Seruan Aksi

Hari Anti Tambang [HATAM] 2019

***

SIARAN PERS, jpicofmindonesia.com – Investasi berbasis komoditas tambang telah terbukti sebagai investasi yang rakus lahan, rakus air, sarat akan pelanggaran hak azasi manusia, serta jauh dari kata keberlanjutan lingkungan. Daya rusak industri pertambangan selama ini telah berhasil menciptakan pengungsi-pengungsi sosial-ekologis, yakni mereka yang ruang hidupnya dirampas dan dirusak, sehingga tak lagi melanjutkan kehidupannya dengan normal seperti semula; mereka yang dipaksa hidup berdampingan dengan krisis; serta mereka yang hidup tanpa adanya jaminan keselamatan akibat prasyarat keselamatan hidupnya tak terpenuhi – dihancurkan oleh industri tambang.

Bencana Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur merupakan salah satu situs tragedi pengungsian sosial-ekologis, di mana 640 hektar lahan di sepuluh desa, 10.426 rumah,  terendam lumpur panas dan memaksa 22.214 warganya mengungsi. Tragedi ini yang menjadi tonggak awal Hari Anti Tambang (HATAM) yang, diperingati setiap 29 Mei, sebagaimana Lumpur Lapindo pertama kali menyembur, 29 Mei 2006 lalu. Tidak hanya Lapindo, potret warga yang tergusur dan dipaksa mengungsi juga terjadi di industri pertambangan lainnya, di berbagai daerah di Indonesia. Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, misalnya, satu desa masyarakat adat Dayak Basap dipaksa pindah, menjauh dari wilayah adatnya yang ditambang oleh Kaltim Prima Coal. Sementara di Pulau Romang, Maluku, di mana 3.954 warganya berencana direlokasi ke pulau lain akibat tempat tinggalnya dijadikan konsesi tambang emas PT Gemala Borneo Utama; atau dengan apa yang terjadi di Bengkulu, dimana 12.000 jiwa terpaksa mengungsi dan 30 orang tewas akibat bencana banjir di lima kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu akibat rusaknya kawasan hulu Sungai Bengkulu oleh aktivitas pertambangan batubara.

Daya rusak tambang tidak hanya berhenti pada penghancuran sosial – ekologis, namun juga merusak bentang politik Indonesia. Demokrasi Indonesia yang sangat bertumpu pada politik elektoral dengan berbiaya besar, menjadi pintu masuk bagi pemodal politik, terutama pelaku industri berbasis lahan skala luas: Pertambangan, Perkebunan, Kehutanan, dan Properti. Para oligark industri ekstraktif ini yang kemudian menunggangi bentang politik Indonesia melalui momen-momen politik elektoral seperti Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Legislatif, dan Pemilihan Presiden. Rezim yang dihasilkan oleh proses politik elektoral yang sudah dibajak ini yang kemudian menjadi pangkal persoalan, mulai dari perusakan lingkungan hingga perampasan ruang hidup, lalu memaksa rakyat menjadi pengungsi di tanahnya sendiri.

Politik elektoral yang menghabiskan uang rakyat begitu besar ini juga menghancurkan upaya-upaya warga dalam menjaga dan menyelamatkan sumber penghidupannya, mulai dari kampung, lahan-lahan pangan, sumber air dan hutan. Dapat dipastikan, siapapun rezim pemerintahan yang dihasilkan akan bekerja untuk memenuhi kepentingan para pemodal politiknya. Bagai lingkaran setan: industri ekstraktif membiayai politik, rezim politik yang dihasilkan akan mengabdi pada kepentingan industri ekstraktif. Tak heran jika begitu banyak perilaku koruptif, baik itu kepala pemerintahan daerah atau pusat, maupun jajaran pembantunya di kementerian atau birokrasi di bawahnya, yang bekerja memudahkan segala operasi industri ekstraktif di Indonesia.

Kementerian ESDM merupakan salah satu simpul birokrasi pemerintahan terpenting dalam melanggengkan oligarki ekstraktif di Indonesia. Kantor kementerian inilah yang selama ini berfungsi menyediakan perangkat kebijakan dan perizinan yang diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun Kepala Daerah untuk memfasilitasi ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Kantor-kantor pengurus publik inilah yang harusnya bertanggung jawab atas segala permasalahan perampasan dan perusakan ruang hidup rakyat oleh industri ekstraktif.

Untuk itu, JATAM dan seluruh simpul mendesak pembekuan kantor ESDM baik pusat maupun daerah sebab fungsi, wewenang dan instrumen perizinan yang diterbitkannya adalah sumber perusakan dan pelayan kepentingan korporasi, baik perbankan/keuangan maupun industri pertambangan.

Pembekuan ini diperlukan sehingga Indonesia mempunyai satu masa transisi untuk mempertimbangkan kembali arah industrialisasi dan strategi penganggaran pendapatan dan belanja publik, sebagai bentuk tanggung-jawab atas krisis ekologis dan pengungsian sosial di seluruh kepulauan dan perairan Indonesia, yang didorong terutama oleh industri ektraktif. Industrialisasi harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga negara/angkatan kerja dan bagi penerapan keadilan sosial. Pendapatan negara tidak boleh dibangkitkan dengan mengorbankan syarat-syarat keselamatan warga negara dan alam jangka panjang.

Pembekuan kantor-kantor ESDM ini harus diikuti dengan penyusunan skenario transisi, mulai dari penyelamatan ekonomi Indonesia dari ketergantungan ekonomi tambang, pemulihan ruang hidup warga, penegakan hukum, maupun peralihan dari energi fosil ke energi bersih – terbarukan.

Selama pembekuan ini berlangsung, aparat negara harus menjaga dan memastikan bahwa wewenang legislasi/penerbitan izin ESDM berhenti. Pembekuan ini dilakukan untuk menjaga agar objek vital nasional, yakni seluruh daratan kepulauan dan perairan indonesia, tidak mengalami perusakan lebih lanjut.

***

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here