencari pemenuhan hasrat-nafsu (epithumia) yang bebas tanpa ingin dibatasi.

Rezim ini sulit membuka ruang bagi usaha pencarian kebaikan bersama (bonum commune) sebab setiap individu dan kelompok dikondisikan untuk mencari sendiri-sendiri apa yang ia sukai atau apa yang menjadi preferensinya. Masing-masing mencari keinginan partikularnya yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan yang lain. Sulit ditemukan prinsip penyatu yang bisa menjadi pegangan bersama.

Untuk itu, dalam bukunya yang berjudul Hatred of Democracy, Jacques Ranciere, filsuf kontemporer dari Prancis, menguraikan kemungkinan lain dari demokrasi, “The evils of which our ‘democracies’ suffer are primarly evils related to the insatiable appetite of oligarchs”. Bahwa hal terburuk yang diderita demokrasi kita adalah terutama kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan nafsu tak terpuaskan para oligark.

Praksis politik kita hari-hari ini persis terjerembab dalam hal terburuk itu. Demokrasi sebagai sebuah proses elektoral untuk menjamin terjadinya estafet kepemimpinan bangsa jatuh di tangan para pemburu rente, yang hanya menjadikan demokrasi sebagai “pasar bebas” untuk mengakses peluang keuntungan sebesar-besarnya. Politik menjadi trik yang terus-menerus melahirkan intrik, dengan cirinya yang tidak hanya mencemaskan, tetapi juga mengekalkan “keterbelahan sosial” dalam masyarakat.

Maka, bisa dipastikan, pilpres tahun ini akan mengulang atau bahkan memperparah keterbelahan sosial yang terjadi pada tahun 2014 silam, apalagi militansi dan loyalitas pendukung kedua capres relatif masih terjaga sampai kini. Lantas, pertanyaannya, apa urgensi dan signifikansi pemilu jika pada kenyataannya momentum itu hanya membuat kita terpecah-pecah sebagai satu bangsa?

Hakikat Pemilu

Pemilu sebagai bagian integral dari proses demokrasi elektoral seharusnya tidak diinterpretasi sebagai semata-mata jalan untuk mencapai kemenangan atau kekuasaan. Pemilu terutama harus dimengerti sebagai pendidikan kolektif tentang politik, di mana di dalamnya ada nilai-nilai luhur yang kita perjuangkan bersama sebagai cerminan keadaban bangsa ini. Untuk itu, narasi dan strategi politik yang dibangun seyogianya tetap memperhatikan pedoman-pedoman etis dan semangat kebangsaan. Perbedaan pilihan politik tentu dihargai sebab itu dimungkinkan oleh UUD 1945, tetapi di atas semua itu, ada kerangka besar yang menyatukan kita, yaitu ke-Indonesia-an.

Dalam kerangka itu, kita dituntut untuk lebih dewasa dalam berpolitik. Momentum kampanye harus menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang bermutu untuk kebaikan dan kemajuan bangsa ini ke depan, bukan ajang mengejar hasrat-nafsu (epithumia) individu atau partai politik. Hanya disayangkan bahwa adu argumentasi semacam itu kurang terdengar gaungnya dalam masa kampanye selama ini. Padahal, hakikat pemilu adalah seperti itu, soal bagaimana kedua kubu menawarkan argumentasi dan konsep pembangunan kepada publik untuk kemajuan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Hal ini penting supaya proses demokrasi elektoral kita lebih bermutu dan bermartabat.

Kampanye yang dihiasi aksi saling sikut, saling hasut, dan saling ancam hanya akan merusak stabilitas demokrasi, serta de facto menarik kita mundur jauh ke belakang, yaitu pada kondisi pra-politis Hobbesian, ketika manusia lebih suka memangsa satu sama lain. Para elite politik harus punya pikiran luas bahwa pemilu digelar untuk sebuah visi yang lebih besar, ya itu mewujudkan kebaikan dan kemajuan bangsa tercinta ini.

Maka, para elite parpol dan tim kampanye diharapkan mampu memanfaatkan media-media kampanye, terutama media sosial, sebagai sarana untuk menyebarkan konten positif untuk tetap menjaga persatuan bangsa.

Para elite politik mesti mampu memberikan keteladanan dan pendidikan politik yang mencerdaskan kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat dapat memilih pemimpin dengan hati yang bening dan pikiran yang jernih, yang betul-betul sesuai dengan preferensi politik mereka. Hal ini harus diperhatikan dengan serius sebab memilih pemimpin bangsa adalah suatu momen krusial yang menentukan nasib bangsa ini ke depan. Salah memilih pemimpin dapat menyeret bangsa ini pada keterserakan dan kehancuran total. Untuk itu, sekali lagi, rakyat mesti dibekali pendidikan politik yang memadai dan mencerdaskan agar mereka betul-betul siap menghadapi pemilu pada 17 April 2019 mendatang.

Memilih Negarawan

Lantas, sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan bangsa ini ke depan? Pertanyaan ini perlu dilontarkan, agar dalam menghadapi pemilu, kita tidak hanya siap secara mental, tetapi juga secara konseptual, perihal gagasan atau konsep kepemimpinan ideal yang perlu kita bangun. Bagi saya, kriteria yang paling fundamental adalah bahwa pemimpin itu haruslah seorang negarawan, bukan pemburu kekuasaan. Lalu, bagaimana mengidentifikasi sosok negarawan itu?

Pertama, ia mampu memimpin, berpikiran luas, dan berwawasan kebangsaan. Dari rekam jejaknya, setidaknya kita tahu bahwa ia mempunyai kapabilitas mumpuni untuk memimpin bangsa. Salah satu indikatornya adalah ia memiliki gagasan otentik untuk membangun bangsa serta mau bekerja keras untuk kemaslahatan bangsa ini. Ia mampu melampaui kepentingan-kepentingan individu, golongan, dan terutama partai politiknya, demi kebaikan lebih banyak orang serta kebaikan bangsa tercinta ini. Singkat kata, ia memiliki visi kebangsaan dan mempunyai kehendak baik untuk mengusahakan kemajuan bangsa.

Kedua, pemimpin yang kita pilih haruslah sosok yang kredibel dan akuntabel. Kredibel artinya kata-katanya dapat dipercaya publik. Kata-katanya selalu ia terjemahkan dalam perbuatan atau kerja kerasnya selalu meneguhkan apa yang ia katakan. Singkatnya, ia adalah pribadi yang integral, selalu jujur, dan tidak suka berbohong. Maka, calon pemimpin yang akrab dengan kebohongan atau yang suka menebarkan fitnah dan hoaks sudah pasti bukan sosok negarawan. Seorang negarawan mesti punya itikad baik dan selalu setia pada apa yang baik dan benar. Ia adalah sosok yang akuntabel, yang mau bertanggung jawab terhadap kebaikan umum dan kesejahteraan bangsa.

Ketiga, harus ditelusuri, apakah ia memiliki ideologi yang jelas atau tidak. Ideologi di sini dipahami dari dua perspektif: (1) Ia memiliki keberpihakan kepada rakyat serta memiliki cita-cita politik yang luhur, misalnya berkehendak untuk memperjuangkan kebebasan, hak asasi manusia (HAM), dan keadilan sosial bagi rakyat; (2) cita-cita politik itu ha rus sealur dengan ideologi bangsa. Ia mesti memiliki komitmen tulus untuk memperkuat Pancasila sebagai ideologi bangsa dan mau bekerja di bawah payung ideologi itu.

Pasangan calon yang masih tawar-menawar terhadap legitimitas atau kesahihan Pancasila tidak layak dipilih. Kita butuh tokoh yang Pancasilais, yang memiliki cita-cita besar untuk mengukuhkan keindonesiaan: tokoh pemersatu bangsa, pejuang kesetaraan (dalam ber agama dan beribadah, dalam hal hak asasi manusia/HAM, dan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik), penjaga benteng demokrasi, dan penjamin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebelum kita menentukan pilihan, mari luangkan waktu untuk mencari data-data terkait setiap pasangan calon.

Apakah ia memenuhi kriteria sebagai negarawan atau pemimpin bangsa atau justru sebaliknya. Maju tidaknya bangsa ini ke depan sangat tergantung pada kebijaksanaan kita memilih. Mari memilih dengan hati yang jujur, budi yang cerah, dan pikiran yang jernih, agar momentum pemilu mendatang dapat sungguh bermutu dan bermartabat. Selamat memilih dan selamat merayakan keindonesiaan!)***

Alumnus STF Driyarkarasedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Seminari Kisol, Manggarai Timur

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

seventeen − 13 =