Sumber foto: Facebook Eldis Jebatu

Aku mencintaimu, Veren, sahabatku yang paling baik, sekuat aku mencintai negeri kesayangan kita ini, dan juga sehebat aku mencintai diskusi-diskusi hangat kita ketika bergegas ke sekolah” (Eldis M. Jebatu)

Aku terdiam melihat senja yang perlahan tenggelam. Aku membayangkan sebuah kisah kelam antara darah dan mayat di pinggiran jalan. Engkau tahu Veren, aku menangis. Negeri kita kini sirna di ujung usia. Aku takut, ketika jemari kakiku menyusuri ladang, yang tersisa hanyalah ilalang dan karang. Aku takut kalau-kalau kelak generasi penerus kita bertanya ada apa dan mengapa negeri ini sunyi dari kedamaian. Atau kenapa negeri ini hanya semarak dengan kebencian. Aku tak tahu harus menjawab apa. Kau mesti ingat itu, Veren.

Tak kuasa aku mengisahkan cerita pilu yang melanda negeri ini, tentang banyak masalah yang timbul di mana-mana. Betapa sulit bagiku untuk berkata jujur tentang negeri ini. Orang-orang negeri ini sudah lupa diri. Remaja-remaja kita semakin jauh dari cita-cita pendiri bangsa tercinta ini.

***

Tidak! Tidak! Gema suaraku memecahkan keheningan senja yang kuhabiskan bersama Veren di tepi pantai dekat desaku. “Ayo Ell, kita pulang. Hari sudah malam”, ajak Veren sambil bergegas pergi. “Ia, ia Ren”, jawabku singkat, sesingkat waktu menghabiskan senja ini.

Sedikit bercerita tentang Veren. Aku mengenalnya sejak masih kecil, hingga kini, hingga kami beranjak remaja seperti saat ini. Persahabatan kami sudah cukup lama. Veren sudah kuanggap seperti saudariku sendiri. Ia tahu segalanya tentang aku dan hidupku, tentang kebahagian dan kemalanganku. Bahkan kami pernah menangis bersama ketika bersajak tentang negeri ini.

***

“Veren, semalam kamu menonton televisi tidak?”, tanyaku di hadapan sembilur senyum Veren. “Tidak! Sepertinya ada masalah ya, Ell?”, jawabanya singkat. “Iya Ren, sepertinya negeri kita semakin bergerak menuju kehancuran. Hampir setiap hari kita disajikan berita mengenai persoalan pelik yang menghancurkan negeri ini, mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, bahkan sampai pada diskriminasi SARA yang serius”.

Veren tak sempat menyahut. Ia tampak menikmati pembicaraanku. “Kamu tahu Ren, itu tidak hanya menyesakkan dada, tapi juga merenggut kehidupan negeri ini, tak ubahnya malaikat pencabut nyawa.” Veren terpaku, mencoba menjadi pendengar yang setia. “Coba lihat saja, hampir setiap hari, koran-koran, majalah, dan radio membahas masalah yang sama: cerita tentang ketegangan Indonesia dan China, tanda-tanda perang antara Amerika dan Iran, dongeng tentang tikus-tikus kota yang berdasi yang asyik duduk nyaman di tengah kesengsaraan kita, ekonomi yang terus memburuk, politik uang yang ramai, dan masih banyak lagi. Semuanya menyesakkan, Ell!”

Sejenak, aku meratapi nasib negeri ini dalam hati kecil. Oh, negeri ini seumpama kapal Titanic yang berlayar, menjelajahi ruang dan waktu, lantas karam, kandas menabrak karang-karang. Atau seperti Romeo dan Juliet yang mengikhlaskan keanggunan dan kehormatan cinta demi keabadian yang ingin mereka rengkuh bersama. Atau juga seperti kelompok seriosa Bardon Bella yang melantunkan melodi-melodi apik tentang cinta, negeri, remaja, dan kehancuran. Semuanya jadi sengkarut, lalu hancur tak karuan.

***

Mentari kini semakin meninggalkan ufuk Timur, bahkan sesekali mengetuk halus jidat kami. Itu pertanda bahwa kami juga harus segera beranjak, cepat-cepat, menuju sekolah, meski dengan agak enggan.

Dalam perjalanan menuju sekolah, Veren sering menyinggung kenakalan remaja seusia kami, kira-kira seperti kenakalan Amerika yang suka membikin ulah di Timur Tengah. Seperti biasa, tema kenakalan selalu saja menarik bagi kami. “Ell, kadang masa remaja itu penuh dengan kenakalan ya, seperti kenakalan China yang mengganggu kedaulatan Indonesia di Natuna atau seperti kenakalan Amerika yang membikin gelisah Iran”, ketus Veren sambil tersenyum kecut. Aku tertegun sebentar. “Lah, kenapa kamu membandingkannya serumit itu?” sahutku terheran-heran.

“Ayolah, Ell! Ini masih pagi. Perbandingan itu cocok kok. Kadang kenakalan remaja menginvasi negeri ini dengan serangan-serangan yang tak terduga: dengan narkoba, seks bebas, tawuran, begal, dan sebagainya. Ini betul-betul menghancurkan masa depan negeri ini,” jelas Veren tenang. “Generasi kita bukannya belajar serius agar hidup cerdas di zaman revolusi industri 4,0 ini, tapi malah berleha-leha, tak tahu diri,” tambah Veren dengan mata merah dan berkaca-kaca. Air matanya mulai mengalir, tapi ia menahannya sekuat tenaga, biar tidak kelihatan cengeng saat membicarakan anak-anak negeri yang terlampau cengeng dan hilang arah.

“Bagaimana bangsa ini bisa maju kalau generasi penerusnya sudah lupa diri? Bagaimana pendiri bangsa ini bisa bangga sama kita kalau kita mengisi kemerdekaan dengan hal-hal bodoh dan tak berguna?” Veren terus berceramah pagi ini, tanpa jeda, tanpa merasa lelah. Aku memberikan perhatian, penuh hormat, biar dia tidak merasa ketiadaan pendengar. Juga karena aku memang tertarik pada ceramahnya yang mencerahkan.

“Kita harus berubah Ell, kita harus membuat bangsa ini lebih baik. Kita harus memulainya dari diri sendiri, dengan belajar sungguh-sungguh mulai hari ini dan seterusnya. Kita harus gunakan potensi-potensi terbaik kita untuk kemajuan bangsa tercinta ini,” tutup Veren sambil mengajakku bergegas lebih cepat ke sekolah.

Veren membangunkanku dari mimpi-mimpi kelam masa remaja kami. Aku jadi sadar bahwa masa remaja adalah masa emas. Aku punya bakat dan potensi, dan aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Aku harus belajar lebih sungguh, dan harus lebih siap dalam menghadapi zaman yang semakin maju. Veren sungguh membangunkanku dari mimpi-mimpi buruk.

Aku yakin semua belum terlambat. Hari masih pagi, aku harus selalu bergegas ke sekolah, dengan gesit dan cepat, untuk merebut masa depan. Harus begitu. Negeri ini harus memiliki anak-anak yang terbaik, terhebat, dan dapat diandalkan, agar selalu kuat di hadapan tantangan-tantangan.

***

Jika kau membaca lagi catatan ini, aku tak berani menebak perasaanmu, Veren. Hanya satu yang penting bagiku saat ini, aku dan kau, juga kegelisahan dan harapan-harapan kita tentang negeri ini, abadi dalam catatan kecil ini. Mari kita terus berjuang, menjadi generasi penerus yang punya arah, menjadi generasi muda yang tahu diri, yang tahu memperjuangkan kemajuan bangsa ini. Aku mencintaimu, Veren, sahabatku yang paling baik, sekuat aku mencintai negeri kesayangan kita ini, dan juga sehebat aku mencintai diskusi-diskusi hangat kita ketika bergegas ke sekolah. Kau harus ingat itu, Veren!

*Eldis M. Jebatu, alumna SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, Flores, NTT. Sekarang sedang studi di Yogyakarta.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

ten + one =