Jakarta, Jpicofmindonesia.com – Dokumen “Human Fraternity (HF)” yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Alzhar Syeikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi pada 4 Februari lalu merupakan salah satu bentuk kemajuan hubungan antara Kristen (Katolik) dan Islam di abad ini.
Bagian awal HF memberikan pemahaman tentang landasan persaudaraan umat manusia di seluruh dunia. Pasalnya, persaudaraan tak melulu karena faktor genital, tetapi juga karena keterciptaan manusia.Kristen dan Islam (juga beberapa agama dan kepercayaan) mengakui dan meyakini manusia diciptakan oleh Allah yang satu dan sama.
Dalam rangka menyambut, mendalami, mengapresiasi dan membumi-indonesiakan pesan-pasan dari dokumen tersebut, JPIC OFM Indonesia menggelar talk show dengan tajuk “Tuhan Jadikanlah Aku Pembawa Damai” di Aula Gereja Paskalis Cempaka Putih,Jakarta Pusat, Sabtu (16/3).
Data panitia memperlihatkan jumlah perserta yang hadir cukup banyak, yaitu kurang lebih 280 orang dari berbagai kalangan (Islam, Katolik, Kristen Protestan, dll).
Talk Show yang dimoderatori RP. Gusti Nggame OFM ini menghadirkan dua Guru Besar sebagai narasumber yaitu Prof. Dr. Martin Harun OFM dan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia.
Menukik Isi “Human Fraternity”
Dalam paparannya, Prof. Martin-sapaan karibnya-melihat HF memberikan pesan untuk semua kalangan tanpa terkecuali. Selain itu, tambah Prof. Martin, dokumen itu berbicara atas nama Allah, atas nama hidup, atas nama kelompok-kelompok yang menjadi korban, atas nama nilai-nilai; jauh lebih dari atas nama agama mereka (Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Alzhar Syeikh Ahmed al-Tayeb –red) sendiri.
Lebih jauh tentang isi dokumen tersebut, profesor emeritus STF Driyarkara itu menguraikan, dokumen ini menyingkap tentang satu keyakinan dari krisis dunia modern yaitu hati nurani; manusia yang kehilangan kepekaan dalam bentuk menjauhkan diri dari nilai-nilai agama: sekularisme, individualisme, materialisme, kontradiksi dunia modern: ada kemajuan tetapi juga kemunduran nilai-nilai dan spiritualitas.
Akibatnya, jelas Pater Martin, ada frustrasi dan keterasingan yang menyebabkan orang jatuh dalam pusaran ekstrimisme dan intoleransi, dan secara sosial terjadinya ketidakadilan, ketimpangan distribusi SDA (hanya menguntungkan minoritas penduduk kaya dan merugikan mayoritas penduduk miskin.
Dalam dokumen yang sama, tambah ahli Kitab Suci itu, terlihat pentingnya peran keluarga; keluarga sebagai tempat pendidikan anak-anak , pendidikan moral dan kesadaran agama; dan benteng untuk menghadapi ekstrimisme buta.
“Human Fraternity” Menginpirasi Indonesia (?)
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Co-Founder Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menilik HF dari perspektif Indonesia. Dalam paparannya, Prof. Musdah – sapaannya- mengatakan HF merupakan dokumen penting dan relevan untuk konteks Indonesia.
Menurut Musdah, ada sejumlah prinsip yang digaungkan dalam dokumen tersebut, antara lain; prinsip kemanusiaan dalam semua agama, persamaan hak dalam kewarganegaraan, keadilan, kerja sama,perlindungan perempuan, saling menghargai Barat dan Timur, perlindungan kelompok rentan, dan perlindungan anak.
Sejumlah prinsip itu, kata Musdah, sedang mendapat ujian di Indonesia. Sebagai contoh, kebebasan beragama. Prinsip kebebasan beragama belum terejawantah dalam praksis hidup sebagian warga Indonesia.
Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, kutip Musdah, menunjukkan 49,95 persen isi buku agama mempengaruhi agar tidak bergaul dengan orang dari agama lain dan 1/3 masyakat mileneal Islam di Indonesia setuju sikap intoleran terhadap kaum minoritas.
Hal ini, tandas perempuan kelahiran 1958 itu, amat paradoks. “Agama sejatinya memanusiakan manusia, tetapi sekarang justru orang semakin beragama orang semakin tidak manusiawi,” pungkasnya.
“Saya fikir apa yang dilakukan sekarang adalah bagaimana kita meyakinkan semua orang beragama bahwa kita adalah orang yang mengedepankan kemanusiaan. Agama dan kemanusiaan itu satu paket. Maka pastikan kalau Anda beragama berarti Anda menjujung kemanusiaan,” ungkap Musdah dalam closing statement siang itu.
“Human Fraternity” dari Perspektif Akar Rumput
Pada kesempatan terpisah, Direktur JPIC OFM Indonesia RP. Aloysius Gonzaga OFM juga mengapresiasi kemunculan dokumen tersebut. Dokumen tersebut, ungkap Alsis –sapaan akrabnya, menuntut setiap dan semua orang hidup mewujudkan perdamaian.
Akan tetapi, lanjut Alsis, dokumen ini perlu dibaca dari perspektif akar rumput, yaitu mengajak umat dan semua yang beritikad baik untuk mewujudkan persaudaraan semesta berdasarkan realitas dan konteks lokal yang dialami.
“Ini masih jadi pekerjaan rumah (PR), membaca dokumen Human Fraternity dari perspektif akar rumput,” ungkap mantan Koordiantor JPIC OFM Flores itu, Rabu (20/3) siang.
“Secara teknis belum dibicarakan secara matang,” tutupnya.)***
Rian Safio