Jpicofmindonesia.comUndang-undang No. 23 thn. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) merupakan capaian monumental perjuangan para aktivis perempuan Indonesia. Dengan adanya UU ini negara harus berupaya mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan serta keadilan bagi perempuan.

Saat ini, para aktivis perempuan masih bekerja keras memperjuangkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). RUU PPRT telah belasan tahun berada di DPR, dan tampaknya jalan masih panjang. RUU P-KS menjadi sangat penting dan mendesak ketika para perempuan meneriakkan darurat kekerasan seksual.

Angka kejahatan kekerasan seksual sangat tinggi, sementara hukum tidak memihak pada perempuan korban, dan pemerintah serta penegak hukum belum cukup serius dalam mengatasi persoalan ini. Sementara berbagai kemajuan tersebut dicapai dengan bersusah payah, otonomi daerah berbuntut panjang dengan munculnya banyak peraturan daerah (perda), yang justru mengebiri perempuan.

Komnas Perempuan 2018 mengeluarkan data bahwa sejak 2009 hingga sekarang, lebih dari 420 Perda diskriminatif, di mana sekitar lebih dari 330 adalah perda diskriminatif terhadap perempuan. Mayoritas dari perda diskriminatif, selain menyasar perempuan, juga menyasar soal moralitas-seksualitas. Dengan kata lain, saya menyebutnya kepantasan moral (agama) yang berbasis seksualitas (perempuan)!

Sebut saja beberapa daerah yang banyak mengeluarkan perda yang sangat membatasi perempuan, seperti di Provinsi Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dsb. Di Provinsi Aceh, belasan lembaga advokasi perempuan Aceh melaporkan temuan meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan yang dikaitkan dengan pemberlakuan Syariat Islam di provinsi itu.

Hukum Syariat justru dipandang berkontribusi pada sejumlah kasus pelecehan terhadap perempuan dalam sekitar 26% kasus yang terjadi di ranah publik. Hasilnya ditemukan ada 1.060 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebagian besar terjadi dalam ruang domestik dalam bentuk kekerasan rumah tangga. Angka kekerasan juga dianggap tinggi terkait dengan dilaksanakannya Perda Syariat di Aceh.

“Seperti dalam qanun busana islami dan qanun khalwat regulasinya lebih banyak menyasar perempuan,” kata Roslina Rasyid dari LBH Apik Aceh, satu dari 16 organisasi advokasi perempuan yang membentuk Jaringan Pemantau 231. Niat pemberlakuan qanun yang semula untuk melindungi perempuan qanun syariat ternyata kemudian justru menjadi salah satu penyebab pelecehan, lebih berat pada perempuan, dan seolah beban menegakkan moralitas ada pada perempuan (www.bbc.com).

Bagaimana menyoal perda diskriminatif ini dari perspektif perempuan? Kenapa politik identitas, khususnya mengenai identitas seks dan jender juga semakin tajam? Apa agenda-agenda di balik menguatnya politik identitas (jender) tersebut?
Kemunduran atau Kemajuan bagi Perempuan?

Menjadi jelas apa yang disebut sebagai perda diskriminatif. Perda itu menjadi diskriminatif karena perda itu hadir dengan menyasar kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi semua, dalam hal ini perempuan. Dalam artian, hanya berlaku bagi perempuan, dan tidak bagi laki-laki; dan di lain pihak, laki-laki juga ‘didiskriminasi’ dalam arti tidak akan terkena peraturan tersebut.

Sayangnya, banyak perda diskriminasi ini yang menjadi tidak adil buat perempuan dan merugikan perempuan, alih-alih melindungi perempuan. Banyak kemajuan yang dicapai perempuan telah mengalami arus balik-mundur karena pembatasan para perempuan dengan berbagai perda diskriminatif tersebut.

Di antara begitu banyak alasan, salah satu alasan yang sangat ‘mengerikan’ adalah kepentingan politik jangka pendek dari para kepala daerah (dalam kampanye), yang diperburuk oleh kepentingan partai atau golongan tertentu. Pemilu menjadi ajang pertarungan antara calon legislatif/eksekutif baik laki-laki maupun perempuan dengan para pemilih perempuan.

Kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, yang ditetapkan dalam UU No. 10 thn. 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang diharapkan menjadi peluang perempuan untuk menjadi anggota legislatif yang menyuarakan kepentingan perempuan ternyata juga masih jauh dari harapan. Selain kuota 30% itu masih jauh dari keberhasilan, juga keprihatinan bahwa banyak anggota legislatif perempuan (maupun kepala daerah perempuan) yang terlibat dalam tindak pidana korupsi ataupun malah terlibat dalam pembuatan perda-perda diskriminatif.

Politik Identitas yang berbasis jender, sebagaimana terjadi di Indonesia, walaupun sama-sama mewakili kepentingan perempuan, namun terlihat bagaimana arah geraknya menuju pada hasil yang sangat berbeda. Di satu sisi, penguatan itu dilakukan untuk melindungi dan memajukan perempuan, sementara di sisi lainnya digunakan untuk membatasi dan melemahkan perempuan.

Sementara itu, di lain pihak, para aktivis perempuan sedang berjuang keras untuk membongkar konstruksi sosial jender yang selama ini dipakai untuk mendomestifikasi perempuan, dan membangun konstruksi sosial jender baru yang lebih memberikan kemerdekaan bagi perempuan. Konstruksi sosial yang lebih memberikan kedudukan egaliter bagi perempuan maupun laki-laki.

Politik identitas jender yang dipahami dalam kerangka pemikiran dan gerakan para aktivis perempuan ini hendak menempatkan perempuan sebagai “subyek” yang berdaulat atas dirinya
juga atas keluarganya, komunitasnya, hingga negaranya.

“Bisakah Adil Tanpa Setara?” Pertanyaan “Bisakah Adil Tanpa Setara?” adalah pertanyaan serius yang sering dilontarkan oleh para aktivis perempuan terhadap kondisi ketidaksetaraan yang dialami perempuan di bawah ideologi dan sistem patriarkis dan yang hierarkis. Tentu saja ideologi dan sistem patriarki, androsentrisme, dll, adalah ideologi dan sistem yang mengandaikan atau memiliki konsekuensi logis akan kondisi adanya ketidaksetaraan.

Ketidaksetaraan ini memiliki bentuk kasat matanya dalam berbagai bentuk diskriminasi, penguasaan, peminggiran dari kelompok penguasa (superior) dan pemegang otoritas terhadap kelompok lainnya, subordinasi, liyan, dsb. Dalam kondisi asimetris seperti ini, keadilan untuk semua hampir mustahil bisa diwujudkan.

Klaim para aktivis perempuan (baca: feminis) sangatlah jelas, “kesetaraan adalah bagian dari ke adilan sosial dan hak asasi manusia.” “Bisakah kesetaraan tanpa keadilan?” Sebagai pertanyaan, jawabannya: ‘bisa saja’. Ada banyak contoh dari negara-negara yang mengadopsi konsep egaliter atau kesetaraan dalam kedudukan warga negaranya yang sama di mata hukum, namun belum tentu ada keadilan.

Namun demikian, pertanyaan yang terakhir ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengabaikan atau menolak prinsip kesetaraan yang dituntut. Pendeknya, kesetaraan, bagi para perempuan, adalah keniscayaan atau syarat yang harus ada jika ingin mencapai keadilan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dari pemahaman tersebut menjadi jelas bahwa ketidaksetaraan yang dialami perempuan bukanlah persoalan individu-perem puan yang tidak mampu (incapable), melainkan lebih pada persoalan sistemik/ struktural.

Kegagalan yang terjadi pada individu perempuan bukanlah kegagalan pribadi, melainkan kegagalan sistem yang tidak berpihak pada perempuan. Perempuan, sebagai kelompok, telah menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Konsep kesetaraan jender, dalam konsep pemikiran para feminis, memiliki dasar epistemologis dan dasar ideologis – politis. Artinya konsep ini memiliki dasar epistemis sebagai teori ilmu pengetahuan sekaligus memiliki klaim ideologis – politis sebagai sebuah tuntutan sosio-politis dalam gerakan atau praksis sosial.

Sebagai sebuah teori sosial, gagasan tentang feminisme dan juga termasuk dekonstruksi jender, telah mengalami proses diskursus yang panjang. Pengetahuan yang dihasilkan dari diskursus mengenai feminisme dan jender telah melahirkan banyak teori-teori sosial baru untuk memahami kondisi perempuan dalam konstruksi sosial ataupun sebaliknya. Sementara itu, klaim ideologis-politis para perempuan itu jelas menunjukkan bahwa feminisme memiliki cita-cita sosial untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan.

Apakah saat ini, di saat publik sudah mengakui kesetaraan, klaim politik para perempuan itu masih relevan? Jelas, masih relevan! Karena kesetaraan yang diandaikan ‘ada’ terberi sebagai penghargaan atas HAM bagi semua orang itu masih banyak disangkal dan ditolak. Karena ketimpangan yang diakibatkan oleh ketidaksetaraan yang telah terjadi sejak lama itu masih sangat lebar; perempuan masih mengalami banyak hambatan untuk mengejar ketertinggalannya selama ini.

Dari sinilah kita memahami lahirnya berbagai “tindakan afirmasi (atau penguatan)” bagi perempuan. “Tindakan afirmasi” bagi perem puan adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menguatkan perempuan: memberi akses dan kesempatan tertentu bagi perempuan untuk menuntut hak-nya yang selama ini diabaikan atau ditolak serta untuk mengejar ketertinggalannya selama ini.

Dari ‘tindakan afirmasi’ inilah lahir berbagai kebijakan untuk melindungi perempuan, memberikan kesempatan dan akses khusus bagi perempuan dsb, yang bersifat temporer ataupun sesuai kebutuhan. Kebijakan afirmasi, yang mengandung keistimewaan ini, tidak bisa dipahami sebagai satu bentuk diskriminasi terhadap kelompok yang selama ini telah menikmati dari posisi a-simetris (relasi kuasa) mereka, sebagaimana dituduhkan para penentang kebijakan afirmatif.

Contohnya, agenda PBB mengenai Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, yang ditetapkan dalam 17 tujuan, masih menetapkan dasar dari setiap butir agendanya adalah untuk menjunjung tinggi HAM dan untuk mencapai kesetaraan jender. Prinsip “tidak ada satu pun yang tertinggal” mengandaikan bahwa ke-17 tujuan itu harus menjangkau semua kelompok yang selama ini rentan tertinggal atau ditinggalkan dalam proses dan capaian pembangunan.

Tujuan secara eksplisit menyebutkan tercapainya kesetaraan jender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, sebagai subyek pembangunan, dan menuntut pemerintah untuk memenuhi hak-hak perempuan dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender.

Kemiskinan oleh PBB dikenali sebagai kemiskinan yang memiliki dimensi atau berwajah perempuan, seperti: jumlah perem puan miskin lebih besar, pemiskinan perempuan yang terjadi secara sistemik, perempuan dan anak sebagai korban lebih besar dari dampak kemiskinan, dsb.

Dalam hal ini, jelas sekali kemiskinan yang dialami perempuan telah menjadi produk dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang ada di dalam masyarakat kita.

Penutup

Politik identitas yang berbasis apa pun, baik suku, agama, seksualitas, kelas sosial, dsb, selalu memiliki konteks tertentu. Politik identitas ini juga dibangun dan dikembangkan melalui “teks-teks” tertentu sebagai bentuk klaim atas eksistensi mereka. Politik identitas yang berbasis seksualitas (dan jender), juga memiliki konteks serta teks tertentu untuk mendasari klaim mereka.

Menjadi krusial adalah mempertanyakan siapa yang membangun atau mengkonstruksi identitas itu, atas dasar apa, dan mengapa. Pertanyaan itu penting untuk mengetahui kepentingan-kepentingan yang ada di belakang konstruksi politik identitas. Atau dengan kata lain, pertarungan politik identitas yang terjadi, apa pun identitas yang dipertarungkan, dikonfirmasi dari klaim dan dampak politis yang dihasilkan.

Dalam hal penguatan politik identitas yang berbasis seksualitas dan jender, menjadi jelas mempertanyakan siapa yang membawanya dan untuk kepentingan apa. Dalam hal ini, dalam wilayah sosial-politis – bisa saja kelompok perempuan bertarung dengan sesama kelompok perempuan atau kelompok perempuan harus bertarung dengan kelompok laki- laki dalam konstruksi ideologi dan kepentingan yang berbeda.)***

Iswanti Alumna STF Driyarkara; saat ini aktif di Mitra Imadei, Jakarta.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 − 10 =