Oleh: Iwan Jemadi, S.S
Jpicofmindonesua.com – Manusia tidak mungkin membunuh Tuhan! Kalau itu terjadi, yang terbunuh tentu bukan Tuhan. Yesus bagi kita adalah Tuhan, dan barangkali juga ia tidak seharusnya mati di tangan manusia. Kita sudah terlalu sering diceritakan perihal kematian-Nya dan itulah yang terjadi. Tapi, siapakah sebetulnya yang telah membunuh Yesus? Tentu saja bukan Nietzche atau pun Feurbach!
Masa prapaskah nyaris selesai. Sepekan ke depan, orang-orang Kristen memasuki pekan suci yang dimulai hari ini dengan merayakan minggu palma, sebuah pengenangan akan hari di mana Yesus dielu-elukan di jalanan Yerusalem. Hari itu juga merupakan awal lain menuju Golgota. Banyak drama yang terjadi di sepanjang perjalanan itu, juga muncul variasi tokoh dengan ragam peran.
Bertahun-tahun lalu, di sebuah kelas teologi, kami menerima pertanyaan ini: siapa yang telah membunuh Yesus? Pertanyaan itu lekas mengubah kelas teologi menjadi sebuah ruang penyidikan atas salah satu kasus pembunuhan dalam sejarah. Kami merasa seperti sedang becanda, lalu tertawa sambil meraba-raba jawaban. Dosen pengampu, seorang imam Jesuit, memberi kami kesempatan untuk berdiskusi, mencari literature sedemikian sehingga jawaban kami tidak terdengar seperti bualan, termasuk dengan bersandar pada perikop-perikop tertentu dalam Alkitab.
Tiga Tersangka Utama
Dalam film dokumenter berjudul Who Killed Jesus, jawaban atas pertanyaan ini menjadi tampak jelas. Rupanya kematian Yesus tidak bisa begitu saja diterima hanya sebagai bagian dari iman. Sebaliknya, ada upaya untuk mencari penalaran paling logis perihal tokoh yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus pembunuhan tersebut. Who Killed Jesusdapat dipahami sebagai sebuah upaya ilmiah untuk menemukan hal tersebut.
Kematian Yesus tampaknya bukan hanya sebuah peristiwa iman belaka. Who Killed Jesus justru menunjukkan adanya peran aktif dari pihak-pihak tertentu dalam kasus pembunuhan tersebut. Pertanyaan siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian itu juga berarti suatu upaya untuk mencari siapa dalang yang bermain di belakangnya. Jari film documenter itu mengarah pada tiga pihak, yakni Kayafas, Pilatus dan Yesus sendiri. Ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai tersangka utama dalam kasus pembunuhan bersejarah tersebut. Berikut dasar tuduhan kepada ketiganya.
Kayafas dan Dugaan Pembunuhan Berencana
Kematian Yesus dapat dicurigai sebagai sebuah siasat yang diinginkan Kayafas. Barangkali kita dapat mengatakan bahwa Kayafas memiliki motif di balik pembunuhan tersebut, semacam sebuah keinginan untuk menuntaskan dendam lalu merancangkan pembunuhan. Beginilah ceritanya.
Ketika kasusa pembunuhan itu terjadi, Kayafas sedang menjabat sebagai imam besar (bdk. Matius 26: 57). Jabatan itu memungkinkannya untuk memiliki kewenangan utama dalam segala urusan kebaktian korban di Israel. Kita tahu bahwa imam besar atau imam agung memiliki kedudukan paling tinggi dalam keagamaan Yahudi. Sekali setahun ia memasuki tempat maha kudus untuk mempersembahkan korban perdamaian untuk dosa seluruh umat.
Tiap-tiap tahun pula seluruh umat Yahudi bergerak menuju Yerusalem untuk merayakan paskah dan sekaligus juga untuk mempersembahkan korban di Bait Allah. Di samping itu, mereka diwajibkan untuk menyucikan diri.
Di halaman bait Allah biasanya dijual segala macam keperluan untuk persembahan atau pun sebagai ruang untuk menukar uang. Sebagai imam Agung yang mengurus kegiatan peribadatan dan persembahan korban di Bait Allah, Kayafas kiranya mendapat keuntungan dari situasi seperti itu.
Sayangnya, praktik seperti inilah yang dikecam oleh Yesus. Kita bisa membayangkan kisah pengusiran di Bait Allah sebagai salah satu indikasi keprihatinan Yesus atas penyalahagunaan Bait Allah sebagai tempat bisnis (bdk. Mat 21:12-13, Mrk. 11:15-19, Luk. 19:45-48, dan Yoh 2:13-16). Yesus tentu tidak menyetujui praktik semacam itu. Dalam cerita Injil dikatakan bahwa Ia mengecam dan membalikkan meja-meja penukar uang (bdk. Luk. 21:2).
Bagi Kayafas, tindakan Yesus merupakan alarm berbahaya untuknya, untuk posisi dan jabatan yang dimiliki. Ia dan para imam patut khawatir akan hal itu. Bagi mereka Yesus merupakan ancaman bagi kemapanan, akan keterjaminan yang dimungkinkan dari praktik penjualan/dagangan di depan bait Allah. [Kita tahu skenario semacam ini akan selalu ada sepanjang sejarah. Bahwa orang atau pihak yang kemapanannya sedang terancam akan mudah mengambil jalan pintas untuk menyingkirkan hambatan, yakni dengan membunuh.]
Inilah yang terjadi pada Kayafas, sebagaimana diuraikan dalam Who Killed Jesus. Dia harus menghentikan Yesus agar bebas dari kekhawatirannya sendiri. Dia harus mengatasi Yesus yang menggangu kemapanan diri dan kelompoknya sendiri. Begitulah kemudian yang terjadi. Seorang tokoh yang memperjuangkan kebaikan bersama kerap menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari kelompok-kelompok tertentu. Dibenci dan bila mungkin dibunuh!
Kisah di taman Getsemani boleh dilihat sebagai lanjutan dari upaya Kayafas untuk menghentikan Yesus (bdk. Mat. 26:47-50, Luk. 22:47-53, Yoh. 18:1-11, Mrk. 14:43-50). Para penginjil menceritakan bahwa dalam peristiwa itu ‘terdapat hamba imam besar yang telinganya dipotong oleh seorang murid (bdk.Mat. 26:51). Atau dalam Injil Yohanes cerita ditambahkan dengan hadirnya para penjaga bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala (bdk.Yoh. 18:3).
Keterlibatan seorang hamba imam besar kiranya juga memperlihatkan keterlibatan imam besar sendiri, karena tentu saja seorang hamba pada masa itu, adalah orang yang bertindak seturut perintah tuannya. Sementara penjaga bait Allah, yang bertindak karena perintah imam-imam kepala, kiranya juga jika dirunut berakhir pada Kayafas. Imam besar merupakan kedudukan tertinggi dan dengan sendirinya segala tindakan yang diambil oleh imam-imam kepala, selalu mengandung unsur perintah atau sekurang-kurangnya restu dari imam besar.
Kita bisa menyimpulkan bahwa persitiwa penangkapan Yesus di taman Getsemani merupakan bagian dari skenarioKayafas untuk menghentikan Yesus. Sebuah pembunuhan berencana!
Untuk dapat memojokkan Yesus, Kayafas membutuhkan orang yang dapat memberikan kesaksian yang memberatkan Yesus (bdk. Mat. 14:53-65). Penginjil Matius menceritakan tentang beberapa orang yang memberikan kesaksian palsu. Mereka menemukan alasan yang cukup untuk memberatkan Yesus terkait tuduhan “penghinaan terhadap Bait Allah”.
Perlu diingat bahwa Bait Allah merupakan titik sentral bagi kehidupan orang Yahudi. Penghinaan atasnya merupakan satu kejahatan yang layak untuk dihukumi mati. Namun, Kayafas dan para imam terhimpit oleh kenyataan bahwa hanya Wali Negara Romawilah yang berhak atas pengadilan dan penghukuman. Karena itulah mereka membawa Yesus kepada Pilatus!
Jadi, meskipun Kayafas tidak menjatuhkan hukuman mati atas Yesus, hal yang tentu saja bukan merupakan kewenangannya, tetaplah dikatakan bahwa ia memiliki skenario awal untuk membunuh Yesus!
Pilatus dan Kekuasaan yang Bungkam
Pada waktu itu, tokoh kita ini merupakan wali negeri Romawi untuk wilayah Yudea. Setiap tahun ia menghadiri pesta besar orang Yahudi, yakni perayaan Paskah. Kematian Yesus terjadi pada waktu itu.
Pilatus mengambil peranan di dalam peristiwa ini karena sebetulnya dialah yang memiliki kuasa untuk menentukan siapa yang layak untuk dihukum dan dibebaskan. Persis, dalam kasus Yesus, Pilatus tidak berbuat apa-apa selain menyerahkannya kepada orang banyak untuk disalibkan (bdk. Mrk. 15: 15). Pilatus memilih bungkam!
Dalam Kitab Suci, Pilatus digambarkan sebagai sosok yang tidak tampak jahat, sehingga barangkali terkesan berlebihan jika kemudian ia ikut serta dilibatkan dalam kasus kematian Yesus. Namun, Who Killed Jesus menguraikan beberapa alasan yang menyudutkan Pilatus.
Pertama dan terutama adalah perihal keraguan Pilatus dalam mengambil keputusan. Ia sangat ragu dalam memutuskan, bahkan ketika ia tidak menemukan kesalahan untuk menghukum Yesus (bdk. Luk. 23:14). Pilatus menjatuhkan hukuman atas orang yang tidak terbukti bersalah hanya demi memuaskan orang banyak (bdk. Mrk. 15:15).
Pilatus sebetulnya dilemma. Di satu sisi ia tidak menemukan kesalahan pada Yesus, tetapi di sisi lain ia takut akan munculnya pemberontakan seandainya Yesus dibebaskan. Dalam keragu-raguan itu, ia melepaskan Yesus ke tangan rakyat yang memiliki hukumnya sendiri, yakni penyaliban. Pilatus sebetulnya memiliki wewenang untuk melepaskan seorang terhukum pada hari raya Paskah, tetapi yang dipilihnya kemudian adalah Barabas.
Yesus dan Penyerahan kepada Kematian
Who Killed Jesus juga menuduh Yesus sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas kasus pembunuhan tersebut. Tuduhan ini tampak seperti sebuah rumusan lain untuk mengatakan bahwa kematian Yesus sebetulnya sebuah kasus bunuh diri. Tentu tidaklah dimaksudkan demikian.
Dalam Injil diceritakan bahwa Yesus memasuki kota Yerusalem untuk merayakan Paskah. Hal yang menarik ialah bahwa dalam perjalanan itu Ia diterima sebagai Raja dan diarak, juga dielu-elukan (bdk. Luk. 19:28-44, Mat. 21:1-9, Mrk. 11:1-10, Yoh. 12:12-15).
Tindakan yang dilakukan oleh Yesus tersebut dinilai sangat provokatif. Yesus sebenarnya tahu tindakan yang diambil dan akibat dari setiap tindakan itu. Dia paham bahwa setiap tindakan yang dilakukan-Nya selalu mungkin berakibat fatal, ia barangkali akan dihukum dan dibunuh. Namun persis dengan segala kesadaran-Nya, Ia memilih untuk tetap tinggal di Yerusalem, padahal sebenarnya ia bisa saja meninggalkan Yerusalem pada hari itu.
Lebih lanjut terlihat bahwa seolah-olah Yesus telah mengetahui masa depan yang telah ditentukan untuk-Nya. Perhatikan kisah ketika ia menyuruh Yudas untuk segera melakukan apa yang ingin dilakukannya, pada saat perjamuan paskah. Yesus seolah-olah membiarkan dirinya berada dalam ketegangan. Tampak bahwa Yesus membiarkan diri-Nya berada dalam kemungkinan untuk dihukum mati, juga memperlihatkan bahwa hidup Yesus sebenarnya sudah ditentukan.
Terhadap orang-orang yang sadar akan bahaya kematian, tetapi memilih tidak menghindarinya, kita kerap berkomentar: “Mungkin begitulah jalannya” atau “Sudah takdirnya!” Saya membayangkan pada hari kematian Yesus, barangkali ada pula orang-orang yang berkomentar demikian. “Aihh, mungkin sudah begitu umurnya!”
Tuduhan ini tentunya dilepaskan dari aneka refleksi teologis dan iman yang melihat kematian Yesus sebagai upaya untuk menyelematkan dunia atau menebus dosa-dosa. Apa yang diperlihatkan dalam Who Killed Jesus hanya merupakan upaya reka ulang peristiwa historis!
Siapa dari ketiga tersangka ini yang kemudian didakwa sebagai sebagai pelaku utama? Entahlah. Yang jelas bukan NIetzche atau Feurbach yang telah membunuh Yesus!! (…….bersambung)
Penulis adalah Alumnus STF Driyarkara Jakarta