OPINI, jpicofmindonesia.com – Dokumenter ini dibuka dengan adegan ringkas di seputar ranjang. Sepasang kekasih yang sedang berbulan madu menikmati sebuah malam panjang. Nyatanya, cinta romantis itu membutuhkan energi yang banyak: lampu tidur 9 watt, kulkas 250 watt, televise 150 watt, laptop 87 watt, pengering rambut 400 watt, dan AC 350 watt.
Butuh 1246 watt untuk kisah cinta satu malam dari sepasang kekasih. Adegan selanjutnya bisa ditebak, tapi yang luput diingat adalah realitas yang terjadi di kilometer terjauh, di mana sumber energi itu diambil. Inilah yang kemudian diceritan Sexy Killers dalam film berdurasi sejam lebih itu.
Sebagian besar pasokan energi listrik bersumber dari PLTU dengan bahan bakar utamanya adalah batu bara. Keberadaan perusahan-perusahan tambang batu bara menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan ini, yang dicita-citakan sebesar 35000 watt oleh Presiden Jokowi pada paruh pertama pemerintahannya.
Baca Juga: JPIC OFM Indonesia Gelar Nonton Bareng “Sexy Killers”
Pembangkit listrik jenis ini dipandang sebagai salah satu pembangkit listrik dengan biaya murah, dibandingkan dengan PLTS atau dengan bahan bakar minyak bumi. Hal yang tidak bisa terhindarkan dari pertambangan batu bara adalah soal kerusakan lingkungan hidup, ketidakadilan terhadap masyarakat, dan beragam soal krusial lainnya seperti munculnya penyakit karena udara yang terpolusi.
Dilema ini kiranya jelas. Di satu sisi, kebutuhan akan energi listrik semakin besar. Di lain sisi, ada persoalan yang muncul seputar tersedianya energi listrik. Sexy Killers menampilkan dengan sangat baik bagaimana persoalan yang muncul dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Namun, bagi saya, ada tiga hal penting yang bisa ditarik dari dokementer garapan Dandhy Laksono dkk ini.
Sebuah Kampanye untuk Golput?
Siapapun yang menonton dokumenter ini pasti akan merasakan kekecewaan terhadap pemerintahan atau bahkan kepada negara. Kita bisa menebak betapa absurdnya negara, seperti juga merasa betapa absurdnya demokrasi itu. Sebuah sistem pemerintahan yang semula diimpikan akan mengutamakan rakyat, berakhir dengan keuntungan di pihak penguasa atau pengusaha. Apalagi ketika dua komponen terakhir ini saling bersetubuh. “Siapa yang bisa kita percayai?” tanya seorang teman selepas menyaksikan dokumenter tersebut. Jawaban yang terdengar kemudian hanya sebuah dengung.
Sexy Killers menampilkan dengan begitu berani perusahan-perusahan tambang batubara yang ada dan siapa saja yang memiliki koneksi dengan bisnis-bisnis tersebut. Dalam keseluruhan film justru diperlihatkan bahwa keempat putra ‘terbaik’ bangsa yang ingin menang di pemilu tahun ini, memiliki koneksi tertentu di bidang perusahan pertambangan, secara langsung atau pun tidak.
“Bukankah siapa pun boleh berbisnis, sejauh semuanya itu legal?” komentar seorang kawan.
Tentu saja benar! Siapapun berhak berbisnis. Soalnya ialah ketika pemegang kekuasaan dan pemilik modal sudah bersetubuh, kita tidak mengenal demokrasi selain suatu bentuk oligarki. Kita tahu bahwa ada aturan yang harus ditepati ketika seseorang berbisnis. Namun, pada praktiknya semua aturan itu kerap jadi lumpuh dan tidak berdaya.
Sexy Killers menceritakan pula perihal 3500 lubang bekas galian batu bara di Kalimantan Timur. Aturan mengharuskan bahwa semuanya itu direklamasi atau ditutup kembali. Pada kenyataannya tidak demikian, karena tentu saja perusahan akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk itu. Antisipasi terhadap kerusakan lingkungan kerap abai diperhatikan. Suatu kelalaian atau kesengajaan yang berdampak besar bagi masyarakat kecil.
Barangkali kita layak bertanya begini: mengapa dokumenter ini muncul di pekan-pekan terakhir jelang pemilihan umum 2019? Mengapa narasi ini tidak menunggu setelah pemilu selesai dan justru muncul ketika perang terhadap kaum golput semakin menguat?
Ada anggapan umum bahwa dokumenter ini seperti sebuah ajakan halus menjadi golput di pemilu tahun ini. Jika anggapan itu benar, bagi saya tak jadi soal. Sebuah ajakan tidak dengan sendirinya menghilangkan kebebasan setiap individu untuk memilih.
Saya justru memahami bahwa Sexy Killers telah memberikan suatu alasan yang sangat rasional untuk tidak memilih salah satu dari kedua calon atau memilih keduanya sekaligus. Artinya, jika para pemilih di tahun politik tidak selalu bisa memberikan alasan rasional untuk memilih atau sebaliknya menuduh kaum tertentu (juga golput) sebagai yang irasional, dokumenter ini justru memberikan jawaban yang sangat rasional atas tuduhan tersebut.
Kecuali itu, hal yang tampak jelas dari Sexy Killers adalah ajakan untuk tidak menjadi pemuja buta terhadap dua calon. Bahwa dengan menonton film ini Anda menjadi golput atau malah memilih salah satu dari kedua calon, semuanya itu menjadi hak Anda. Hal yang patut diingat adalah memuja berlebihan antara kedua calon ini tampak merupakan suatu tindakan absurd. Untuk hal ini kiranya dokumenter itu memberikan alasan yang sangat rasional.
Saya sendiri tetap akan ke TPS pada 17 April mendatang, entah untuk memilih salah satu calon atau memilih keduanya, atau pun untuk tetap memilih kekasih saya. Semuanya akan menjadi rahasia di bilik suara. Barangkali juga untuk alasan yang akan saya jelaskan berikut ini.
Memilih Wakil Rakyat
Ada satu scene menarik dari keseluruhan dokumenter ini. Sebuah percakapan atau diskusi yang terjalin antara pengusaha pertambangan dengan wakil rakyat dari salah satu komisi di Senayan.
Menyaksikan scene ringkas ini, kawan saya lekas berkomentar begini: “ternyata masih ada wakil rakyat yang bekerja di Senayan sana.”
Saya tertawa, sepakat. Memang tak banyak cerita baik yang kita bisa harapkan dari keberadaan anggota dewan di Senayan. Lima tahun terakhir saja mereka hanya menyelesaikan 10 % RUU dari 189 rancangan yang direncanakan (ICW). Angka ini jutru nyaris didekati oleh pencapaian jumlah koruptor yang berhasil ditangkap KPK.
Kita barangkali akan merasa sia-sia memilih anggota dewan. Namun, dokumenter ini bagi saya menjadi satu alarm pengingat untuk memilih wakil dengan pertimbangan rasional. Kita mungkin menemukan banyak sekali orang yang mencalonkan diri di pemilu tahun ini, 7968 orang menurut catatan KPU. Namun, tidak semua orang mencalonkan diri dengan membawa idealisme dan cita-cita publik. Pada titik itu, memilih dengan alasan-alasan rasional merupakan hal yang penting di atas sentiment identitas dan sejenisnya.
Saya membayangkan bahwa andaikan sebagian besar dokumenter Sexy Killers dicurigai sebagai sebuah ajakan halus untuk golput, satu scene singkat itu saya duga pula sebagai sebuah ajakan untuk serius memilih wakil rakyat secara rasioanal.
Yang Seksi akan Membunuhmu!
Merokok barangkali akan membunuhmu, dan tentang hal itu kita sudah terlalu sering diberitahu. Pada setiap bungkusan rokok kita menerima peringatan untuk senantiasa bersikap awas. Kita bisa menjadi begitu takut dengan gambar yang tampak di sana. Tapi, dunia ini tampaknya dipenuhi dengan pembunuh jenis lain. Salah satunya apa yang kemudian oleh dokumenter garapan Watchdog disebut sebagai Penikam yang Seksi.
Saya bayangkan pembunuh yang seksi itu adalah kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan geliat peradaban. Salah satunya adalah soal listrik. Kita bisa muliakan kemajuan ini untuk aneka manfaat yang diperoleh dari sana. Kita menggunakannya dengan cara yang seakan-akan dunia ini dipenuhi dengan sumber listrik yang tak bakal habis dikuras. Listriklah yang membuat kehidupan di kota begitu menggeliat, meskipun ketersediaan sumber dayanya merusak ekosistem di pedalaman Kalimantan.
Betapa seksinya kehidupan perkotaan dengan daya listrik yang terpenuhi. Ketahuilah, yang seksi itu diam-diam menyiapkan belati untuk menikam kita. Polusi yang muncul dari cerbong asap PLTU bisa merusak tubuh seperti juga ia merusak lahan petani atau pun lautan. Diam-diam, yang kita puja sedang bersiap membunuh kita.
Tentu saja, kita akan selalu membutuhkan listrik. Sembari menunggu mukjizat dari kursi kekuasaan, kita barangkali perlu belajar untuk mengubah laku hidup. Kampanye hemat listrik tidak jadi bualan belaka.
Iwan Jemadi (Alumnus STF Driyarkara-sedang menyelesaikan studi Magister di Universitas Indonesia, Jakarta)