RP Peter C Aman OFM. doc. JPIC OFM Indonesia

Politik berarti mengurus kesejahteraan umum. Mereka yang berpolitik mesti memilki kekuatan spiritual sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam membaktikan diri demi kesejahteraan umum. Egoisme yang berarti mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok haram hukumnya menjadi inspirasi dan motivasi berpolitik. Politisi adalah manusia yang selesai dengan dirinya (secara sosial­ekonomi dan sosial­religius). Mereka adalah pengabdi kemanusiaan dan berbakti untuk kesejahteraan umum. Politisi membutuhkan kekuatan komitmen untuk mengabdi, dan hal tersebut bersumber pada prinsip­prinsip etika, moral, dan agama. Oleh karena itu, spiritualitas merupakan prasyarat mutlak dalam politik. Tanpa spiritualitas politik ibarat badan tanpa jiwa.

Oleh: Peter C. Aman, OFM 

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Universitas Katolik Indonesia Atmajaya, Ketua Komisi JPIC OFM Indonesia

Titik Pijak

Lazimnya politik dan spiritualitas dipertentangkan satu sama lain. Spiritualitas berurusan dengan yang rohani, agama, dan surga. Sedangkan politik adalah urusan duniawi yang selalu diiringi trik, tipu-daya, kebohongan, menghalalkan cara, pengkhianatan bahkan kekerasan. Itulah unsur-unsur yang diterima sebagai hal-hal yang melekat pada politik.

Hal-hal tersebut tentu saja bertentangan dengan tuntutan rohani atau spiritualitas. Karena itulah maka spiritualitas dan politik tak lazim didiskusikan resiprositas serta sinerji positifnya. Mengapa? Fakta yang umum terjadi adalah bahwa spiritualitas (baca: agama) dihubungkan dengan politik dalam konteks teokrasi, atau yang sekarang umum terjadi, untuk melegitimasi pola laku politik busuk dan curang seolah-olah benar, suci, dan mulia. Kemasan luarnya religius-spiritual, tapi isi dan metodologi politiknya justru bertentangan dengan nilai religius-spiritual.

Agama dieksploitasi dan dimanipulasi demi membenarkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan di bawah payung politik. Tulisan ini mencoba melampaui praksis buruk seperti spiritualisasi politik atau eksploitasi agama, dan mencoba menawarkan sebuah gagasan bahwa sejatinya integrasi spiritualitas dan politik adalah suatu tuntutan masuk akal dan etis.

Alasannya sederhana, karena baik spiritualitas maupun politik bertautan secara integral dalam diri manusia, yang sekaligus makhluk pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya secara ontologis melekat pada diri pribadi manusia dan karenanya mesti terintegrasi dalam diri manusia, yang sehat secara spiritual dan sosial.

Prinsip-prinsip moral yang kokoh senantiasa berakar pada realitas spiritual yang merupakan dimensi konstitutif dari diri pribadi manusia. Tanpa itu, manusia utuh dan bermartabat pribadi tidak dapat ada. Masyarakat politis berakar pada kodrat sosial manusia, selaras dengan kehendak Pencipta, yang menciptakan dan menyelamatkan manusia selalu sebagai suatu komunitas, tempat setiap manusia partisipasi dan kerjasama (Bdk. Lumen Gentium 9; Rerum Novarum 37; Gaudium et Spes 75).

Inovasi Kesadaran Politik

Di atas sudah disampaikan bahwa publik umumnya sulit menerima integrasi antara politik dan spiritualitas. Khalayak umumnya berpikir bahwa keduanya berada pada dua area bertentangan dan sulit dipadukan. Seseorang bisa menjadi entah seorang politisi atau seorang spiritualis. Memadukan keduanya adalah mustahil, atau seperti apa yang terjadi sekarang ini yakni memaksakan keyakinan agama ke dalam arena politik atau menyebarluaskan keyakinan agama kepada publik melalui kebijakan-kebijakan politik. Sesuatu yang tidak etis dalam berpolitik.

Dalam pandangan saya, kecenderungan menolak paduan antara spiritualitas dan politik, disebabkan oleh tidak adanya atau tidak dipahaminya pembedaan antara agama dan spiritualitas. Spiritualitas tidak identik dengan agama. Agama adalah institusi dengan anggota tertentu, memiliki aturan, ajaran dan dogma tertentu, tata-cara ibadah, hirarki kekuasaan, serta tuntutan sikap dan perilaku tertentu. Sebaliknya, spiritualitas mengacu kepada dimensi “innership” (kebagian-dalaman diri) seorang manusia dalam relasinya dengan yang transenden yang berpusat pada kehidupan moral.

Spiritualitas lebih bertaut dengan nilai dan kualitas dalam semangat hidup seseorang seperti kasih, keberanian, kejujuran, dll. Spiritualitas bisa berhubungan dengan agama tetapi tidak bergantung pada agama. Agama dapat menjadi sumber spiritualitas, tetapi agama tanpa spiritualitas bisa menjadi tirani “rohani”.

Spiritualitas lebih berkenaan dengan dimensi kebagian-dalaman seseorang (innership) dalam arti semangat, kekuatan yang memotivasi komitmen serta selalu terhubung dengan kualitas atau nilai-moral-etis. Spiritualitas menyalakan semangat dan keberanian, untuk membebaskan seseorang dari egoisme (individu dan kelompok) lantas berani mengambil resiko untuk bekerja serta berjuang bagi banyak orang, bahkan melampaui batas-batas sosial, religius atau politik.

Seorang spiritual dapat bertindak dan bersikap baik melampaui batas-batas agama institusional. Spiritualitas dapat membuat politik menjadi bermartabat-manusiawi. Politik yang benar mesti berlandas pada spiritualitas. Spiritualitas memampukan seseorang meninggalkan egoisme, sehingga dapat menghentikan politik yang berorienntasi pada kekuasaan, uang, dan kerhormatan.

Politik yang berlandas pada spiritualitas akan mendorong kepada praktek politik sebagai pelayanan; berorientasi pada kepentingan umum; bebas dari diskriminasi serta memajukan solidaritas dan keadilan. Menghadirkan nilai-nilai spiritual seperti kejujuran dan altruisme atau filantropi ke dalam politik akan membersihkan politik dari inte rese pada kekuasaan, kekayaan, dan uang.

Politik akan terbebaskan dari sinisme publik bahwa politik itu kotor, jahat, penuh intrik, dan sarat kebohongan seperti sekarang ini. Tokoh besar dalam bidang politik dan sekaligus bidang spiritual Mahatma Gandhi sekali waktu berkata: “Saya tidak dapat menjadi pemimpin religius kecuali jika saya mengindentifikasikan diri dengan semua manusia, dan saya tidak dapat melakukan itu, kecuali jika saya berpolitik” (http://www.visionarylead.org/spiritual­po litics1. html: 4 Jan 2019).

Hanya dengan membebaskan diri dari diri sendiri (egoisme) orang da pat mengabdi kepada kesejahteraan umum. Seorang pejabat politik haruslah seorang altruis, ia berbeda dengan pengusaha. Nasehat ayah Basuki Cahaya Purnama, “Pejabat menentukan nasib banyak orang, kalau pengusaha tuh terbatas” (Meicky Shoremanis Panggabean, AHOK, Wawancara Eksklusif de ngan Ahok, Keluarga, Sahabat dan Warga; 2016). Berbuat baik kepada semua orang adalah suatu tuntutan moral (suatu nilai spiritual) dan hal itu baru dapat dilakukan jika seseorang masuk politik agar dapat memiliki kekuasaan politik (GS. 74).

Gereja Katolik menegaskan pemisahan antara politik dan agama, tetapi tidak memisahkan antara spiritualitas seorang politisi dengan politik. Tindakan politis baru sungguh bermakna bagi semua orang jika dilandaskan ada nilai-nilai spiritual. Kendati arena politik bukanlah tempat mendiskusikan atau mengurus hal-hal spiritual.

Yang diharamkan adalah bahwa Negara memaksakan suatu agama kepada warganya dan mencampuri urusan agama (praksis beragama) warganya. Apa yang dirindukan banyak orang masa kini adalah suatu politik yang secara spiritual berlandas pada prinsip-prinsip moral, masyarakat merindukan wacana politik bermuatan prinsip-prinsip moral, yang mendorong perwujudan komunitas yang semakin manusiawi dan memuat nilai-nilai transenden, yang memberikan visi yang jelas bagi kehidupan publik, pelayanan kesejahteraan umum, yang mengikis ketamakan dan nafsu kuasa (GS. 74).

Konsern utama dalam spiritualitas politik bukan apakah Allah bersama kita, karena Dia pasti selalu bersama kita, tetapi apakah kita berada pada pihak Allah? Apakah kita berpihak pada apa yang menjadi pokok keberpihakan Allah? Apakah kita mengintegrasikan nilai-nilai spiritual? Apakah politik mempromosikan dan memajukan kepedulian sosial, solidaritas, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan?

84% warga USA menginginkan agar kebijakan politik diinspirasi dan dipandu oleh nilai-nilai moral. Isu yang lebih menjadi keprihatinan publik USA adalah merosotnya nilai dan prinsip moral dalam kekuasaan, merosotnya nilai keluarga, merosotnya penghargaan terhadap hidup manusia melalui aborsi (www.visionarylead.org/ spiritual­politics1.html: 4 Jan 2019).

Fakta-fakta ini mau menegaskan munculnya kesadaran publik yang baru akan pentingnya politik yang dijalankan di atas prinsip-prinsip moral atau politik yang mengintegrasikan spiritualitas. Spiritualitas politik akan mendorong para politisi untuk menjauhi kampanye negatif, tetapi meyakinkan publik dan pemilik suara dengan prinsip-prinsip moral yang dipraktekkan dalam politik, yakni kejujuran, pelayanan, dan pengorbanan.

Mengidentifikai Politik Berbasis Spiritualitas

Bagaimana mengidentifikasi bahwa politik berbasis spiritualitas? Jebakan formalitas dapat mengibuli kita, seolah-olah politik berbasis spiritualitas dapat diidentifikasi dengan kiat para politisi yang ramai berwacana tentang prinsip-prinsip etis atau ketika partai politik mengusung jargon-jargon etis -religius dalam desain visi, misi atau kampanye.

Spiritualitas mengena pada kualitas, bukan pada entitas atau formalitas. Maksudnya, formalisasi spiritualitas dalam desain visi-misi atau tema kampanye, barulah aspek formal dari spiritualitas atau prinsip-prinsip etis, yang dapat disebut entitas atau formalitas politik. Ketika prinsip etis atau spiritual dari entitas politik ini terimplementasi dan menjadi semangat dasar dalam menjalankan kebijakan politik dan berbuah pada kesejahteraan umum, di situlah baru ditemukan bahwa spiritualitas memberi karakter pada politik.

Di situ dapat ditemukan “inkarnasi” dari spritualitas politik. Spiritualitas politik akan tampak terjelma ketika masyarakat secara alturistik terlibat dalam politik demi kepentingan orang lain atau bersama, tanpa tersandra oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Misalnya, kelompok-kelompok kaya atau berpengaruh, memperjuangkan pemulihan lingkungan hidup, dengan mendukung moratorium pembabatan hutan, kendati secara ekonomis mereka korporasi merugi, tetapi karena mereka menyadari kepentingan global jangka panjang maka mereka menerima resiko rugi.

Praksis seperti ini, di mana kepentingan lebih besar dan jangka panjang diutamakan di atas kepentingan sesaat dan individualis, merupakan contoh nyata dari praktek pengorbanan atas dorongan prinsip etis atau spiritual yang diyakini. Mengimplementasikan spiritualitas politik berarti mengoptimalkan pemberian diri atau pengosongan diri dan pengorbanan. (Bdk. Meicky Shoremanis Panggabean, AHOK, Wawancara Eksklusif dengan Ahok, Keluarga, Sahabat dan Warga, 2016).

Ada banyak jebakan dalam berpolitik. Bisa saja out­put dari perjuangan politik dirasakan oleh banyak orang, tetapi ketika ditelusuri lebih mendalam ternyata hal tersebut lebih menguntungkan sejumlah kelompok elite tertentu dan bukannya rakyat banyak. Misalnya menaikkan subsidi BBM untuk mesyarakat, ternyata subsidi itu lebih dinikmati kalangan atas atau elite politik, atau bahkan menjadi peluang untuk korupsi.

Kepentingan pribadi atau kelompok diperjuangkan dengan menggadai kepentingan umum. Praktek seperti ini dapat merupakan jebakan yang mengibuli publik. Tolok ukur sejati dari implementasi spiritualitas dalam politik adalah integritas. Apakah politik mengintegrasikan prinsip-prinsip etis (spiritualitas) ke dalam kebijakan dan praktek politik.

Option for the poor, non­violence policy, ecological concerns, anti diskriminasi, anti narkoba, dapat merupakan arena kunci dalam mengimplementasikan spiritualitas politik. Tetapi juga harus tetap jeli menganalisis sejauh mana hal itu benar-benar merupakan aplikasi dari prinsip etis atau sekadar formalitas atau motivasi lain yang bertentangan dengan prinsip etis.

Masih banyak arena lain yang menunjukkan adanya dimensi spiritual dalam politik, seperti isyu HAM, hak perempuan, hak binatang, ekologi dan konservasi. Isu-isu tersebut dapat menjadi perjuangan politik atas dasar spitirualitas jika dalam memperjuangkan nilai-nilai itu, ada keberanian untuk mengorbankan kepentingan sesaat yang bisa saja membawa kerugian sesaat. Misalnya, memperjuangkan penghentian pembabatan hutan untuk sawit dilihat sebagai lebih penting daripada pendapatan dari sawit.

Isu-isu politik lain yang memberi karakter spiritual pada perjuangan politik adalah perjuangan memulihkan nilai-nilai hidup keluarga, moral dan etika dalam pendidikan dan budaya masyarakat. Larangan aborsi, pendidikan spiritual, sensor pornografi pada media-media umum, dll.

Penerapan spiritualitas politik terindikasi dalam kebijakan demi kesejahteraan umum, berjangka panjang dan tidak mengorbankan martabat pribadi manusia. Dengan kata lain, spiritualitas politik merupakan wujud lain dari apa yang disebut Donal Dorr sebagai spiritualitas yang membumi di mana moralitas pertama-tama dipahami sebagai penghargaan terhadap sesama manusia; di mana solidaritas terhadap sesama dimaknai sebagai solidaritas global baik demi sesama manusia maupun sesama ciptaan, (Donal Dorr, Integral Spirituality, Gill and Macmillan; 1990).)***

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × four =