Media Doeta Indonesia

Oleh: Dr. Andreas B. Atawolo, OFM Dosen Teologi STF Driyarkara, Jakarta

Sudah Memilih yang Terbaik

B a n g s a Indonesia baru saja menyelesaikan perhelatan demokrasi yang penting pada hari ini, Rabu, 17 April  2019, yaitu pemilihan presiden-wakil presiden serta anggota DPR baik di tingkat pusat maupun daerah. Kita berharapa, mereka yang kita pilih adalah figur yang sungguh mampu membawa transformasi bagi bangsa kita: memerhatikan kepentingan rakyat, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi kebenaran, fokus pada pembentukan karakter anak bangsa. Akankah lahir pemimpin yang lebih banyak memberi dan terlibat, bukan menguasai dan memanipulasi kepentingan masyarakat?

Pilihan-pilahn yan telah kita tentukan hari ini tidak hanya mencari pemimpin baru. Kita mendambakan pembaruan; dan pembaruan tidak identik dengan pemimpin tertentu saja! Pembaruan mengandaikan pengorbanan. Kepentingan pribadi kita perlu ditempatkan dalam visi pembaruan universal itu. Saatnya kita mengurangi kritik dan keluhan, dan mencari solusi membangun habitus baru.

Selama masa kampanye, melalui media massa dan spanduk-spanduk di tempat umum, kita menyaksikan begitu gencarnya orang-orang ‘mengiklankan diri’ agar dapat dipercaya sebagai pemimpin. Semoga pilihan kita hari ini menghasilkan produk politik yang bermutu. Kita harus tetap kritis mengawal mereka yang telah kita percayakan.

Keutamaan Seorang Pemimpin

Ketika Salomo hendak menjadi pemimpin menggantikan Daud, ia memohon dari Tuhan karunia yang paling utama da lam tugasnya, yakni kebijaksanaan, bukan umur panjang, kekayaan dan nyawa musuh. Salomo meng andalkan kebijaksanaan agar dapat memutuskan perkara demi kepentingan umat pilihan. Bagi Salomo kebijaksanaan itu berupa mata hati yang akan menerangi dia untuk memisahkan antara yang baik dan yang jahat dalam m enimbang perkara (bdk. 1 Raj. 3: 9).

Menarik bahwa dengan meminta kebijaksanaan, Salomo justru memeroleh karunia kebijaksanaan yang lebih kaya dari Allah, yang tidak dimiliki orang lain, dan tidak pudar oleh waktu. Allah pun menjanjikan hal-hal lain yang tidak diminta oleh Salomo (bdk. ay. 12-14).

Dalam pengalaman kita, nyata juga bahwa sikap dan tutur kata yang baik justru merupakan harta utama untuk membangun kepercayaan. Pemimpin yang dikenang dan dihormati ialah dia yang mampu merangkul dan membela masya rakat; ia tidak sekadar menjadi leader. Ia berusaha menyentuh hati banyak orang dengan pendekatan kharismatik. “I don’t think of leader ship as a position, I don’t think of leadership as a skill. I think leadership as a relationship” ( Phil Quigley)

Santo Petrus menasehati para penatua agar melakukan tugas kepemimpinannya dengan bijak. Baginya daya tarik seorang pemimpin ialah kesediaannya turut menderita bersama jemaat. Dan itulah kesempatan baginya untuk memberi teladan mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Paulus menasehati para pemimpin agar menjadi gembala yang baik, yang menggembalakan umat Allah bukan dengan terpaksa melainkan sukarela sesuai dengan kehendak Allah; bukan demi  keuntungan pemimpin, tetapi sebagai pengabdian bagi masyarakat. Pola kepemimpinan yang diajarkan Paulus ialah memberi teladan, bukan memerintah (1 Ptr. 5: 2-3).

Orang Kristen mengimani Yesus sebagai Pemimpin. Pertanyaannya: apakah di zaman ini hati kita masih sungguh dirajai oleh Yesus? Apakah para pemimpin Kristen sanggup membawa kesaksian bahwa Yesus adalah pemimpin yang “memberi kesaksian tentang kebenaran” (Yoh 18: 37), dan rela mati demi kasih bagi para pengikut-Nya?

Bagi kita orang Kristen, hukuman Yesus tidak lain daripada penderitaan orang benar. Orang benar ini tidak berusaha untuk menyelamatkan diri, tetapi menanggung penderitaan-Nya untuk keselamatan orang lain, juga mereka yang me nyakiti dan memusuhi-Nya. Seluruh peristiwa Yesus Kristus menegaskan bahwa Mesias datang untuk melayani, bukan untuk dilayani; Ia memerintah bukan dengan tangan besi seperti pengusa bangsa-bangsa (bdk. Mat 20: 26-28).

Baca Juga: Political Will Elite Politik

Santo Bonaventura menekankan beberapa kualitas utama seorang pemimpin politik. Baginya seorang pemimpin perlu memiliki kebajikan-kebajikan politik: Seorang pemimpin politik yang baik hendaknya memiliki kehati-hatian (prudentiae), baik dalam kata-kata maupun tindakannya. Dengan prudentiae, seorang pemimpin mengukur tindakannya. Ia tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ia tidak mudah dipengaruhi hoaks. Kehati-hatian itu melibatkan sisi kemampuan lainnya, yaitu rasio, intelek, ketelitian, visi, dan kepatuhan. Pemimpin juga hendaknya memiliki kekuatan (fortitudinis).

Ciri kedua ini diperlukan agar seorang pemimpin tegar menghadapi ancaman, mengingat peran nya menjamin rasa aman bagi warga. Rasa aman merupakan kebutuhan mendasar manusia; sebab dari rasa aman tumbuh kepercayaan antara satu warga dan warga yang lain. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi rasa optimis kepada warganya. Pemimpin yang kuat mengutamakan berita-berita positif kepada warga, bukan menabur pesimisme.

Ciri ketiga dari kebajikan politik ialah kesahajaan (temperantiae). Kemampuan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara kuasa sebagai pemimpin dan kewajiban merangkul segenap warga. Pemimpin yang baik mampu menahan diri dari nafsu kuasa, agar tidak memihak dalam mengambil keputusan. Dengan kualitas ini ia mampu menghadapi godaan keserakahan. Kualitas terakhir dari kabajikan politik ialah keadilan (iustitiae). Bonaventura mendefinisikan ‘keadilan’ dengan tegas: “Memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”. Pemimpin hendaknya berlaku adil bagi setiap warga serta memperhatikan kebutuhan mereka dalam beragam aspek kehidupan. Keadilan merupakan ciri sekaligus tujuan dari peran pe mimpin politik.

Bonaventura menempatkan politik sebagai hukum moral untuk menciptakan keadil an (iustitia). Dalam tujuan itu politik berperan mengatur sebuah “bentuk hidup bersama, norma-norma kepemimpinan dan hak berpendapat secara hukum” (Hexaëm.V, 14).

Hukum positif diadakan sebagai norma untuk mengatur perilaku warga. Perlu dicatat bahwa cita-cita keadilan tidak hanya ditentukan seorang pemimpin. Keadilan mengandaikan bahwa setiap warga bersikap “sahaja atau rendah hati, dan bekerja de ngan giat”.

Dengan cara demikian mereka “mewujudkan praksis keadilan” (exercenda iustitia). Kira nya jelas bahwa nilai utama dari kebajikan politik bukan pada kebajikan itu sendiri melainkan pada manusia. Sebagai animale sociale manusia merupakan tujuan dari kebajikan politik.

Bonaventura menulis: “Kebajikan-kebajikan politik memperhatikan manusia, sebab dia adalah makhluk sosial. Orang baik dalam tata pemerintahan mematuhi kabajikan-kebajikan itu, dan bertugas memelihara kota. Kebajikan-kebajikan tersebut mengajar mereka menghormati orang tua, mencintai anak-anak dan menghargai sesama; melalui norma-norma tersebut mereka mengupayakan kesejahteraan masyarakat, melin dungi hak milik sesama dengan hati yang jeli, serta mengontrolnya secara bijaksana. Dengan demikian mereka dikenang karena jasa-jasanya” (Hexaëm.VI, 28).

Bonaventura memberi makna positif pada kuasa politik. Kuasa pemimpin politik itu baik sejauh itu sungguh mewakili kebenaran, dan tidak memihak pada kepenting an sendiri atau segelintir orang. Pemimpin politik yang baik mengupayakan “res publica”. Sebab itu, seorang pemimpin komunitas masyarakat tidak dapat mengambil keputusan tanpa terlibat dalam hidup masyarakat. Ia percaya bahwa ketika seorang pemimpin politik melakukan kebajikannya dengan baik ia memberi kesaksian tentang kehendak baik Allah.

Wahai Para Pemimpin…

Ingatlah wahai para pemimpin, kekuasaan itu sesungguhnya milik rakyat, namun dipercayakan kepadamu. Dalam kecemasan kami tidak habis pikir, tetap berharap agar engkau menjadi garam dan terang (Mat. 5: 13-14), menjadi gembala yang baik (Yoh 10), yang memimpin dengan mengutamakan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Bersamamu kami sambut pesan: “Janganlah engkau berkata jahat tentang seorang pemimpin bangsamu! (Kis. 23: 5), namun kami juga memohon : “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu!” (Mat. 3: 14).)***

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × 4 =