INSPIRASI, JPIC OFM Indonesia – Politik berarti mengurus kesejahteraan umum. Mereka yang berpolitik mesti memilki kekuatan spiritual sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam membaktikan diri demi kesejahteraan umum. Egoisme yang berarti mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok haram hukumnya menjadi inspirasi dan motivasi berpolitik. Politisi adalah manusia yang selesai dengan dirinya (secara sosial-ekonomi dan sosial-religius). Mereka adalah pengabdi kemanusiaan dan berbakti untuk kesejahteraan umum. Politisi membutuhkan kekuatan komitmen untuk mengabdi, dan hal tersebut bersumber pada prinsip-prinsip etika, moral, dan agama. Oleh karena itu, spiritualitas merupakan prasyarat mutlak dalam politik. Tanpa spiritualitas politik ibarat badan tanpa jiwa.
Basis Teologis-Moral dari Spiritualitas Politik
Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, warga Gereja Katolik Indonesia, sudah terbiasa dengan kata-kata Mgr. Sugijapranata tentang manusia Katolik Indonesia, yakni “seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia”. Kata-kata ini dengan amat cermat dan sempurna merumuskan spiritualitas politik dari sudut pandangan Gereja Katolik. Mengapa?
Pernyataan tersebut mengingatkan bahwa warga Gereja Katolik adalah warga masyarakat di mana pun mereka berada, dan karena itu mereka turut serta (berpartisipasi) dalam kehidupan masyarakat di mana pun mereka berada (Gaudium et Spes (GS) 1, 36, 40- 42; Lumen Gentium (LG) 8, 33,36; AA 6, 7,13, 14; Dekrit Conenientes ex Universo 4-6; 17-19, 31-38, 61-62, 70; Evangelii Nuntiandi (EN) 18, 29, 35, 37, 39, 50). GS menyebut umat Katolik sebagai “warga dua pemukiman” (Bdk. GS. 43). Pesan untuk menjadi “garam dan terang” merupakan inspirasi dasar mengapa mereka mesti melebur ke dalam dunia, menjadi energi dan kekuatan, untuk mengembangkan karakter moral-etis atau spiritual dari suatu masyarakat (Bdk. SRS. 41). Gereja tidak mempromosikan separasi antara Negara dan warga Gereja; antara iman dan perbuatan, antara warga Gereja dan warga masyarakat. Yang dipegang teguh oleh Gereja adalah pemisahan antara agama dan Negara, antara Gereja dan politik praktis, bukan politik pada umumnya.
Bila ditelusuri asal-muasal teologis-historis dari pendirian di atas, kita dapat menemukannya kembali dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama PL) maupun Perjanjian Baru (PB). Kepedulian dan keterlibatan Allah dalam hidup manusia, terdorong oleh kondisi hidup nyata manusia dalam hal sosial, ekonomi, politik dan spiritual. Panggilan Abraham untuk hijrah dari tanah kelahirannya, dipicu oleh hasrat memperbaiki hidup di wilayah baru, yakni di tanah yang diberi Yahweh kepada Abraham (Bdk. Kejadian 12). Demikian pula, pengungsian keturunan Yakub ke Mesir, yang kemudian berkembang-biak di sana, juga disebabkan oleh kondisi kehidupan ekonomi, tepatnya kebutuhan akan makanan (Bdk. Kejadian 42-43).
Pembebasan dari Mesir dan pemberian tanah terjanji, menjawab kebutuhan manusiawi umat Israel, yakni pembebasan dari ketertindasan dan menerima ruang kehidupan (tanah) di mana mereka dapat hidup dan membangun diri sebagai satu bangsa merdeka (Bdk. Keluaran 3). Selanjutnya sejarah kehidupan Israel memperlihatkan kepedulian dan intervensi Allah dalam kehidupan mereka pada dua hal yakni agama (perjanjian) dan moralitas (peri hidup) sebagai bangsa. Para penguasa atau raja dipersepsikan sebagai penguasa atas nama Yahweh: Allah memilih dan mengangkat (Bdk. Clodovis Boff dan George Pixley, The Bible, The Church and the Poor, 1989, pp.29-36). Legitimasi mereka bukan hanya legitimasi religius, tetapi juga legitimasi moral. Para nabi, hadir atas penggilan Allah sebagai kekuatan religius dan moral, untuk tetap mengarahkan dan membimbing Israel agar setia pada agama dan moralitas. Dan karena itu kritik para nabi menyangkut agama dan moralitas, yang tidak berbuah dalam transformasi kehidupan umat Israel yang semakin makmur dan damai secara social-politis dan ekonomi, serta semakin setia dalam iman (Bdk. Clodovis Boff dan George Pixley, ibid, pp. 53-67).
Di dalam PB, gagasan atau kepedulian Allah pada kehidupan manusia, tetap berawal dari kondisi kehidupan manusia yang memprihatinkan. Injil Yohanes 3:16 menulis bahwa konsern Allah akan dunia disebabkan oleh kasih. Kasih sebagai prinsip moral yang paling dasar mengandung di dalamnya: keprihatinan, solidaritas dan pengorbanan (pemberian diri), demi transformasi hidup manusia dalam semua dimensinya secara integratif. Penderitaan Yesus adalah konsekuensi pemberian diri dalam kasih. Demikianlah dalam derita Yesus, derita manusia menemukan maknanya ([1] John M. McDermott, The Bible on Human Suffering, 1990, pp.100-103).
Atas dasar itu kita dapat memahami, mengapa deklarasi visi dan misi perutusan Yesus bertema dasar pembebasan manusia dalam segala dimensinya. “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lk 4:18-19// Yes 61:1-2).
“Miskin, buta, tawanan, tertindas” adalah kata-kata yang menjelaskan kondisi negatif dalam hidup manusia, yang bertentangan dengan keluhuran martabat manusia sebagai “imago Dei”. Perutusan Yesus pada hakekatnya tidak lain dari “pemulihan martabat luhur manusia” gambar dan rupa Allah. Itulah yang kita mengerti dan pahami sebagai keselamatan. Konsep keselamatan Kritiani itu “integratif” – yang material dan spiritual; surgawi dan duniawi; jiwa dan raga; hukum dan moral. Hal itu nampak dalam seluruh tindakan penyelamatan Yesus: ia mengampuni dosa (teologis/spiritual), dan juga menyembuhkan pelbagai macam penyakit (fisik/material); Ia berbelaskasih (spiritual/moral) dan ia memberi makanan kepada yang lapar.
Dalam pribadi Yesus kita menemukan integrasi utuh-sempurna dari tindakan spiritual dan politis. Karena itu Yesus dapat dan tidak takut bertindak melampaui aturan atau norma agama, demi sesuatu prinsip etis-moral dan spiritual. Yesus tidak takut akan kutukan surga karena melanggar Sabath; karena apa yang dikerjakan-Nya selaras dengan kehendak Dia yang mengutus-Nya. Bagi Yesus tuntutan spiritual-moral lebih utama dari pada aturan ritual agama: mana yang lebih baik dilakukan pada hari Sabath, menyelamatkan hidup manusia atau membunuh? (Markus 3:4; Lukas 6:9).
Uraian ini membantu menjelaskan mengapa kita bisa mengatakan bahwa tugas perutusan Yesus adalah sesuatu yang politis – menyangkut kesejahteraan dunia dan manusia, karena itulah tuntutan moral-spiritual utama bagi mereka yang percaya kepada Allah peduli atau Allah moral. Iman akan Allah seperti itu bukan lagi perkara iman pribadi, tetapi iman sosial (iman publik) (Michael J. Himmes and Kenneth Himes OFM, Fullness of Faith, 1993, pp.4-10). Pada titik ini spiritualitas politik seide dengan yang digagas John Baptis Metz dengan istilah deprivatisasi iman. Paus Fransiskus menuntut integrasi hidup beriman dan tanggungjawab sosial: “Saya adalah perutusan di atas muka humi ini; itulah alasan mengapa saya berada di dunia ini. Kita harus mengenal diri kita sebagai dimeteraikan, atau diberi merek, dengan api untuk perutusan membawa terang. Memberkati, memberi daya hidup. Membangkitkan, menyembuhkan dan membebaskan. … Tetapi sekali kita memisahkan kewajiban kita di satu sisi dari kehidupan pribadi kita di sisi lain, segala hal berubah menjadi kelam dan kita akan selau mencari pengakuan atau membela kebutuhan-kebutuhan kita. Kita berhenti menjadi umat” (Evangelii Gaudium (EG) 273).
Spiritualitas Politik: Misi Sosial Gereja
Jika mencermati pendasaran teologis dari spiritualitas politik di atas, maka kita menemukan argumen mengapa dalam seluruh tradisinya Gereja mengintegrasikan keprihatinan sosial ke dalam tugas perutusan Injil (GS. 43). Benar bahwa dalam sejarahnya, integrasi itu tidak serba mulus dan sukses. Bahkan pada masa atau zaman tertentu Gereja menilai pengintegrasian itu sebagai penyimpangan dari pewartaan Injil, karena Gereja mempercayai dikotomi antara yang duniawi-surgawi, material-spiritual, politik-ibadah/agama, yang Ilahi – manusiawi.
Memasuki akhir abad 19, Gereja berubah arah, baik karena tekanan atau kritikan kaum modernis, maupun dan terutama karena elaborasi hukum kodrat yang memberi landasan kokoh pada kepedulian sosial Gereja. Alasannya adalah penghormatan pada kodrat luhur manusia, dan bahwa setiap bentuk penindasan terhadap manusia, dinilai tidak sesuai dengan keluhuran martabat manusia. Sejak ensiklik sosial pertama Rerum Novarum (1891) secara terus menerus Gereja konsisten menempuh jalan baru, yakni kepedulian social sebagai wujud nyata pewartaan Injil untuk masa kini (GS. 3).
Bagi Gereja jelas bahwa keluhuran martabat pribadi manusia adalah kunci dasar untuk merancang setiap bentuk aksi politis, sosial, ekonomi dan kultural secara integratif, sehingga mengutamakan yang satu tidak berarti pengabaian dan pengorbanan untuk dimensi lainnya. Konsep inti yang diperkenal Gereja melalui ajaran sosialnya adalah membangun manusia seutuhnya (Populorum Progressio (PP) 14, 15, 21; Octogesima Adveniens (OA)14; Centesikus Annus (CA) 43). Manusia dalam segala dimensinya, mesti secara adil dan proporsional mendapat perhatian dalam setiap kebijakan politik. Untuk itu maka spiritualitas politik, yang diajarkan Gereja melalui ajaran sosialnya mesti menjadi referensi atau acuan bagi setiap pengambil keputusan atau kebijakan politik (Deus Caritas est 28; Laborem Exercens 1).
Melalui ajaran sosialnya Geeja tidak hendak mengajarkan atau menawarkan suatu ideologi politik atau pembangunan. Maksud Gereja adalah memberikan prinsip-prinsip etis moral, kriteria-kriteria penilaian (SRS). Gereja tidak apatis atau alergis pada politik, tetapi Gereja bergerak dan terlibat pada tataran spiritualitas politik, politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai Kerajaan Allah: keadilan, perdamaian, solidaritas, option for the poor, ekologi, HAM, kesejahteraan umum dan penghargaan terhadap HAM.
Hal ini memberikan penjelasan pada kita mengapa dalam masa-masa akhir ini Gereja lebih intens terlibat dalam persoalan-persoalan politik. Tentu saja Gereja tetap dituntut untuk setia pada tugas perutusan dasarnya yakni mewartakan Injil. Namun ketika pewartaan Injil dialamatkan kepada manusia dalam keutuhannya, maka pewartaan Injil tidak bisa tidak mengena pada keprihatinan hidup manusia dalam keutuhannya. Tugas mewartakan Injil tidak bisa tidak menyentuh persoalan keadilan, kesejahteraan umum, HAM dan lingkungan hidup (Bdk. EG. 24; EN 14, 28, 32; Laudato Si 3-7, 63).
Dengan kesadaran seperti itu maka sudah sewajarnya dan bahkan seharusnya Gereja melihat bahwa mempromosikan spiritualitas politik demi pencapaian politik bermoral/beretika membantu secara efektif pencapaian tujuan kesejateraan umum. Upaya tersebut merupakan bagian integral dari tugas mewartakan Injil. Upaya tersebut juga berarti membantu Negara atau pemegang kekuasaan politik untuk menyelenggarakan Negara dalam batas-batas moral (Bdk. GS. 74).
Dalam tugas tersebut Gereja tidak sedang mengincar posisi kekuasaan atau keuntungan-keuntungan tertentu bagi dirinya. Satu-satunya motivasi Gereja adalah bahwa kerajaan Allah menjadi semakin nyata kini dan di sini, melalui perjuangan dan konsern Gereja, yang ada untuk dunia, agar dunia ini menjadi tempat Kerajaan Allah secara antisipatif hadir dan dialami (SRS. 41-42).
Akhir kata
Spiritualitas politik mesti menjadi kesadaran, pengetahuan dan pergumulan setiap insan politisi Katolik. Seluruh argumentasi yang dibangun dalam tulisan ini mau menegaskan bahwa spiritualitas politis merupakan konsekuensi atau tepatnya aktualisasi dari antropologi Kristiani yang menjunjung tinggi martabat pribadi manusia. Manusia mesti menjadi tujuan dan motivasi setiap aktivitas politik. Politik harus menjadikan kesejahteraan umum sebagai satu-satunya tujuan. Dalam kesejahteraan umum setiap dan semua manusia, martabat pribadi dimuliakan berdasarkan asas keberadaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Jika gagal mewujudkan kesejahteraan umum, maka politik gagal mewujudkan makna dasarnya, dan para politisi tidak lebih dari gerombolan yang merampok kesejahteraan rakyat.)*** (Versi cetak tulisan ada di Gita Sang Surya, edisi Maret – April 2019)
Dr. Peter C. Aman, OFM, Penulis adalah Dosen STF Driyarkara, Unika Atma Jaya, Jakarta, dan Ketua Komisi JPIC OFM Indonesia