Oleh: Faris Jebada, OFM (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta)
Jpicofmindonesia.com – Pada 17 April 2019 mendatang kita akan merayakan pesta demokrasi, yakni pilpres dan pileg. Pada saat itu, kita akan menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin bagi kita. Akan tetapi, menjelang pesta demokrasi itu kita dihadapkan pada sebuah gejala munculnya gerakan untuk menolak memilih presiden atau anggota legislatif. Kita biasa menyebut gerakan itu golput.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi landasan teologis mengenai kekuasaan (sekular) dan fungsinya bagi kehidupan kita manusia. Pada bagian terakhir akan ditunjukkan mengapa kita sebagai orang Katolik mesti coblos? Mengapa kita harus menolak golput?
Asal-Usul Kekuasaan
Tidak dapat dibenarkan apabila kita sebagai orang Katolik menolak untuk memilih seorang pemimpin (kepala negara). Mengapa? Bukankah tidak memilih adalah hak setiap orang, sama seperti hak untuk memilih?
Memang ada banyak pengalaman menunjukkan bahwa kekuasaan atau pemerintah telah berlaku tidak adil, tidak tepat janji, tidak terpuji, dan sebagainya, tetapi hal itu sekali-kali tidak menjadi alasan bagi kita untuk menolak memilih pemimpin. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah tidak dapat menjadi landasan yang sah untuk menolak memilih secara aktif dan sadar. Mengapa?
Asal-usul kekuasaan sekular sebenarnya bukan semata-mata pada keinginan, kehendak atau keputusan manusia, melainkan pada kehendak Allah. Allah sendiri yang menghendaki agar umat beriman dipimpin oleh seorang penguasa (bdk. 1 Sam 9:17, atau 1 Sam 10:1). Salomo, misalnya, menunjukkan asal-usul kekuasaan sekular demikian: “Dengarlah, hai para raja, dan hendaklah mengerti, belajarlah, hai para penguasa di ujung-ujung bumi…. sebab dari Tuhanlah kamu diberi kekuasaan, dan pemerintahan datang dari Yang Mahatinggi, yang akan memeriksa segala pekerjaanmu serta menyelami rencanamu” (Keb 6:1-3).
Atau, Rasul Paulus juga memperlihatkan landasan kekuasaan sekular demikian: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya” (Rm 13:1-2).
William Ockham (seorang filsuf-teolog Fransiskan dari Abad Pertengahan), mengatakan bahwa landasan kekuasaan sekular tidak hanya keinginan, ketetapan, atau hukum manusia (human law) tetapi juga Hukum Ilahi (divine law). Kehendak dan ketetapan Allah merupakan dasar yang tak terbantahkan bagi legitimasi kekuasaan sekular (Ockham, OQ, II, 3, xi). Karena itu, martabat kekuasaan sekular adalah mulia dan suci karena dikehendaki oleh Allah.
Kembali ke pokok soal di atas, apakah tepat kita sebagai orang beriman menolak untuk memilih pemimpin atau penguasa? Apakah tepat bagi kita untuk menolak kehendak dan ketetapan (divine law) Allah atas dasar hak dan kebebasan?
Fungsi Kekuasaan (Sekular)
Berpijak pada landasan atau asal-usul kekuasaan sekular, kita lantas bertanya demikian: untuk apa Allah menetapkan kekuasaan sekular? Surat Petrus menunjukkan semacam horizon kekuasaan sekular: “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik” (1 Ptr 2:13-14, atau bdk. Rom 13:3-5).
Dalam traktat politiknya, Ockham mengatakan bahwa fungsi kekuasaan yang paling esensial adalah mencegah terjadinya hal-hal buruk dan menjamin keharmonisan bagi semua orang. Ia mengatakan: “…demikian pula, seorang penguasa menjalankan kekuasaannya pertama-tama bukan demi kebaikan, melainkan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi” (Ockham, OQ, III, 8).
Ockham menilai bahwa Allah menghendaki kebaikan dan damai sejahtera bagi umat-Nya sehingga Ia menetapkan seorang penguasa atas mereka. Rasul Paulus juga menyatakan bahwa pemerintah adalah rekan kerja Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi umat beriman. Pemerintah menyandang pedang untuk mencegah terjadinya kejahatan (Rom. 13:4).
Dari perspektif ini, keberadaan pemerintah dapat dipandang sebagai sesuatu yang niscaya terutama karena fungsinya untuk mencegah hal-hal buruk dan mempertahankan kebaikan dan keharmonisan.
Untuk mencapai kebaikan dan keharmonisan, Allah memilih salah satu di antara umatNya menjadi pemimpin bagi yang lain. Seorang yang dapat dipilih menjadi pemimpin tentu pribadi yang memiliki keutamaan dan pengertian (2 Taw 1:11-12).
Yang pantas dipilih menjadi pemimpin bukan orang yang kaya. Bukan pula seorang prajurit perang yang gagah perkasa. Bukan pula kaum bangsawan. Atau mungkin bukan pula politikus yang termasyur. Ockham mengatakan demikian: “…karena meskipun sangat pantas bagi seorang raja unggul di dalam kekuatan fisik dan di dalam kemampuan bertempur, hal itu bagaimana pun bukan yang niscaya diperlukan dan bukan merupakan sesuatu yang istimewa melampaui keunggulan yang lain, tetapi hal itu perlu ditempatkan setelah kebijaksanaan, keadilan, dan keutamaan yang lainnya” (Ockham, III Dialogue II, 1, xvii).
Keraguan untuk Memilih Pemimpin
Barangkali kita dapat mengajukan pertanyaan demikian: Bagaimana jika di antara para calon pemimpin tidak ada yang pantas untuk menjadi pemimpin? Pertanyaan ini mengandaikan para calon pemimpin sama-sama buruk. Atau, dirumuskan secara positif: Bagaimana jika di antara para calon pemimpin terdapat kualitas yang sama dan sama-sama pantas untuk menjadi pemimpin? Pertanyaan ini mengandaikan calon pemimpin sama-sama baik.
Saat ini kita dihadapkan pada kewajiban untuk memilih salah satu. Bukan dua-duanya, atau bukan pula tidak sama sekali. Di dalam kedua kondisi ini—entah itu semuanya baik atau buruk—kita tetap memilih salah satu yang menurut kita paling baik untuk menjadi pemimpin. Jika tidak ada panduan moral untuk memilih pemimpin, saya menawarkan panduan teologis: pilihlah pemimpin sama seperti Allah memilih pemimpin bagi Israel, yakni yang memiliki keutamaan dan pengertian (2 Taw 1:11-12).
Kalaupun, tentu menurut Anda, tidak ada yang memiliki keutamaan dan pengertian, sekurang-kurangnya kita memilih pemimpin yang punya komitmen pada kebaikan bersama—sebagaimana Allah memilih pemimpin bagi Israel. Caranya? Lihatlah perjalanan hidupnya! Itu saja. Cukup!
Mengapa Kita Menolak Golput?
Kita menolak golput bukan berarti kita tidak menghargai hak dan kebebasan setiap individu. Kita menolak golput terutama untuk memastikan bahwa kita melaksanakan kehendak dan Hukum Allah (divine law).***