Editorial – JPIC OFM Indonesia, Adalah Paulinus, murid dan kemudian menjadi sekretaris Uskup Ambrosius yang meninggalkan tulisan tentang bagaimana Ambrosius dipilih menjadi Uskup Milan. Kejadiannya pada tahun 374, ketika Auxentius meninggal. Ia adalah seorang Uskup Milan tetapi juga seorang bidaah Arianisme, yang berhasil menduduki tahta Uskup Milan, dengan memenjarakan Uskup Milan Dyonisius.
Tatkala dia meninggal terjadilah kegaduhan besar. Saat itu Ambrosius diangkat Kaisar Roma sebagai penasehat Gubernur Provinsi Liguria dan Emiliana. Dia diperintahkan untuk menenangkan situasi “khaos” di Milan. Ambrosius sendiri saat itu, belum dibaptis Katolik, masih menjadi katekumen.
Tatkala Ambrosius datang untuk menenangkan situasi, seorang bayi dari pangkuan ibunya berteriak: “Ambrosius Uskup! Ambrosius Uskup!”. Dengan segera suara bayi itu diikuti oleh khalayak ramai yang juga berteriak: Ambrosius Uskup! Ambrosius Uskup! Baik pendukung calon Uskup Katolik, maupun pendukung calon Uskup pihak Arianisme, meneriakkan hal yang sama.
Ambrosius berupaya menolak dengan tindakan keras dan kasar demi menenangkan situasi. Ini sebenarnya hanya trik beliau, dengan harapan bahwa ketika rakyat melihat kekejamannya, mereka berhenti berteriak “Ambrosius Uskup!”.
Tetapi rakyat tidak bisa ditipu atau diperdaya. Mereka memiliki telinga, mata dan hati yang merekam jejak langkah kepemimpinan Ambrosius. Mereka tetap lantang berteriak. Dan itu benar dan terbukti. Ambrosius dengan pelbagai upaya menolak, antara lain pergi mengasingkan diri. Tetapi rakyat dengan cepat menemuinya dan membawanya kembali ke Milan.
Kaisar Valentinianus gembira mendengar berita itu. Demikian juga Probus Sang Gubernur menyetujui penunjukan Ambrosius. Ambrosius akhirnya menyerah, tetapi menuntut agar dia segera dibaptis oleh Uskup Katolik, bukan dari bidaah Arianisme. Setelah dibaptis, Ambrosius ditahbiskan menjadi Imam dan Uskup Milan.
Suara rakyat, suara Tuhan (Vox populi vox Dei).
Hakekat demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yang beralas pada kebebasan dan otonomi. Kebebasan dan otonomi rakyat merupakan fundamen bagi deliberasi rasional yang mengandalkan kekuatan argumentasi dan rasionalitas dari argumentasi itu. Di situ ada proses pencerahan, ada dialektika bahkan perdebatan rasional.
Suara rakyat untuk Ambrosius terutama didorong oleh kebutuhan rakyat akan seorang pemimpin berkualitas. Kualitas yang mereka butuhkan ditemukan dalam diri Ambrosius. Demi suatu kualitas maka hal-hal prosedural (seperti pembaptisan dan penahbisan Ambrosius) mereka tangguhkan. Kualitas mendahului legalitas.
Rakyat Milan cerdas. Legalitas adalah perkara dan argumentasi hukum. Kualitas bukan soal prosedur dan perkara legal-formal. Mestinya kualitas mendahului formalitas dan legalitas. Formalitas dan legalitas adalah soal sosial-politik. Kualitas adalah karunia dan talenta personal yang tidak bisa direkayasa. Rakyat Milan mendahulukan kualitas. Mereka mencari pemimpin bermutu, bukan pemimpin yang sekadar memenuhi syarat legalformal.
Rekam jejak calon pemimpin terang benderang dalam sanubari rakyat, mereka tidak mau dikibuli tim sukses dan pencitraan diri calon pemimpin yang tibatiba agamis dan santun menjelang pemilu. Rakyat tidak terjerembab oleh hoaks dan cerita bohong rombongan haus kuasa, yang tak sungkan menggadaikan Yang Mahakuasa, demi kekuasaan duniawinya.
Pemimpin pilihan rakyat adalah figur bermutu dengan rekam jejak pengabdian yang terbukti. Ia tak tega menipu rakyat agar terpilih, karena dia sadar mengabdi rakyat berarti mengabdi Yang Mahakuasa. Kekuasaan adalah peluang untuk mengabdi dan berkorban. Keluarganya bukan lingkaran sekitar yang tamak dan haus mamon.
Mereka adalah manusia-manusia bermutu yang rela mengekang diri dan tidak tamak. Pemimpin pilihan rakyat menghormati hati nurani dan hak rakyat karena kepada serta demi merekalah dia berkuasa dan menjadi pemimpin. Pemimpin bermutu lahir dari kebebasan dan otonomi rakyat untuk berdeliberasi secara rasional dan berpatokan nurani. Pemimpin pilihan rakyat lahir dari ketulusan mengembalikan kedaulatan penuh dan utuh kepada rakyat, bukan rekayasa manusia harus kuasa dan korporat tamak.)***