Pater Johny Dohut OFM sedang meninjau lokasi bersama warga di hutan sekitar Wae Sano. Dok. Valens Dulmin.

JPIC OFM-Labuan Bajo,

Apakah ada kemungkinan Proyek PLTP Wae Sano akan mempersyaratkan pengungsian warga di sekitar wilayah kerja Panas Bumi Wae Sano?

Pertanyaan tersebut muncul dalam diskusi bertajuk “Menimbang Rencana Kegiatan Eksplorasi Panas Bumi Wae Sano” di Labuan Bajo, Jumat (17/4) yang  lalu.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Masyarakat yang terdiri dari JPIC-OFM Indonesia, JPIC Keuskupan Ruteng, SunSpirit, dan Flores Legal Aid Institute (FLAI) tersebut menghadirkan Hendro Sangkoyo dari Sekolah Demokrasi Ekonomi Jakarta dan Jhony Dohut, OFM dari JPIC-OFM Indonesia serta dimoderatori oleh Valentinus Dulmin. Pihak Pemda Manggarai Barat dan PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) juga diundang untuk menjadi pembicara, tetapi kedua pihak berhalangan untuk hadir.

Pertanyaan tersebut diajukan oleh Jhony Dohut, OFM ketika memaparkan hasil riset JPIC-OFM Indonesia atas rencana kegiatan eksplorasi panas bumi di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat. Menurut Jhony, saat ini masyarakat di daerah kerja panas bumi Wae Sano dilanda kecemasan lantaran adanya informasi soal perelokasian atau pengevakuasian warga di sekitar titik-titik pemboran jika rencana proyek panas bumi jadi dikerjakan masyarakat.

“Warga di dusun Nunang, Dasak dan Lempe mengatakan kepada kami bahwa di dalam dokumen sosialisasi dari PT. SMI ada kata evakuasi. Mereka memahami kata itu sebagai perpindahan. Jadi mereka takut jika PT. SMI melakukan pengeboran di titik-titik yang sudah ditentukan berarti mereka harus pindah dari kampung halaman mereka. Itu yang mereka cemaskan,” jelas Jhony.

Ada beberapa pertanyaan lain yang muncul dalam diskusi tersebut, antara lain “apakah akan ada eskalasi risiko bencana di ruang hidup Manggarai Barat terutama di sekeliling Sano Nggoang? apakah ada kemungkinan bahwa proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) Wae Sano akan menyebabkan gempa picuan? Apakah ada kemungkinan terjadi perubahan tata air (hidrologi) di bentang alam yang jauh lebih luas dari wilayah kerja Panas Bumi Wae Sano?”

Proyek PLTPB Memicu Gempa?

Pemandangan yang indah di Wae Sano.
Dok. Alberto Dino OFM

Pertanyaan itu muncul karena beberapa tahun terakhir terjadi bencana gempa dan perubahan tata air di bentangan alam tempat proyek panas bumi berada. Menurut Hendro Sangkoyo pada tahun 2006 di Basel, Swiss terjadi sekitar 30 gempa bumi, yang paling besar 3,4 skla Richter.

“Haring, seorang ahli geologi, mencatat munculnya 30 gempa bumi ketika ia menyuntikan air bertekanan tinggi ke dalam lapisan bebatuan 4,8 km di bawah permukaan tanah. Ia mencoba membangkitkan listrik lewat sebuah proses yang disebut geothermal yang diperkuat. Namun, dari proses tersebut justru dihasilkan gempa. Ketika analisis seismik memastikan bahwa gempa-gempa tersebut berpusat di dekat situs pengeboran, pejabat kota menjatuhkan denda 9 juta dolar. Denda tersebut setara dengan kerusakan bangunan yang timbulkan akibat rangkaian gempa”.

Peristiwa paling mutakhir adalah gempa di Pohang, Korea Selatan pada 17 November 2017. Gempa yang berada pada posisi 112 km barat daya Seoul EGS Perintis dengan nilai proyak 38 juta dollar  menjadi gempa terburuk dalam sejarah Korea akibat PLTPB. Sangkoyo, mengutip Kwanghee Kim, ahli gempa di Pusan National University, Busan, Korea Selatan , menjelaskan  “besaran gempa  5,4, Skala Richter, menyebabkan  82 orang  luka-luka, dan 200 rumah hancur. Gempa Pohang lebih besar daripada yang diramalkan oleh teori-teori yang ada. Gempa Pohang jauh lebih parah bila dibandingkan dengan gempa-akibat PLTPB di Basel, Swiss 2006. Gempa berawal tepat di bawah sumur injeksi air-limbah ke dalam bumi.

Pengalaman di belahan dunia lain dan hasil riset terkait kerja PLTPB itu memunculkan pertanyaan baru “apakah pengembangan pembangkit energi dari ekstraksi panas bumi di Indonesia telah menerapkan asas kehati-hatian, mengingat Indonesia adalah bagian dari wilayah Cincin Api (Ring of Fire)?”, tanya Sangkoyo. Menurut Sangkoyo, tanpa penerapan asas kehati-hatian tersebut, Indonesia khususnya wilayah PLTPB dan sekitarnya tidak luput dari bencana yang dipicu oleh proyek PLTPB sebagaimana terbukti terjadi di Basel, Swiss, Pohang dan beberapa negara lainnya.

“Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab oleh PT. SMI sebagai pelaku yang melaksanakan kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano”, jelas Johny. Johny menjelaskan bahwa pemberian informasi kepada masyarakat terkait rencana dan kerja proyek panas bumi Wae Sano  harus dilakukan secara komprehensif. “Jangan ada yang ditutup-tutupi agar warga yang akan terkena dampak langsung pengerjaan proyek tersebut dapat memahami cara kerja dan dampak pembangkit listrik tenaga panas bumi”.

Pemerintah Harus Berpikir Jernih Tentang Resiko Panas Bumi

Direktur SunSpirit, Afioma, yang hadir dalam diskusi menegaskan bahwa para pengambil kebijakan harus berpikir secara jernih dalam membuat keputusan mengenai proyek eksplorasi panas bumi Wae Sano. “Setelah mendengar paparan tentang resiko bencana yang terjadi akibat proyek panas bumi dan mendengar cerita kecemasan masyarakat di Wae Sano, kami menyimpulkan bahwa kehadiran proyek panas bumi ini sungguh mencemaskan masyarakat Wae Sano dan sekaligus membawa resiko bencana tidak hanya untuk masyarakat di wilayah kerja panas bumi tetapi juga wilayah-wilayah sekitarnya. Pemerintah harus jernih berpikir agar tidak gampang memberikan izin bagi kegiatan eksplorasi panas bumi tersebut,” jelas Afioma.

Menurut Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Marten Jenarut, SH, MH, kegiatan investasi panas bumi merupakan kegiatan berbasis ekologi. Ia menjelaskan, “kegiatan investasi berbasis ekologi tidak hanya menjadi persoalan ekologi, tetapi juga menjadi persoalan sosial dan kemanusiaan. Kegiatan ini (eksplorasi panas bumi) sangat berkaitan dengan rasa keadilan. Oleh karena itu, kita selalu mengharapkan kegiatan eksplorasi/eksploitasi geotermal Wae Sano harus memperhatikan hak-hak dasar masyarakat dan rasa keadilan masyarakat”.

Sementara itu, Direktur Flores Legal Aid Istitute (FLAI), Florianus Sp. Sangsun, SH, M.H, dihubungi terpisah setelah diskusi menegaskan dirinya akan terlibat dan membantu masyarakat dalam upaya mempertahankan hak-hak mereka atas tanah, mata air, rumah, serta fasilitas publik yang terkena atau terdampak proyek geotermal tersebut termasuk melakukan Land Acquisition Legal Assesment yang mencakup pengkajian pola ganti rugi tanah oleh perusahaan berdasarkan kesepakatan adat.

Diskusi yang berlangsung di aula Kevikepan Labuan Bajo sedianya dihadiri oleh Dinas-Dinas terkait, DPRD Manggarai Barat, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada di Kabupaten Manggarai Barat. Sayang, hanya dinas kesehatan dan beberapa kelompok organisasi termasuk para awak media yang hadir dalam diskusi tersebut. ***

Valens Dulmin, Divisi Advokasi JPIC-OFM Indonesia

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 × two =