MANADO, JPIC OFM Indonesia – Peristiwa Damieta-perjumpaan Fransiskus Assisi dan Sultan Malik al Kamil- delapan abad silam merupakan peristiwa monumental dari dialog Kristen dan Islam.
Dalam rangka mengenang, merayakan, dan mengaktualisasi spirit dari peristiwa monumental itu, Ordo Fransiskan Sekular (OFS) Manado, JPIC Keuskupan Manado, dan JPIC DSY menggelar seminar sehari yang bertajuk “Damieta: Perjumpaan dan Dialog Damai”, di Aula Amphitheater Lotta – Pineleng, Rabu, 3 April 2019.
Ketua Panitia Hanny Rawung OFS mengungkapkan, “Historia semper repetitur; sejarah senantiasa berulang. Sejarah akan terjadi kembali. 800 tahun yang lalu, tahun 1219, dalam situasi perang dan kebencian menghantui peradaban manusia; Di mana kekerasan menjadi motivasi untuk menghancurkan; bahkan semakin subur karena dibumbui dengan fanatisme agama yang kadang buta dari kebenaran agama yang sebenarnya, sejarah mencatat di tahun tersebut telah terjadi perjumpaan antara Kristen dan Muslim yakni St. Fransiskus Asisi dengan Sultan Malik Al-Kamil. Perjumpaan ini pun berlangsung dengan damai tanpa membawa senjata”.
Kegiatan ini dihadiri sekitar 250 peserta yang terdiri dari berbagai unsur seperti pemuka-pemuka agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, pemuda, LSM, mahasiswa dan siswa SMA. Dilihat dari buku registrasi peserta datang dari beberapa kota dan kabupaten seperti Manado, Tomohon, Bitung, Minahasa Utara dan Minahasa.
Jalannya Kegiatan
Seluruh rangkaian kegiatan ini dibuka dengan misa syukur yang dipimpin langsung oleh Mgr. Benedictus Esthephanus Rolly Untu, MSC. Dalam homilinya Bpk. Uskup menekankan tentang pentingnya hidup bersama sebagai satu keluarga.
“Kita harus mengasihi Tuhan dan mengasihi orang lain sama seperti kita mengasihi diri sendiri. Apa yang dibuat oleh Fransiskus adalah langkah raksasa. Relasi pembaharuan. Fransiskus mengubah cara pandang pada masa itu dari perang kepada dialog, pertemuan dan perjumpaan,” tutur Mgr. Untu.
Yesus dalam bacaan yang sudah dipilih oleh panitia, lanjut Mgr. Untu, berbicara tentang kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang benar dan orang tidak benar (Mat 5:38-48). Perintah Yesus ini hendaknya kita laksanakan dalam hidup sehari-hari. Menjadi pembawa damai di manapun kita berada.
Setelah misa berlangsung dilanjutkan dengan seminar. Seminar dipandu Sr. Juliva Motulo, DSY. Hadir sebagai narasumber pada seminar ini adalah Dr. Peter C. Aman, OFM, Damianus Pongoh, SS, Lic.Islm, Alimatul Qibtijah, Ph.D, dan Prof. Dr. Johanis Ohoitimur, MSC.
Dr. Peter menyajikan materi tentang Fransiskus Assisi dan Sultan Malik al Kamil: Dialog Iman Serta Relevansinya. Dalam materinya, Peter-sapaannya- mengupas sejarah pertemuan dan perjumpaan yang terjadi di Damietta. Perjumpaan itu adalah warisan berharga bukan saja untuk Gereja tetapi seluruh umat manusia.
Pater Damianus Pongoh, SS, Lic.Islm memaparkan materi tentang “HAM dari Damietta Percakapan Satu Ruang”. Dalam materinya Pater Dami, sapaannya, memberikan gambaran tentang pertemuan antara St. Fransiskus dengan Sultan yang terjadi dalam satu ruang. Pertemuan yang sangat menarik karena baik Fransiskus maupun Sultan berbicara tentang agama masing-masing tetapi kemudian keduanya tetap pada pendirian agama sendiri dan menghormati perbedaan. Tradisi lonceng Gereja bermula dari St. Fransiskus yang mendengar adzan.
Pembicara ketiga Alimatul Qibtijah, Ph.D. Mengawali pemaparan materinya, Ibu Hajah DR. Alimatul memberikan apresiasi kepada panitia karena seminar ini sangat ramah lingkungan. Karena seminar ini tidak menggunakan plastik sekali pakai. Dalam pemaparan materinya ibu Alimatul sangat menekankan pentingnya hidup dalam kebersamaan.
Di Indonesia, kata dia (Alimatul Qibtijah, Ph.D-red) dengan penduduk muslim terbesar di dunia terdapat 3 kelompok besar yaitu: Textual Liberal Konservative, Moderat dan Progresif. Kelompok textual liberal konservative mereka yang memahami teks apa adanya, tanpa melihat konteks atau substansinya. Kelompok ini dapat menyebabkan yang passive toleran bisa menjadi passive intoleran. Padahal kelompok tersebut hanya sekitar 0,0 sekian persen tetapi di media sosial mereka cukup eksis. Bagaimana cara supaya dapat membangun sikap toleran? Menurut ibu Alimatul, kita kembangkan budaya lokal seperti kalau di Jogyakarta memiliki tradisi halal bi halal yang dirayakan bersama.
Pembicara terakhir adalah Pater Prof. Dr. Johanis Ohoitimur, MSC. Dalam materinya, Pater Yong, demikian beliau biasa disapa, berbicara tentang relevansi pada dunia masa kini khususnya di Indonesia tentang hidup beragama. Relevansi dari perjumpaan dan refleksi dari perjumpaan di Damietta.
Dalam pemaparannya, Pater Yong mengajak semua peserta untuk melihat di mana letak kota Damietta. Antara Islam dan Kristen dapat duduk bersama-sama sehingga terjadi ko-eksistensi. Antara Fransiskus dan Sultan telah terjadi perjumpaan Spiritual. Sekarang di media sosial banyak terjadi hasutan, hoax, provokasi, dan intimidasi hanya karena perbedaan. Hendaknya itu tidak perlu terjadi diantara kita manusia.
Kegiatan semianar sehari ditutup dengan doa dan dibawakan oleh ibu Alimatul. Dilanjutkan dengan atraksi musik kolintang dari SMA Katolik Rex Mundi Manado. Seluruh kegiatan ini diakhiri dengan pengundian kupon berhadiah yang dilaksanakan dalam rangka menyukseskan kegiatan seminar Damietta.)***